21. Lagi-Lagi!

0 0 0
                                    

Gue harus banget mengutuk adik gue satu-satunya ini. Sudah gue bilang, belajar naik motornya menunggu kak Anri saja.

Dia memaksa gue dengan berkata, "Cahya bisa, Kak! Kelamaan nungguin Kak Ri!"

Kak Anri lagi kerja, gue awalnya ragu buat setuju. Tapi nih bocah SMP sok banget bikin gue terpaksa ikut maunya.

Gue pikir, memang beneran bisa ngajarin. Selesai beli jajan di warung yang lumayan jauh dari rumah, gue merasa sedikit yakin dengan bakatnya. Tentunya setelah melihat Cahya mengendarai dengan aman sampai kembali ke rumah.

Akhirnya gue mengiyakan, baru ngegas ini motor sesuai perintah Cahya, gue terkapar di atas tanah dengan pipi dan dahi yang terluka.

Ya, wajah gue terluka karena jatuh lebih dulu. Diperiksa Mamak tangan dan kaki gue gak ada yang lecet, syukurlah.

"Dahi kamu kayaknya sobek, pergi ke puskesmas aja ya?"

Sobek, parah dong? "Gak bisa diobatin pakai obat merah aja, Mak?"

Mamak masih membersihkan pipi gue dan meminta gue menghambat aliran darah yang keluar dari kening. "Biar cepat sembuh, dijahit!"

"Gak! Jangan dijahit!" Gue sudah mau menangis, bayangin tipe jahitnya seperti jahitan baju punya mamak, gue bergidik yang ada.

"Terus gimana? Diobati aja di sana, biar lebih tepat penanganannya!"

"Gak mau! Nanti dijahit!" Melihat Mamak memaksa, gue takut sekaligus bingung. Darah di kening gue gak berhenti, entah terbentur apa tadi. "Diobati biasa aja, Mak! Nanti sembuh sendiri kok!"

Sok tahu, padahal gue gak ngerti apa-apa. Lebih baik begini daripada harus berurusan dengan dokter spesialis.

"Ya sudah." Mamak menuruti, gue bersyukur sekali. Meski perih dan terasa sakit, gue menahannya seakan tidak terlihat memiliki luka yang berarti.

Selesai memasangkan perban, Mamak berjalan membuang kapas-kapas yang berlumuran darah. Menyadari Cahya berdiri ditembok samping pintu masuk ruang tamu, gue memanggilnya.

"Kenapa kamu berdiri disana saja?"

Cahya terus menunduk, "Takut," jawabnya.

Mau marah kasihan, gak marah juga gak lega. "Duduk, kakak gak bakal gigit." Mungkin cubit sedikit.

Tangan gue menjangkau remote televisi, menyalakannya dan mencari siaran kartun kesukaan Cahya.

"Kakak gak marah?" tiba-tiba suara Cahya terdengar.

"Belum, kakak masih memikirkan hukuman yang tepat buat kamu!" Tanpa melihat, dan masih fokus pada pencarian saluran gue menjawab.

Dari ekor mata, terlihat Cahya makin menunduk. Tidak lama dari jawaban gue atas pertanyaannya, terdengar suara tangisan kecil layaknya tertahan takut jika di luapkan.

"Nangis aja, kakak bakal tetap ngehukum kamu."

Cahya menggeleng, mengusap pipinya sendiri kemudian mendekat, "Aku minta maaf, jangan dihukum!"

Gue bukannya kakak yang sering hukum adiknya jika ketahuan nakal, tapi wajah Cahya seakan sering kena hukuman.

"Kamu sering nakal di pesantren ya?"

Dia menggeleng, wajahnya pias banget.

"Jujur sama kakak, kamu sering nakal gak?"

Cahya tetap menggeleng, tidak mengatakan apapun dan hanya sesenggukan. "Kamu kenapa sih, Ya?"

"Kakak mau hukum aku, aku takut. Padahal aku udah minta maaf, kenapa kakak tetap hukum aku?" Tidak selancar ini Cahya berbicara, tapi gue buat gampang supaya mudah terbaca.

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang