33. "Hai, Tunangan Orang!"

2 1 0
                                    

Keluarga Topan belum pulang, sepertinya mereka betah di rumah ini. Dera dan Hazim juga masih disini, mereka sejak tadi tidak menunjukkan akan berkemas dan pulang ke rumah.

"Jadi, pernikahan lo sebelum wisuda?" Kami, gue Dera, Hazim, Topan dan Papa Rolis berkumpul di ruang tamu. Membicarakan pernikahan Dera yang sudah tertera tanggalnya.

"Cuma ijab qobul, nikah di KUA. resepsinya selesai urusan kuliah beres."

"Pasti karena tanggal baik!" Tebakan Papa Rolis. Harus gue akui, semakin gue berbicara dengan beliau semakin gue di buat kagum.

Sejak kami berempat, yang bisa di bilang 'anak muda' mengobrol di sini. Papa Rolis tidak pernah terlihat risih dengan cara mengobrol kami.

Pembahasan yang dari selatan ke barat, dia bisa ikut menyahuti. Terkadang dia hanya diam dan membiarkan kami berbicara, tapi beliau tetap mendengarkan. Seperti sekarang.

"Benar, Om. Ya begitu, orang tua. Untungnya weton kami cocok, jadi nikah deh." Tuh, Dera aja jawabnya santai. Papa Rolis terlihat tidak masalah, bahkan ikutan tertawa.

"Memangnya di hitung apanya?" tanya Topan.

"Kamu mau di hitung? Kalau gak cocok harus putus loh ya!"

"Kok gitu?"

Papa Rolis duduk tegak, kemudian menepuk pundak putranya, "Kata orang tua zaman dulu, kalau gak cocok mau sekarang atau nanti setelah nikah. Tetap tidak akan bisa bersatu. Daripada bercerai, lebih baik putus sekarang. Urus surat cerai, ribet dan mahal pula!"

Topan menjauh, lebih tepatnya menjauh dari tangan Papa Rolis yang berada di pundaknya. "Papa jangan bohong begitu, gak ada ramalan-ramalan begitu. Jodoh kok di ramal! Jodoh itu di lamar, Pa!"

"Ya sudah, Papa teleponkan kakek kamu, dia jago hitung weton. Tinggal serahin tanggal lahir kamu dan Kejira, bakal tau kamu cocok atau gak sama Kejira!"

"Pa! Kami cocok, apa sih Papa!" Lah, ngambek dia? Topan langsung berdiri dan pergi, Papa Rolis hanya tertawa saja.

Gue gak berniat menyusul, biarkan saja. Dera dan Hazim saja heran dengan kelakuan Topan, karena setahu mereka Topan tidak mudah marah. Gue juga, dari dulu dia jarang marah bahkan tidak pernah, entah kenapa dia sekarang.

"Bang Fahmi!" Teriakan Cahya begitu kencang, gue berdiri menghampiri Cahya yang masih bermain di teras depan dengan si kembar.

Mencapai pintu, gue melihat Bang Fahmi berjalan dengan menenteng bunga dan dua buah paper bag.

Wajahnya tersenyum, menyapa gue dengan lambaian tangan yang memegang buket bunga.

"Hai, Jagoan!" sapa Bang Fahmi ketika Cahya memeluk pinggangnya. "Mainan, sesuai janji!"

Cahya kegirangan, entah mainan apa. Cahya langsung masuk ke kamar melewati gue begitu saja. Senja dan Fajar juga di biarkan, aneh tuh anak.

"Hai, tunangan orang!" Buket tadi di serahkan ke gue, gue terima saja. "Mana tunangannya?"

"Telat! Udah bubar!" Sambil meneliti bunga asli yang tertata rapi, gue menjawab ketus.

"Mamak mana?" Belum gue jawab, Cahya kembali dengan menyeret Kak Anri dan Mamak.

"Masyaallah, Nak. Apa kabar?" Bang Fahmi langsung menyalami tangan Mamak. Terlihat sekali Mamak yang akan menangis, "Mamak kira kamu gak bakal balik Indonesia."

"Balik, Mak. Maaf gak sempat pamitan," ucap Bang Fahmi, kemudian beralih menyapa Kak Anri. Yang tentunya terbalas dengan cueknya. Konsisten sekali memang kakak gue ini.

"Masuk dulu, sini. Masih ada keluarganya Topan. Ayo sini!"

Kami semua ikut masuk, termasuk Senja dan Fajar. Mamak bukannya duduk malah berjalan menuju dapur.

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang