39. Tamasya

0 0 0
                                    

Cahya sejak tadi mondar-mandir sendiri, setelah mengamati barang bawaan yang ia jejer di meja ruang tamu, ia kembali masuk kedalam.

Membawa barang lain yang kemudian ia letakkan. Begitu terus berulang-ulang. Keluarga gue akan pergi tamasya, makanya Cahya semangat.

Awalnya, semalam gue sedang video call sama Topan. Karena kami berdua akan sidang esok lusa, ya sidang skripsi.

Kabar baik bukan? Gue akhirnya mendapatkan persetujuan untuk menjalani sidang, meskipun mendekati deadline pendaftaran tapi dosen gue kasih kesempatan di waktu yang tepat. Akhirnya, senin esok gue akan sidang. Bersama Topan.

Kembali ke acara tamasya, berita tentang berhasilnya skripsi gue itu, gue sebarkan sendiri. Mulai dari Topan, Dera dan yang lain.

Begitu gue telepon Topan, panggilan berubah menjadi video. Sebenarnya hanya Topan yang gue beri tau, tapi kemudian satu persatu keluarga Topan mengucapkan selamat atas akhir dari perjuangan gue itu.

Tentunya ucapan itu gue terima dengan lapang dada, kemudian Topan mengatakan ingin pergi jalan-jalan dengan mengajak gue dan keluarga.

Diskusi terjadi, antara gue, Kakak, Mamak dan Cahya. Yang pertama setuju tentu saja, Cahya. Disertai alasan, "Aku minggu depan sudah kembali ke pondok, Mak! Ayo jalan-jalan dulu!"

Selesai mengatakan itu, Mamak dan Kakak langsung setuju. Kakak juga bilang, "Sekalian merefresh otak, sebelum kalian sidang lusanya."

Dan di hari sabtu pagi, gue dan keluarga sedang menunggu Topan datang ke rumah menjemput kami.

"Berenang sekalian kan, Kak? Kakak bawa baju renang?" Setelah berkeliling sendiri entah apa saja yang di ambil, Cahya masih kebingungan.

"Hei, bawa saja semua sekalian!" Gue menatap barang-barang yang terlihat tidak akan di pakai ada di atas meja.

Destinasi wisata yang sepakat kami kunjungi, water park. Dimana tentunya ada kolam untuk berenang, tapi disini Cahya akan mengemas robot-robotan koleksinya.

"Buat diajak berenang, Kak!" Ini bocah sudah SMP, tapi masih mengira dirinya masih SD.

"Ya, kemas yang perlu saja. Daripada hilang nanti kamu nangis minta yang baru. Mamak akan larang kakakmu buat belikan!" Mamak datang, membawa rantang yang berisi bekal. Kakak mengikuti di belakangnya.

Sejak kemarin saat makan siang yang dipenuhi air mata. Mamak selalu menempel dan lebih perhatian pada kakak. Gue bisa melihat bagaimana Mamak sudah kembali seperti sebelum dia mengetahui perasaan Kakak hari itu.

Gue lega, setidaknya Kakak tidak akan lagi merasa kami menyimpan perasaan aneh untuk keputusannya. Karena sesungguhnya gue masih terus memiliki perasaan bersalah itu, tapi berusaha gue tutupi.

"Assalamualaikum!" Suaranya bukan milik Topan, keluarga gue malah menatap gue dengan kebingungan.

Bukannya apa nih, tapi di tatap seperti itu membuat gue seakan di perintah supaya membukakan pintu. Jadinya gue berdiri, menghampiri pintu dan membukanya.

"Wa'alaikumsalam, loh Fajar!" Gue tertawa begitu Fajar dan Senja ada di depan pintu. Apalagi melihat Fajar berpose V dan menunjukkan wajah senyum yang lucu.

"Halo kakak calon ipar. Siap berangkat? Abang lagi puterin mobilnya, jadi kalau sudah siap, kita berangkat?" Lucu banget anak orang.

"Nak Senja ya ini?" Mamak maksudnya gimana ya?

Gue berusaha untuk meluruskan, siapa tau Mamak masih bingung. "Ini yang Senja, Mak!" tunjuk gue pada bocah perempuan yang memeluk lengan gue erat. "Kalau yang bawel ini, Fajar!"

Mamak ber-oh, Fajar melambaikan tangan menyapa Mamak. "Ayo Budhe, kita langsung ke depan. Abang sepertinya sudah selesai memutar mobilnya!"

Gue tertawa begitu Fajar memanggil Mamak dengan panggilan itu. Bisa-bisanya, siapa yang ngajarin coba.

"Ayo, kita berangkat!" Sepertinya Mamak juga baru selesai tertawa, terlihat dari wajah Mamak.

Tiga sekawan berkumpul kembali, mobil yang tengah terparkir di depan rumah Mamak berupa bus mini. Darimana Topan mendapatkan mobil seperti ini, dan apakah sang supir juga Topan?

Pintu mobil sebelah kemudi terbuka, Topan turun dan menyalami Mamak. Begitu menatap gue, bisa-bisanya dia mengedipkan sebelah matanya.

"Sini tasnya!" Cahya lebih dulu memberikan tas, kemudian gabung menjadi tiga sekawan. Mereka kompak, takjubnya lagi saat Senja akan naik. Fajar sang kakak langsung sigap membantu.

"Mama dan Papa kamu, ikut juga, kan?" Mamak bertanya, gue pun menunggu jawabannya.

"Tidak, papa sedang ada acara. Salah satu koleganya mengadakan pernikahan. Papa dan mama titip salam buat Mamak sekeluarga."

Mamak tersenyum, "Wa'alaikumsalam, ya sudah ayo berangkat."

Topan membantu Mamak untuk masuk lebih dulu, di susul Kak Anri yang bisa naik sendiri. Giliran gue, Topan mencegah.
"Apa?"

"Gak kangen? Tadi malam bilang pengen ketemu! Ini udah di turutin, peluk dikit dong!" Tangan gue yang menjawab, bergerak hendak mencubit perutnya.

"Ijab dulu!" balas gue. Semenjak hari lamaran, Topan sering kali menggunakan kata-kata itu untuk mencegah tindakan gue yang akan menyentuh tubuhnya.
Kata-kata itu juga Topan gunakan tadi malam, saat gue bilang bahwa merindukannya.

Gue tertawa, meninggalkan Topan dan mulai naik ke mobil. Kakak yang duduk tidak jauh dari pintu melihat gue sekilas kemudian tertawa pelan.

Paham, kakak pasti mendengarnya. Biarlah, gue mengalihkan pikiran dengan menatap sekeliling dalamnya mobil. Luas, dan lega. Untuk mobil berkapasitas lebih dari sepuluh orang, Topan bawa kemari.

Tentu saja lega, hanya ada delapan orang yang mengisi mobil. Topan di depan samping pak supir, entah teman atau memang sopir bayaran gue belum berani tanya. Lalu di baris kedua, ada gue, Kakak dan Mamak. Di belakang masih tersisa empat baris.

Tiga sekawan bermain di belakang. Gue juga melihat perubahan dari Senja, bocah perempuan yang pemalu itu kini mulai mau tertawa lepas bersama kedua Masnya. Ya, Cahya di panggil Mas oleh Senja dan Fajar. Lucu!

Dering ponsel di saku mengagetkan gue. Melihat nama yang tertera dari misscall itu, Topan pelakunya. Masih akan memprotes langsung, getar ponsel menandakan sebuah pesan datang.

Topan
Kalau nanti sudah sampai sana, jangan berenang ya. Lusa mau sidang, main air nanti saja sama aku. Ijab dulu tapi!

Senyuman gue sembunyikan, takut kelihatan sama Kak Anri. Bersikap biasa, gue mencoba untuk menahan senyum sambil membalas pesan.

Me
Kelamaan! Masih satu
setengah bulan lagi!

Topan
Sabar, Yang. Para orang tua ambil waktu yang baik. Meskipun aku tidak percaya takhayul, menuruti perintah orang tua bisa jadi berkah tersendiri dalam perjalanan kita setelah pernikahan.

Benar, gue menatap arah dimana Topan duduk, yang rupanya mengawasi gue dari spion tengah. Bisa-bisanya, dia kembali mengedipkan mata begitu gue mengetahui ulahnya.

Kami akan bersama, tidak lagi sembunyi dari siapapun. Tapi akankah gue bisa menjadi istri yang baik? Sedangkan saat ini gue merasa tidak berhasil menjadi anak yang baik.

===BERSAMBUNG===

1000 Kata

30 August, 2023
PuMa

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang