28. Memasak dengan Mamak

0 0 0
                                    

Sejak kemarin setelah kejadian Budhe hendak meminjam uang pada gue, perlahan kelakuan mereka terungkap.

Mereka? Maksudnya mereka adalah keluarga dari Bapak. Para adik dan kakak yang gue panggil Pakde, Budhe dan Tante.

Kakak menceritakan banyak hal yang membuat gue perlahan sadar. Keluarga yang jika lebaran penuh dengan tawa dan nampak bahagia ternyata menyimpan maksud terselubung.

Kakak selalu mewanti-wanti Mamak untuk pindah dan meninggalkan rumah ini, supaya tidak lagi ada yang bisa mengusik. Tapi nyatanya, Mamak enggan karena sayang dengan rumah ini.

Paham, rumah yang pasti sangat banyak menyimpan kenangan ini. Ingin di jaga sama Mamak supaya tetap ada.

Jadi itu juga alasan Kak Anri yang selalu mengajak gue untuk pulang kampung seminggu sekali selama kuliah dulu. Tau gitu, gue gak berontak melulu.

Tapi, gue memang tidak mengetahui hal ini. Para budhe dan Pakdhe juga terlihat biasa saja saat bercengkerama dengan Mamak waktu lebaran.

Bahkan saat gue lulus SMA, Mamak mengadakan pesta kecil-kecilan untuk gue. Mereka datang. Daripada bingung, baik bertanya, "Sejak kapan mereka ganggu gitu, Kak? Saat aku SMA mereka diam aja gitu!"

"Sejak lama, sejak bapak meninggal. Tapi saat itu, mereka hanya bahas masalah warisan. Padahal harta yang bapak tinggalkan sudah menjadi milik keluarga ini, tidak ada sangkut pautnya dengan harta kakek nenek."

Kalau pembagian harta kakek dan nenek, gue tau. Saat itu waktu gue SD, gak paham betul tapi bisa tau karena rumah kakek dan nenek di rubuhkan lalu kami tidak pernah lagi ke sana.

Bapak yang cerita, kalau rumah kakek sudah menjadi milik orang lain. Di saat itulah, Bapak dan Mamak membangun rumah dan ladang untuk keluarga kami.

"Kalian gak perlu khawatir, kita bisa menjaganya bersama. Jangan takut sama mereka!" Kak Anri meyakinkan, "Oh iya, besok Mamak ada acara pengajian. Kamu bantuin Mamak ya, Ra? Besok ada jadwal bimbingan?"

"Hari ini jadwalnya, besok bisalah minta libur." Bosen setiap hari makan revisian mulu.

"Sudah sampai bab berapa?"

"Bab empat, dosen banyakan minta. Aku bingung harus nambah poin banyak!" Keluhan gue kalau masalah skripsi gak ada yang bagus. Yakinlah, kalau kalian mengalaminya pasti sama kayak gue.

"Turutin aja, daripada di persulit waktu sidang. Lebih baik di persulit selama pengerjaan." Ini, gue sudah membuktikan sendiri.

Selama proses pengerjaan bab satu sampai bab tiga, gue banyak banget mengalami revisian dari dosen pembimbing sendiri. Beliau kesannya seperti banyak maunya, tapi ternyata saat seminar proposal berjalan lancar tanpa adanya revisian.
Keren banget gue.

Tapi sama aja, gue tetap banyak mengeluh selama prosesnya. Dosen masih banyak maunya, bahkan makin banyak. Revisian makin mendetail, dan ada durasi waktu alias deadline.

Gue sampai harus tidur malam setiap hari, karena dosen bisanya bimbingan hanya waktu malam.

"Kalau kakak dulu, revisian gampang."

Gue enggan mendengarnya. Lebih tepatnya mengabaikan Kak Anri berbicara.

Dari dulu, Kak Anri selalu membanggakan prestasinya yang pernah di tunjuk seorang dosen untuk menjadi mahasiswi bimbingannya.

Ya, Kak Anri lewat jalur undangan. Kerennya lagi, dia dapat predikat cumlaud dengan mudahnya. Gak paham dia pakai jurus apa, yang pasti bukan dari Konoha.

"Ra!" Suara Mamak dari dalam rumah memanggil, gue masuk dapur dan meninggalkan Kak Anri yang duduk di ruang tamu.

Hari masih pagi, Kak Anri bersantai di rumah sebelum jam sembilan berangkat kerja. Kalau Cahya pergi main tidak tahu arahnya.

"Bisa pasang elpiji?" Pertanyaan Mamak seperti menghina. Sudah tahu anaknya jarang masak, pasang elpiji sama saja sulitnya.

Gue menggeleng, bukan karena gak bisa. Tapi takut jika itu tabung saat gue pegang meledak. Nanti masuk berita, gak lucu!

"Panggil kakakmu!" Sepertinya Mamak kesal, ya siapa salah? Harusnya sejak awal memanggil Kak Anri saja.

Lihat! Memang mudah. Kak Anri sekali gerakan langsung terpasang. Memang salah Mamak yang memanggil gue bukannya Kak Anri.

"Mulai masak sekarang, Mak?"

Iya juga, besok di rumah ada pengajian. Kak Anri kemarin sudah bilang, gue lupa. Selesai memasang wajan di atas kompor, Mamak menjawab pertanyaan Kak Anri, "Kamu berangkat kerja aja, Jira bakal bantuin!"

Dosa gak sih meremehkan orang lewat tatapannya? Tiba-tiba Kak Anri menatap gue begitu. Belum tau aja dia, gue pernah masak bareng calon mertua.

Yah, sedih. Jadi keinget Mama Pia.
Udah lama, serius kangen gue. Bagaimana kabar beliau ya?

"Suruh Jira aja, Mak. Buat dia kerja keras!"

Seenaknya bicara, kalau Kak Anri adik gue sudah pasti tertendang kakinya itu. Tapi nyatanya gue yang ada di posisi adik, nasib.

Ngomongin soal nasib, skripsi gue lumayan bernasib baik. Setelah sidang seminar proposal, gue di hajar habis-habisan dengan revisian yang ber-deadline.

Kemudian kabar baiknya, jadwal sidang akhir untuk skripsi telah keluar dan jatuh pada dua minggu setelah hari ini.

Bagusnya lagi, dosen pembimbing gue kasih kesempatan buat gue. Untuk mengejar predikat cumlaud kalau bisa sidang pada minggu itu.

Semangat gue, gak sia-sia perjuangan penuh keringat dan air mata. Menanggung segala kata-kata dari mulut pembimbing yang berbisa.

Harus gue akui, bisa yang dosen gue keluarkan merupakan bisa yang menyehatkan. Gempuran hingga cemoohan gue tanggung selama empat bulan ini akan mendapatkan hasilnya.

"Ra? Kocok telurnya!" Suara Mamak membuyarkan lamunan gue, beliau tengah menggoreng ikan.

Sedangkan gue di mintanya untuk mengocok telur, bilangnya akan di buat telur dadar.

"Wadah beseknya mana, Mak?" Besek, yang biasa orang-orang pakai untuk menaruh nasi dan lauk yang di pakai saat ada acara untuk membekali orang-orang yang datang.

"Nanti saja, taruh wadah di sana aja dulu." jawab Mamak menunjuk wadah besar yang biasanya Mamak gunakan untuk jamuan tamu.

Mamak sering melakukan ini, sebulan sekali gak pernah absen Mamak ikutan. Entah di rumahnya atau di rumah para tetangga.

Kata Mamak, untuk menjaga silahturahmi dengan para tetangga sekaligus kegiatan mengaji yang bisa digunakan untuk mendoakan orang yang sudah tiada.

"Kalau kamu dan Kak Anri sudah menikah, jangan lupa untuk terus datang kesini ya, Jira. Mamak kesepian kalian tinggal merantau saat itu, jadi jangan lama-lama gak jenguk Mamak ke sini."

Ketahuilah, Mamak mendadak bersikap sedih. Terlihat sejak tadi Mamak membahas tentang Kak Anri dan Bang Fahmi. Bertanya-tanya tentang mereka yang sampai sekarang belum ada ujungnya.

"Iya Mak, yang penting sekarang. Bang Fahmi dan Kak Anri dulu, Jira nanti aja!"
Gue tau, kalau Mamak sudah sangat berharap Kak Anri menikah dengan Bang Fahmi. Tapi, gue gak tau lagi apa yang harus di lakukan supaya Kak Anri menerima lamarannya.

Sejak Bang Fahmi pergi ke Ausie, gue gak lagi bahas tentang Kak Anri ke dia. Cuma sesekali, gak sering. Bang Fahmi memamerkan jajanan Ausie melalui foto-foto yang tentunya bikin gue ngiler.

Harusnya gue marah, tapi malah minta di bawain oleh-oleh makanan-makanan itu.

Kak Anri? Gak tau, dia tertutup sejak gue bentak dia hari lalu. Gak lagi cerita dan hanya tanya mengenai skripsi gue.
Gue juga gak berniat kepo, karena prioritas sekarang adalah selesainya tugas skripsi gue. Gak mau tau, pokoknya harus minggu itu gue sidang.

"Bang Fahmi katanya akan pulang, kamu tau Jira?"

"Mamak tau dari siapa? Jira gak di kabarin sama Bang Fahmi!"

Mamak menjawab sambik aduk kuah bakso, "Kakakmu, dia yang bilang kemarin sama Mamak."

===BERSAMBUNG===

1088 Kata

21 August, 2023
PuMa

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang