Hari senin, di awal bulan Oktober. Sekaligus hari dimana gue sebagai mahasiswi akan membuktikan seluruh materi pembelajaran yang telah di dapatkan melalui sebuah persidangan.
Sejak semalam, kaki gue panas dingin mendengar kata sidang. Menginap di salah satu rumah milik keluarga Topan, keluarga gue lengkap akan ikut datang setelah gue sidang.
Ya, Topan yang menawarkan. Tadinya Kakak akan menyewa salah satu kamar di sebuah motel. Tapi saat Topan menanyakan pada waktu perjalanan pulang dari tamasya kemarin, usulan Topan secara paksa harus di terima.
Mamak sebenarnya tidak enak hati, beliau sedikit ragu juga waktu masuk rumah tanpa penghuni. Aset kantor bilangnya Topan, tapi Kakak mengatakan harus mensyukuri itu.
Mungkin terbilang lumayan, daripada mengeluarkan biaya tambahan. Begitu pagi datang, Mamak lebih agresif dalam membangunkan putra -putrinya. Tentu saja gue korban pertama.
Tidur bertiga di satu kamar bersama-sama, gue menempel pada Mamak. Cahya sendirian, dia tidur di kamar yang ada TV besarnya.
Selesai sarapan, gue mempersiapkan diri. Lalu tepat jam delapan, gue di jemput Topan. Memakai hitam putih ber sepatu pantofel. Menenteng tas laptop, dengan tas dipunggung.
Gue berangkat duluan, begitu giliran gue akan masuk mereka meminta gue memberi kabar.
"Tepat setelah aku," kata Topan begitu melihat jadwal sidang yang baru keluar.
Ada lima belas anak, dari program studi manajemen gue hanya mengenal Topan dan Dera. Ya, diam-diam karena kami sudah jarang bertukar kabar. Dera sahabat gue itu, menyembunyikan diri.
Alasannya ketika gue dan Topan bertemu Dera dan Hazim di parkiran. "Gue kira, kalian gak sidang hari ini. Nanti di katakan sombong lagi!"
Bisa banget, padahal sejak hari dimana gue mendapatkan persetujuan sidang itu. Dera gue telepon, kami mengobrol panjang lebar malah.
"Enak banget kalian di tengah-tengah, gue urutan ke-dua!" gerutu Dera. "Tukar yuk,Ra!"
"Gak, gue deg-degan banget soalnya!" Padahal saat di rumah, gue sama sekali tidak gugup. Tapi saat kaki gue turun dari mobilnya Topan, tenggorokan gue langsung menelan ludah sendiri.
Mencekam."Rileks, ini bukan pertama kali. Kamu tidak akan terluka di dalam. Kamu hanya perlu menjawab apa yang kamu pahami dan perlajari, dan tentunya bernapas. Semakin kamu gugup, semakin kamu tidak akan bisa menjawab." Gemes banget pengen cubit, tapi belum ijab.
Suara dengusan Dera terdengar, gue tidak peduli. Topan milik gue, bukan milik dia. Lagian dulu gue kenyang sama tontonan yang Dera dan Hazim perlihatkan.
Mereka tidak memberi batas, sedangkan gue dan Topan masih berjarak.
"Teima kasih,"
Topan memberikan permen coklat kesukaan gue. "Sama-sama, aku dan Dera tidak akan menceritakan apa yang terjadi di dalam terlebih dahulu. Begitu kita semua selesai, kita akan berbagi ceritanya. Setuju?"Gue mengangguk, begitu juga Dera. Kesepakatan itu mendasari supaya tidak terlalu membuat cemas yang lain.
"Dan jangan mendengarkan cerita dari mereka, pasang saja earphone supaya lebih tenang!" usulan Dera.
Sepertinya bukan hanya gue yang tidak kenal yang lain selain kami bertiga, buktinya Topan juga setuju dengan ide dari Dera.
Tepat sebelum kita semua di minta masuk ke ruang yang akan menjadi ruang tunggu sebelum masuk ruang sidang, Dera kembali menyemangati dengan kalimat di sertai gerakan. "Sudah, jangan pikirkan apapun. Yakin pada diri sendiri, bisa yuk bisa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Buat Kakak |TAMAT|
RomanceFamily || Selesai Jira hanya ingin satu hal. Menikah setelah kakaknya. Hanya itu, tapi rasanya begitu sulit di gapai. Bagi Jira, lebih dulu menikah sebelum kakaknya adalah larangan, sangat di haramkan oleh dirinya sendiri. Karena itu sama saja baha...