Makan malam kali ini sangat mengasyikkan. Bukan lagi makan berdua bersama kak Anri sambil mengobrolkan sesuatu, tapi kini gue lagi makan sebagai calon mantu..
Percaya diri gue sudah layaknya bintang di langit belum? Tak terhingga.
"Jadi, Mas masih mau berteman dengan dia?" Tadi tuh, Fajar cerita mengenai temannya yang bernama Angga. Dua hari lalu mereka berantem membuat mama Pia harus datang untuk menangani masalah itu.
Namanya anak kecil mungkin, ya? Habis bertengkar terbitlah berkawan. Mudah memaafkan tanpa harus mendendam.
"Angga itu teman yang asik, Ma. Lagian Angga udah minta maaf sama Senja juga, ya kan?" Senja yang duduk di samping gue mengangguk dengan mulut penuh. Setelah pelukan Senja ke gue beberapa menit yang lalu, dia jadi lebih nempel sama gue. Tempat gue duduk nih, dia yang nyuruh.
"Makanya, besok-besok tuh pakai otak dingin kalau mau menyelesaikan masalah. Masa kawan sendiri di tonjok, Mas!" komentar Topan.
Fajar menepuk dada dengan kepalan tangan, seperti berbangga diri? "Gak nonjok gak laki!" Astagfirullah.
Topan yang detik lalu menggigit paha ayam, tersedak hingga terlemparlah ayam itu keluar area piring Topan. "Kamu di ajarin siapa sih, Mas? Naudzubillah banget kelakuannya!"
"Guru silat aku? Abang Fauzan!" Sangat santai Fajar menjawab, tapi kenapa ekspresi Topan terkejut nampak tak percaya.
"Bang Fauzan? Pantes!" Mama Pia ketawa sendiri, gue bingung, Senja asik makan tak peduli. "Mama kalau ngebiarin Fajar berguru sama tuh orang, jangan salahin Abang karena udah memperingatkan!"
Mama Pia berhenti tertawa, menatap putranya yang tampak marah. "Fauzan bukan orang jahat, Bang!"
"Bukan orang jahat memang, tapi orang... tau ah!" Batal mengucapkan setelah pandangan kami bertemu, kenapa sih Topan? "Yang!" Kaget gue, padahal tadi nada bicaranya marah, sekarang lembut banget.
"Ya, kenapa?" Jawab gue pelan, sambil curi pandang ke mama mertua.
"Selesai makan, ke samping rumah ya!" Itu perintah, karena Topan udah berjalan meninggalkan piringnya yang hanya sisa paha ayam beberapa gigitan.
"Susulin setelah makan aja, Jira. Habiskan dulu makannya." Gue mengangguk patuh. Sebenarnya kenapa dengan Topan, kenapa dia kelihatan kesal sekali.
Selesai makan, gue gak langsung menyusul Topan karena membantu mama Pia berberes meja makan. Tau diri lah, kan lagi numpang. Gak gitu, cuma kebiasaan sejak di kampung juga gue rajin banget selesai makan harus wajib hukumnya beresin dan cuci piring.
"Jira?"
"Iya, Ma?"
"Apa yang kamu suka dari Topan?" Maaf nih ya, maaf banget. Bukan maksud mau pecahin piring di rumah ini. Tapi posisi gue yang lagi sabunin piring, kan tangan gue licin ya, dan pertanyaan mama Pia bikin gue terkejut aja.
"Maaf ma..." kembali mengambil piring yang jatuh di wastafel--untungnya gak pecah semoga gak retak juga. Gue berusaha menjawab, "Topan itu lucu. Yang paling Jira suka tuh sabarnya."
"Topan sabar?"
Gue mengangguk kemudian menjelaskan, "Tiap Jira bikin dia marah, Jira merasa Topan menahan amarah itu agar tidak terlampiaskan di depan Jira langsung."
"Seperti?"
Gue malu mau ngomong tapi ya udahlah, toh ini mamanya kan. "Waktu itu, Jira gak sengaja lagi ngobrol sama kakak tingkat di kantin. Sebenarnya Jira sama teman Jira, tapi dia di panggil ketua BEM untuk rapat. Jadilah Jira lanjut makan sendiri di kantin sambil nunggu kelas...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Buat Kakak |TAMAT|
RomanceFamily || Selesai Jira hanya ingin satu hal. Menikah setelah kakaknya. Hanya itu, tapi rasanya begitu sulit di gapai. Bagi Jira, lebih dulu menikah sebelum kakaknya adalah larangan, sangat di haramkan oleh dirinya sendiri. Karena itu sama saja baha...