32. Terima kasih, Topanku.

0 0 0
                                    

Acara lamaran tadi selesai juga, tapi keluarga inti Topan yakni Mama Pia, Senja, Fajar dan Om Rolis, juga tentunya Topan masih belum pulang.

Topan yang sebenarnya ingin tinggal sebentar lebih lama, dengan alasan yang bikin gue tutup muka. "Masih kangen Jira aku, Ma!"

Ya, kalimat itu dikatakannya saat keluarga masih berkumpul lengkap. Jadi ketawa berjamaah yang gue rasa di tujukan untuk gue dan Topan terdengar menggelegar.

Apalagi, Papa Rolis ikut menggoda Topan, "Gak boleh nginep, belum sah baru tunangan!"

Makin malu, rasanya gue mau ke kamar aja terus kunci pintu. Dulu-dulu kalau ketemu Papa Rolis, gue gak pernah sekalipun dapat candaan santai. Mungkin karena gue datang saat beliau pulang kerja yang pastinya capek dan lelah.

Begitu Topan mengatakan permintaannya, kedua adiknya, Senja dan Fajar juga enggan pulang.

Jadi, pada siang hari ini. Keluarga gue dan keluarga Topan masih berkumpul sedangkan kerabat Topan memutuskan untuk pulang. Perjalanan jauh, dan sekarang bukannya weekend. Pasti mereka punya pekerjaan yang tidak bisa di tunda.

"Gimana?"

"Apa?" Aneh tiba-tiba Topan mendekat ke gue yang sedang duduk menyaksikan tiga sekawan bermain ular tangga. Maksudnya tiga sekawan, Senja, Fajar dan Cahya.

Sejak gue keluar kamar tadi sebelum acara lamaran, mereka sudah lengket. Bermain bersama dan makan bersama. Hanya saja Senja tetap pendiam dan pemalu, mungkin karena Cahya sedikit menjaga jarak.

Padahal tadi gue dengar, Cahya menyebut nama Senja beberapa kali. Di ajak bermain juga makan bersama.

"Masih curiga? Udah yakin belum, Li?"

Gue paham, "Belum."

"Lah? Aku udah lamar kamu, dan dapat restu dari keluarga kita. Kamu belum yakin? Kenapa?" Lucu reaksi Topan, gue teruskan saja biar puas.

"Masih banyak misteri, kamu sembunyikan banyak rahasia dari aku!"

Topan berpikir, tapi sepertinya tidak menemukan apa-apa. "Rahasia apa? Aku gak ada rahasia dari kamu!"

"Banyak! Selagi kamu gak ungkap semua rahasia itu, aku belum yakin sama kamu." Ketahuilah, gue hanya menggoda Topan. Siapa suruh diam-diam datang melamar, meskipun gue bahagia tapi tetap saja. "Kamu bisa lamar aku diam-diam seperti ini, tapi kamu gak akan bisa nikahi aku diam-diam. Ingat itu!"

Gue tertawa pelan, sambil menjauhi Topan yang kebingungan. Tidak peduli meski tiga sekawan mendengar ucapan gue, yang penting mereka tidak beraksi apa-apa dan membiarkan gue dan Topan mengobrol.

"Li!" Gue tidak berhenti, tetap masuk rumah meninggalkan Topan dan tiga sekawan yang berada di teras rumah.

"Ngapain Topan teriak?" Papa Rolis bertanya, gue jawab santai saja.

"Tidak tau, Pa."

Gue berjalan masuk dapur, meninggalkan Topan yang terlihat sudah berdiri untuk menyusul.

Tadinya mau langsung ke kamar mandi, tapi Mamak panggil gue. "Kenapa, Mak?"

"Antar ke Papanya Topan!" Sebuah nampan berisi secangkir kopi di serahkan ke gue. "Awas, hati-hati!"

Gue masih pakai kebaya, Mamak khawatir gue tersandung rok yang sedikit ketat ini mungkin.

Kembali ke ruang tamu, di mana Papa Rolis dan Hazim duduk mengobrol. Gue hampir bertabrakan dengan Topan yang hendak masuk dapur juga.

"Li, apa maksudnya?" Sudah, seisi dapur mendengar ucapan Topan itu.

Gue mengabaikan, pura-pura tidak mendengar. Tapi Topan yang memang penasaran terus mengikuti gue yang akan memberikan secangkir kopi ke Papa Rolis.

"Pa, ini kopinya."

"Makasih, Kejira!" Papa Rolis sepertinya menyadari tingkah aneh putranya, maka dari itu beliau bertanya, "Kamu kenapa?"

"Gak, mau ngobrol sama Jira!"

Topan menyeret gue, dengan tangan menggengam lengan gue lalu di ajaknya ke bawah pohon rambutan.

"Coba, kamu terus terang. Apa maksud kamu?" tanya Topan dengan tidak sabar.

Gue melipat tangan di dada, melihat Topan yang wajahnya gelisah. "Kamu sendiri gimana? Bilang saja apa yang kamu rahasiakan dari aku. Cuma itu!"

"Rahasia apa?" Kok tanya balik?

"Rahasia itu kamu yang tau, kalau aku yang tau bukan rahasia lagi!"

Dia malah menampilkan wajah sedih, harusnya gue yang sedih. Banyak rahasia yang gue yakin Topan sembunyikan.

"Li! Rahasia apa? Aku gak pernah selingkuh, tiap hari mikirin kamu. Kangen kamu juga, selalu pengen ketemu kamu. Tapi aku tahan, karena saat itu aku sedang berusaha meyakinkan keluarga kamu. Gak aneh-aneh, Li!"

"Meyakinkan keluarga aku? Kenapa? Bukankah kamu berbulan-bulan cuek sama aku? Gak peduli sama aku? Chat juga seadanya. Gak lagi panggil aku sayang, cuma nama. Terus tiba-tiba kamu dekat sama Kak Anri."

Rasa kesal gue masih ada, karena gue belum dapat jawaban dari tersangkanya. Ya, pelaku dari penyebab rasa kesal, cemburu dan gelisah gue selama ini.

"Sayang!" Gue diam, meski telinga gue senang dengarnya. "Yang, jangan gini ya? Aku bakal jelasin, tapi pelan-pelan. Jangan sambil cemberut gini, ya?" Membujuknya bisa banget, gue gak tahan.

"Coba jelasin!" Masih sedikit kesal, meski gue gak lagi bersedekap.

"Saat kamu menginap di rumah aku, Kakak kamu berpesan untuk menjaga kamu, dan tidak mencoba untuk merusak adiknya." Pesan macam apa itu?

"Jangan marah, pada malam itu aku sempat  mengobrol dengan Papa. Papa marah aku ajak kamu nginap di rumah sebelum adanya pernikahan. Terus banyak pesan Papa yang harus aku lakukan, karena pada malam itu juga aku cerita semuanya ke Papa."

"Papa Rolis? Marah sama aku?" Mendengar fakta itu, gue jadi takut lagi sama Papa Rolis.

"Bukan, kan aku bilang, marah sama aku! Kamu dengar dulu!" sungut Topan, gue jadi menciut. "Papa gak mau aku bikin keluarga kamu marah. Papa bisa memahami jika Kak Anri gak suka adiknya di dekati sama pria yang sama sekali belum mengenalkan diri ke keluarganya."

"Aku perlahan mengerti, dan mulai menjauh dari kamu. Cuek sama kamu, tapi bukan berarti aku gak sayang kamu lagi. Tiap hari, Li! Saksinya Papa dan Mama, kamu tanya mereka. Meski begitu, aku yakin bisa dan akhirnya berhasil menyakinkan keluarga kamu. Hasilnya, hari ini aku datang melamar kamu!"

Jujur, dalam diri gue gak pernah terbesit sedikitpun pemikiran jika Topan akan melakukan itu semua. Yang ada gue hanya galau, bersedih, meratapi nasib dan ujung-ujungnya gue kabur ke kota lain buat cari solusi.

Bukannya dapat solusi, gue hanya merenung tanpa arah setiap hari.

"Aku minta maaf," ucap gue tulus. Gue merasa bersalah, berbulan-bulan Topan melakukannya sendiri. Gue hanya negative thinking tanpa pernah sekalipun mengira akan perjuangan dia.

"Kamu gak salah, Yang. Terima kasih sudah tetap menanti, meski aku cuek sama kamu tapi kamu tetap menunggu aku."

Gue tersenyum, tapi kemudian gue merutuki diri sendiri karena bisa-bisanya tubuh gue bergerak hendak memeluk Topan.

"Belum, Yang! Ijab dulu!"

Kampret! Reflek tubuh gue bikin malu aja!

===BERSAMBUNG===

1000 Kata

25 Auguts, 2023
PuMa

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang