24. Menonton Film (1)

2 1 0
                                    

"Kamu gak bawa mobil, kan?" Gue gak menyangka sama sekali. Nada bicara Kak Anri pada topan berubah total. Dari yang ogah bicara, sekarang lembut macam bicara pada kekasihnya.

"Gak, Mbak!"

Apa yang sudah gue lewatkan? Inikah jawaban dari usaha gue dalam menghindari masalah?

"Kak! Ayo ke mall!" Cahya merengek, dia menatap Kak Anri setelah mengemas kembali sepatu basket yang tadi ia coba pakai.

"Ayo, Kak!" Gue merasa sesak lama-lama di sini. Dari sekian banyak stok oksigen, kenapa gue merasa tidak satupun masuk ke paru-paru gue.

Kak Anri bangun, gue masih mengemasi tas yang berisi berkas skripsi dan laptop. Sebelum sempat bangun, Kak Anri mengatakan sesuatu, "Kamu ikut aja, Pan. Biar rame!"

Gue membeku, hanya itu rasanya yang bisa gue lakukan. Mata gue menatap tidak percaya dengan ucapan Kak Anri barusan. Melihat bagaimana ekspresi friendly darinya membuat gue semakin berprasangka buruk.

"Gak boleh ya, Li?" Pertanyaan Topan membuat gue seketika menolehkan kepala padanya. Bukan untuk mengagumi, tapi untuk menjawab pertanyaan itu dengan reaksi bodoh.

"Bo... boleh!" Ya, gue gagap!

Berusaha menghindar, gue menyusul Cahya yang lebih dulu berjalan menuju mobil Kak Anri. Tapi baru beberapa langkah, Kak Anri memanggil membuat gue berhenti dan mendengarkannya.

"Kamu duduk depan sama Topan, biar dia yang nyetir!" Saat gue lihat, kunci mobil sudah tergenggam di tangan kiri Topan. Senyum lelaki itu memamerkan gigi entah apa maksudnya.

Haruskah gue teriak lalu marah? Pergi sendiri balik ke rumah dengan kereta api?

Gue gak kuat, merasakan hal aneh yang entah apa telah terjadi antara kakak dan pacar. Anehnya lagi gue sendiri merasa takut menyebut hubungan kami dengan kata itu.

Pacar....

Asing, seakan sudah lama tidak terdengar dan perasaan itu sudah lama terpendam.

"Sini, biar aku bawain!"

Topan terlalu ramah, dia terlalu baik. Akhir-akhir ini gue merasa Topan selalu bisa menjauh kapanpun. Hanya chatting tanpa telepon, tidak ada panggilan sayang dan hanya menyebut nama.

Memang sederhana, tapi percayalah perasaan itu sungguh membuat gelisah.

Haruskah gue menjauh lagi? Namun sekarang benar-benar menjauh tanpa harus mengatakan atau mendengarkan kalimat perpisahan.

Sakit itu menyiksa, gue gak lagi sanggup menampungnya dengan di tambah perasaan aneh ini. Jika benar Topan dan Kak Anri memang memiliki hubungan, bagaimana gue akan menanggung itu?

Gue tau bunuh diri itu merupakan dosa besar. Tapi dengan melihat mereka bersama bukankah gue sudah berdiri di ujung jurang untuk bunuh diri kapan saja?

"Li?"

"Iya, aku kesana!" Dengan berjalan menunduk, gue menghampiri Topan yang sudah dekat dengan mobil.

Aspal jalan menjadi saksi bagaimana wajah murung gue tertutup dari Topan. Ketika berjalan mendahuluinya, Topan sama sekali tidak mengatakan apa-apa selain panggilan tadi.

Gue pun tidak ingin mengatakan apapun. Gue terus menunduk hingga kaki gue berdiri tepat di samping pintu mobil.

Menarik napas sejenak, gue mempersiapkan raut muka yang biasa-biasa saja. Gue harus bersikap seperti itu agar tidak ada satupun di antara mereka yang akan bertanya.

Gue takut, saat gue menjawab malah salah ucapan. Lebih baik gue diam, daripada keluar kata-kata jahat.

"Pakai sabuk pengamannya, Li!" Begitu perintah Topan. Dulu jika gue tidak segera memakai sabuk pengaman, Topan tanpa perintah langsung memasangkan.

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang