26. Pagi Gue Kacau!

2 1 0
                                    

Setelah kemarin lelah dengan drama dan perjalanan panjang. Pagi ini, tepatnya masih jam lima pagi. Gue memutuskan untuk jalan-jalan menyusuri jalanan dari rumah menuju sawah.

Tadinya Cahya mau gue ajak, tapi tuh bocah habis jadi imam langsung tidur kembali. Ya, bocah itu sudah bisa menjadi imam sholat yang gue akui secara pribadi bacaan surah Al-Quran sungguh menakjubkan.

Udara pagi pedesaan sungguh segar, masih terdapat embun dan suasananya sangat nyaman. Meskipun dingin, tapi lumayan untuk membuat pikiran kembali normal.

Kalau kalian tanya, gue bakal jawab kok. Tentang apa yang sudah terjadi kemarin. Yang penuh dengan kepura-puraan dan tipu daya.

Gue memutuskan untuk pura-pura sakit, dan mendekam di kursi belakang. Membiarkan kursi depan di duduki Topan dan Kak Anri. Banyak pertanyaan yang menjerumus layaknya menginterogasi, tapi gue berhasil mengajak kerja sama seluruh tubuh untuk berperilaku layaknya orang sakit.

Selepas mengantar Topan turun di salah satu halte bis, Kak Anri meminta Cahya untuk duduk di depan agar gue bisa tiduran dengan nyaman.

Gue biarkan saja, terserah apapun yang mereka ingin lakukan. Saat Topab turun dan hendak berpamitan ke gue, mata gue berkompromi dengan menutup mata rapat-rapat. Sehingga Kak Anri mengambil alih dan mempersilahkan cowok itu pergi.

Maaf, gue gak tau harus menyebut Topan seperti apa sekarang. Hubungan tanpa kejelasan, itu yang gue rasakan. Mendengar kata cinta, tapi perilaku tidak menunjukkannya.

Terserah, pagi ini gue ingin merefresh otak. Supaya bisa mengerjakan skripsi, biar cepat selesai.

"Jira!" Suara asing, terdengar dari arah depan. Tapi gue sama sekali tidak melihat sosok manusia dari arah manapun.

"Jira, disini!" Rupanya arah belakang, tepatnya dari rumah budhe yang berada di seberang rumah mamak.

"Assalamualaikum, Budhe."

"Wa'alaikumsalam, kapan kamu pulang? Sudah selesai kuliahnya?"

"Belum Budhe, lagi nyusun skripsi."

Budhe ber-oh ria. Beliau adalah kakaknya Bapak, kakak ketiga dsri keluarga Bapak. Sedangkan bokap gue, anak kelima.

"Kamu mau kemana?"

"Ke sawah, Budhe. Lihat pemandangan." jawab gue. Beliau memang ramah, setahu gue anaknya juga ada lima. Kok setahu gue? Beliau cerai nikah cerai nikah. Anaknya entah kemana saja.

"Kakak kamu di rumah?"

"Ada budhe, lagi masak kayaknya."

Budhe tiba-tiba mendekat, merangkul kedua bahu gue. "Kamu punya simpenan uang gak, Jir? Budhe butuh banget buat bayar anak Budhe sekolah. Si Farah, udah masuk SMA sekarang, biayanya lumayan mahal. Kamu bisa bantu budhe?"

Si farah? Anaknya yang mana tuh? Eh, tapi gue gak punya uang banyak. "Gak punya tabungan sebanyak itu, Budhe. Kalau mau, pinjam kak Anri saja. Pasti dia punya simpanan."

"Budhe gak berani, pinjam kamu saja. Berapapun Jira, buat nambah-nambah bayar."

"Ada satu juta, Budhe. Tapi gak cash."

"Kamu transfer juga gak masalah kok, nanti akan segera Budhe kembalikan Jira. Terima kasih ya!"

Gue belum jawab iya padahal, memangnya segitu butuhnya kah? Perasaan kalau ketemu waktu hari raya, perhiasan emasnya berbaris di pamerkannya.

"Jira gak bawa handphone, Budhe. Bentar ya, Jira ambil ke rumah."

Budhe mengangguk, sambil berkata, "Cepat ya, Budhe harus bayar hari ini juga soalnya."

Gue kembali, padahal niatnya pengen lihat pemandangan pagi. Tapi ya sudahlah, membantu saudara lebih penting. Pemandangan bisa di lihat esok hari.

"Mau kemana buru-buru? Katanya sakit, kok keluyuran?" Memang, gue gak izin keluar tadi. Kakak jadi bertanya saat lihat gue keluar kamar setelah ambil ponsel.

"Ke rumah Budhe!"

"He! Stop!" Kak Anri mendekat, dia baru selesai masak sepertinya. "Ngapain kesana?"

"Budhe mau pinjem uang, buat bayar biaya sekolahnya Farah katanya." jujur aja gue, gak mikirin apa reaksi Kak Anri.

Dan benar, dia mendadak bereaksi marah. Meminta gue diam di rumah, tapi dia pergi keluar.

Gue penasaran, kenapa Kak Anri begitu marah. Akhirnya gue memutuskan untuk menyusul diam-diam. Biarlah jika nanti kena marah, toh gue emang masih kesal sama dia.

"... Budhe bisa apa, lagi butuh uang tapi kamu dan Mamakmu gak mau bantu!"

"Lima juta kemarin kemana? Di suruh bayar hutang alasan mulu! Sekarang ngincer adik aku, mikir dong Budhe!"

Budhe melotot, "Kurang ajar! Kalau gak mau pinjemin tinggal bilang, gak sudi gue makai uang dari keluarga lo!"

"Kalau gitu, Balikin sekarang juga. Uang lima juta. Aku tungguin!"

"Hei!"

"Diem! Aku punya bukti tertulis bahwa Budhe bawa uang keluargaku, kembalikan hari ini juga atau akan ku laporkan ke polisi sesuai kesepakatan yang sudah tertulis."

Berikutnya Kak Anri berbalik, menyadari gue datang menyusul yang bersembunyi di balik dinding rumah Budhe.

"Balik rumah, sekarang!"

Gue gak lagi paham apa yang Budhe teriakan, karena gue menjauh tanpa lagi melihat ke belakang.

Duduk di kursi depan rumah, gue mendekam dan menunggu Kak Anri kembali. Harusnya cepat, karena tadi Kak Anri sudah akan berjalan pulang.

Tapi anehnya lama, gue menunggu hampir lima menit atau lebih. Gak tau pasti, tapi kemudian Kak Anri kembali dengan membawa kertas putih.

Tadi berangkat kesana gak bawa apa-apa, "Apa itu, Kak?"

Kak Anri menatap sekilas apa yang di genggamnya, kemudian memberikannya pada gue begitu saja.

"Ha? Persyaratannya banyak sekali?"

Ada persyaratan dari pihak satu dan dua yang menandatangani perjanjian hutang piutang.

Gue gak akan dekripsikan semua, tapi gue bisa paham dari kertas ini kedua belah pihak sama-sama tidak akan mengalami kerugian.

"Siapa yang buat?" tanya gue.

"Kakak, buat jaga-jaga. Uang lima juta gak sedikit, Ra!"

Ya, bagi gue itu udah termasuk cukup banyak. Kemungkinan bagi Kak Anri itu uang hasil jerih payahnya, yang bekerja dengan giat sampai saat ini.

"Terus? Budhe bakal bayar?"

Kak Anri mengangkat kedua bahunya, kemudian menjawab. "Kakak kasih tenggat waktu hati ini. Sudah banyak tingkah yang merisaukan dari Budhemu itu. Kakak sudah geram, jadi lebih baik begini. Biar jera."

"Apa aja? Kok aku gak pernah di kasih tau?"

"Warisan bapakmu, ladang yang sekarang di sewakan itu, hendak ia rebut secara paksa. Mengatakan itu masih terdapat hak untuknya. Kakak biarin, toh gak akan bisa apa-apa tanpa surat tanah yang kakak bawa ke kota saat itu." Kak Anri ikut duduk, mengambil kursi tepat di samping gue.

"Kakak gak bisa biarin tingkah anehnya berulah terus-terusan. Capek lihatnya."

Kalau gue sih, bingung harus apa. Kali ini gue memuji kakak gue ini, dia hebat dalam membantu Mamak mengurus dan menggantikan sosok Bapak.

"Masuk, sarapan. Nanti siang kamu ada bimbingan skripsi, kan?"

Di ingatkan pula. Padahal maunya hirup udara segar, harus kembali hirup aroma laptop yang kepanasan.

Nasib.

===BERSAMBUNG===

1001 Kata

07 August, 2023
PuMa

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang