22. Terlambat atau sia-sia?

3 1 0
                                    


Biasanya, gue kalau mau ke kampus, jadwal kuliah pagi jam sembilan gue berangkat jam sembilan kurang tiga puluh menit.

Bukan karena malas, tapi memang jarak kampus gue yang gak terlalu jauh dari rumah kontrakan.

Tapi pagi ini, gue harus berangkat sebelum matahari terbit. Bayangin fajar belum bangun aja, gue sudah berada di jalanan.
Ya, gue ada jadwal bimbingan skripsi hari ini. Meskipun dosen bilang jam sembilan baru bisa ketemu, Kak Anri bilang setidaknya gue harus sampai kampus jam delapan.

"Bekalnya di makan sebelum ketemu dosen ya, Ra!"

"Iya, Mak." Dengan menutup kotak bekal dan memasukkannya ke paper bag, gue menyalimi Mamak sebelum akhirnya keluar membawa keperluan untuk bimbingan skripsi.

Sebenarnya ini jadwal sudah mundur beberapa kali, dosen sibuk sekali hingga beliau menjadwalkan bimbingan secara daring. Namun kemarin beliau mengatakan untuk mengharuskan gue datang ke kampus dan bertemu secara langsung.

"Kami berangkat, Mak! Assalamualaikum!" teriak Kak Anri. Kami bertiga melambai pada Mamak yang berdiri di pekarangan.
Bertiga? Tuyul satu minta ikut.

"Nanti ke mall gitu kan, Kak?" Pertanyaan yang sejak kemarin di tanyakan.

"Iya, tidur lagi aja. Biar jalan-jalannya nanti gak ngantuk!" Menurut. Cahya langsung selonjoran tidur di kursi belakang.

"Kalau sudah terang, bangunin ya kak!"
"Iya," jawab Kak Anri. Sedangkan gue sibuk susun kertas yang kemarin malam gue print.

Revisian selama online lumayan padat. Sejak kata pengantar hingga bab dua gue di cekoki coretan-coretan.

Kak Anri bilang, beruntung secara online. Kalau tatap muka, sudah di pastikan kertas hvs bercoret-coret akan menumpuk satu kardus. Pengalaman kak Anri? Iya.

"Kalau nanti dosen tanya, gimana kak?"

"Di jawab, Ra!"

Oke, pertanyaan gue salah. "Kalau tanya, kenapa teori yang aku pakai begini! Gak mungkin aku bilang, Kakak yang saranin. Entar aku di pikir pakai joki!"

"Ya, kan, emang!" Kak Anri menjawab, "Sedikit-sedikit. Kak, ini harusnya begini apa begitu? Kak, kata dosen revisi lagi, gimana ini? Dapat teori dari A, Kak. Tapi gak sesuai dengan ini. Gimana, Kak!" Gak gue sebutin semua, intinya omongan kak Anri masih panjang dan itu merujuk pada ejekan untuk gue.

"Kak Anri bantuin, aku yang susun juga. Kalau joki, akunya gak ngapa-ngapain!" Membela diri sekaligus membenarkan kedudukan gue, pada skripsi gue sendiri.

"Jawab aja, kalau kamu pakai teori ini karena lebih masuk akal dengan objek yang sedang di kaji. Kalau pakai teori dari yang dosen kamu saranin, masuk akal tapi tidak menjawab pertanyaan yang sudah tersusun di BAB satu."

Gue mengangguk menyetujui alasan kak Anri, dia menjawab sambik terus fokus menyetir.

Kak Anri bilang, ini bukan apa-apa. Maksudnya, sekarang yang gue lakukan masih permulaan. Kata pengantar hingga BAB dua hanya hidangan selingan sebelum akhirnya bertemu hidangan utama.

Artinya juga, perjalanan gue hingga wisuda masih panjang. Gelar cumlaude, yang sering di bahas pada grub kelas perkuliahan gue. Mengejar itu bukanlah hal yang mudah.

Tapi topik pembicaraan itu pernah gue, Topan dan Dera bicarakan. Saat itu masih semester enam, masih sedikit waras untuk membayangkan proses skripsi. Dengan segala khayalan, kami bertiga berdoa agar bisa lulus bersama dengan predikat cumlaude menyertai.

Membicarakan Dera, gue teringat obrolan kami beberapa hari lalu. Ya, kami mulai sibuk dengan skripsi masing-masing. Di tambah jarak yang juga melenggang, kesempatan untuk jalan-jalan dengannya hampir tidak ada.

"Gue stres, Jir! Gila, dosbim gue sama sekali gak mentolerir typo satu huruf pun. Lo enak online, lah gue yang ketemu hampir tiap minggu harus menumpuk kertas hampir selemari!" Mendramatis, Dera paling jago.

"Lo ganti tinta printer berapa kali?"

"Baru mau dua, kemungkinan minggu depan harus beli lagi!"

"Sabar lo juga isi ulang lagi, Der! Jangan sampai kehabisan."

Percakapan itu di tutup dengan makian Dera yang seakan melampiaskan amarah terpendam dengan gue sebagai wadahnya.

Kurang aja memang, tapi gue tampung kemudian gue buang ke selokan. Hitung-hitung menolong kawan seperjuangan yang juga sedang memperjuangkan masa depannya.

"Kamu sama Topan gimana?" Gue kaget, reflek gue lumayan kencang karena tas berisi laptop yang gue letakkan di kaki sejenak itu tertendang hingga terkapar.

Gue yang lagi berberes kertas-kertas harus menyisihkan tempat, karena si tuyul di belakang memenuhi tempat.

"Gak gimana-gimana!" Kak Anri sama sekali gak pernah bertanya, baru kali ini. Maka dari itu gue kaget.

Lagipula sejak magang dan mendekam di rumah Mamak. Pertemuan dengan Topan tidak pernah terjadi. Kami lebih sering chat daripada telepon.

Rasanya aneh, sekaligus bingung. Hubungan gue dengan Topan sedang tidak baik-baik saja. Tapi gue merasa tidak lagi khawatir seperti dulu.

Dulu? Gue takut sekali kehilangan Topan. Takut jika dia pergi dari hidup gue. Tapi sekarang, perasaan itu gak ada. Gue merasa hampa. Dan perasaan itu terasa menjerat tapi tidak terlalu erat.

"Nanti ada janjian ketemu?" Gue menggeleng. Bahkan kabar gue ke kampus gak ada yang tau selain Dosen pembimbing.

"Ajak ketemu, nanti sekalian di mall!"

"Emangnya kenapa. Kak?" tanya gue, jujur penasaran.

"Kamu gak kangen dia?" Nada suara Kak Anri mirip seperti Dera saat gue cerita di tembak Topan di kantin kampus dulu, merecoki gue dengan pertanyaan aneh.

"Kakak sendiri yang bilang, kami bukan mahramnya." Sempat terucap, di dalam hati. Gue terdiam sebelum akhirnya menjawab dengan mulut, "Rindu, tapi gak saatnya ketemu!"

"Kamu jangan pikirin omongan kakak dulu, kakak minta maaf untuk saat itu."

Gue diam, sama sekali gak menyangka kak Anri sadar diri. Ya, bagaimanapun sakit saat itu masih terasa bila ingatan kembali membukanya.

"Aku juga minta maaf." singkat, karena gue bingung harus berkata apa.

"Segera menikah kalau kamu yakin dengannya. Temui Topan, bawa dia ke rumah. Kenalkan pada Kakak, Mamak dan Cahya secara baik-baik. Insyaallah semuanya akan merestui jika sudah jodoh kamu, Ra!"

Setelah mendengar itu, apa yang gue rasakan? Gak ada. Yang gue pikirkan hanyalah omong kosong, gue menganggap kalimat itu sebagai kata-kata yang terlambat untuk di ungkapkan.

Seharusnya saat melihat Topan pertama kali, dia lebih hangat. Atau setidaknya menahan diri untuk tidak mengucapkan kata-kata buruk.

Penilaian terhadap seseorang tidak akan pernah bisa di lakukan saat berjumpa pada kali pertama. Dan Kak Anri dengan segala sifat yabg di miliki, langsung menilai buruk pada Topan.

Gue sebagai orang yang merasa rugi, harus menahan malu saat berhadapan dengan Topan.

Kini, sebab dia. Hubungan gue dan Topan berubah. Tidak lagi sama terasa, hanya tersisa satu kesempatan yang aku tidak tahu kapan atau siapa yang akan mulai menggunakannya.

"Aku masih fokus pada skripsi, belum terpikirkan pernikahan." jawabku seadanya.

"Ya benar, harus fokus." Ya, sekali lagi gue mengutuk dalam hati. Harusnya dulu, bukan saat ini. Setidaknya kami tidak akan menjadi seperti ini.

Ya sudahlah!

=BERSAMBUNG=

1038 Kata

30 July, 2023
PuMa

Teruntuk bulan ini, terima kasih banyak.

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang