38. Ego itu

0 0 0
                                    

"Nak, pikirkan masa depan kamu. Kami akan baik-baik saja, Mamak dan Cahya akan bahagia saat kalian berdua menemukan kebahagiaan kalian!"

"Aku bahagia, dengan melihat Mamak dan Cahya tersenyum setiap hari, bersama kalian sudah membuat aku bahagia," kata Kakak.

"Bukan itu, pikirkan masa depan kamu. Cahya akan segera dewasa, begitupun Mamak yang semakin tua." Gue menangis, tolong. "Kamu mencintai Fahmi, pun Fahmi juga demikian. Fahmi ingin menikahi kamu, dan kamu sebenarnya mau menerima Fahmi!"

"Nak, terima kasih. Perjuangan kamu dalam menghidupi dan melindungi keluarga ini sudah lebih dari cukup. Mamak, Jira dan Cahya tidak pernah kekurangan karena kerja keras kamu. Tiap kali Mamak merindukan bapakmu, Mamak selalu bersyukur memiliki kamu."

Gue berjongkok, menyembunyikan tangis gue di atas lutut.

"Anri tidak bisa, menikah bukan kebutuhan Anri sekarang. Prioritas Anri bukan menikah, tapi keluarga ini. Dengan ego yang Anri punya, kehidupan setelah menikah belum bisa Anri jalani" Kembali berdiri, gue putuskan untuk menghampiri Kakak dan Mamak. "Apalagi Cahya masih belum tamat pendidikannya. Pikiran Anri masih dipenuhi itu semua, bukan hidup dengan suami. Bukankah itu sama saja menerjunkan Fahmi ke dalam kehidupan yang pastinya suram?"

Kelambu terbelah, gue mendekati Mamak dan Kakak yang duduk di atas sofa. Ketahuilah, ekspresi terkejut dari keduanya yaitu sama-sama melotot.

Gue yang sudah menangis sejak tadi, bersimpuh di depan kaki Kak Anri. "Aku yang egois, kakak setelah kuliah langsung bekerja menghidupi kami semua. Aku malah buru-buru menikah!"

"Ra?"

"Batalin saja pernikahan aku, jangan di lanjutkan. Kakak saja yang menikah, kakak harus menikahi lelaki yang kakak cintai!"

Yang gue rasakan saat itu hanyalah perasaan bersalah. Salah sejak awal, dan gue penyebabnya.

Penyebab dari Kak Anri yang masih memikirkan keluarga, bukannya menikah. Gue penghalang, harusnya gue sadar diri untuk tidak mementingkan diri sendiri.

"Ra, bangun!" Paksaan Kak Anri tidak ampuh, gue tetap bersimpuh. "Kamu dengerin semua?" Gue mengangguk, meskipun tidak tahu awalnya itu seperti apa.

"Kakak menikah ya? Aku gak masalah, aku masih muda. Kalaupun Topan tidak mau menunggu aku, ikhlas aku melepasnya." Ya, gue tulus mengucapkan itu. Menyadari bagaimana Kakak berjuang selama ini, gue akan lakukan apapun untuk membalasnya.

"Ra, bukan itu maksud kakak!" Sambil menggoyangkan tubuh gue, Kakak menjawab. "Jika dalam diri kakak sendiri itu sudah siap untuk melangkah ke pernikahan, kakak akan bilang, ya. Tapi kakak merasa belum mampu buat menjalani kehidupan setelah pernikahan itu, diri kakak sendiri ini yang belum siap!"

Gue mendengarkan, Mamak menangis gue ikutan juga.

"Pernikahan bagi kakak itu sulit, dengan ego kakak yang masih tinggi untuk keluarga kakak sendiri, mengurus suami bukan hal yang mudah. Karena seorang perempuan, jika sudah menjadi istri maka tanggung jawab sepenuhnya ada pada suami. Dan abdi seorang istri hanya untuk suaminya!"

"Jika, Kakak tidak akan mendahului takdir. Jika suatu hari, suami kakak muak dengan kegiatan kakak yang terus bekerja dan bekerja. Sekali dia ucap berhenti, maka saat itu juga Kakak harus menaatinya. Sedangkan Kakak masih berkeinginan tinggi untuk bekerja dan menyekolahkan Cahya tinggi-tinggi."

Gue langsung menjawab, "Aku, biar aku. Kakak jangan lagi mengambil tanggung jawab itu. Aku bisa, kak!"

Kakak menghembuskan napas, kemudian menatap gue lekat. "Kamu sudah berstatus calon menantu keluarga Topan. Mau nama Mamak jelek karena kamu membatalkan pernikahan secara sepihak?"

Jodoh Buat Kakak |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang