***
Langkahnya bergerak cepat, berlari ke depan, mengejar seorang yang beberapa meter ada di depannya. "Ya! Bajingan! Berhenti!" pria itu berteriak, memaki orang yang dikejarnya, memintanya untuk berhenti meski itu mustahil.
"Detektif Kwon! Berhentilah! Kenapa kau melakukan ini padaku?! Augh! Berengsek!" yang dikejar ikut berteriak, namun tentu saja itu sia-sia.
"Kau yang berhenti berlari, sialan!" mereka terus berlari. Dikejar dan mengejar, hampir dua kilometer jauhnya. Mengganggu para pejalan kaki di kota Allamanda, mengganggu para pedagang kaki lima yang membuka stan kecil mereka di tepi trotoar.
Lama mereka berlari, menyuruh satu sama lain untuk berhenti, sampai tiba di persimpangan dekat pengadilan Detektif Kwon Jiyong menghentikan langkahnya. Handphone pria itu bergetar, bersamaan dengan matahari yang hampir terbenam. Sepintas, pria itu lihat nama yang muncul di layar handphonenya dan buru-buru ia atur nafasnya.
Sedang di saat yang sama, pria yang ia kejar tidak menyadari apa yang terjadi di belakangnya. Pria itu berambut merah muda, tubuhnya kurus dan jangkung. Kaus putih yang ia kenakan sudah basah karena keringat sekarang. Meski begitu, ia tetap berlari, mengira kalau si Detektif masih mengejarnya.
Merasa kalau suara Detektif Kwon tidak lagi terdengar, pria berambut merah muda itu menoleh ke belakang. Di lihatnya pria yang sedang mengejarnya justru tengah menjawab sebuah telepon sekarang. "Detektif Kwon!" pria berambut merah muda itu berteriak, bingung karena ia tiba-tiba diabaikan.
Mendengar namanya dipanggil, Kwon Jiyong menoleh. Ia lihat pria berambut merah muda itu mengacungkan jari tengahnya, dan dahinya berkerut. Bukan hanya jari tengah itu yang terlihat matanya. Tepat di belakang pria dengan rambut merah muda itu, rekan kerjanya ada di sana.
"Halo, sayang?" Kwon Jiyong bicara pada gadis yang meneleponnya. Nada bicaranya sekarang terdengar lembut, dan ia tidak lagi terengah.
Sembari bicara, pada gadis di teleponnya, Kwon Jiyong juga mengacungkan jari tengahnya. Ia ejek si rambut merah muda, bersamaan dengan rekan-rekannya yang menangkap pria itu di persimpangan. Si kurus berambut merah muda itu terkejut, memberontak namun ia tidak bisa melarikan diri lagi. Tangannya dipegangi, lalu dipakaikan borgol dan ia diseret masuk ke dalam mobil.
"Hyung, kau akan ikut?" seorang detektif lain menghampiri Jiyong sekarang. Berlari kecil dari persimpangan untuk bicara pada pria yang sedari tadi berlari mengejar penjahat.
"Tidak, ini hari Jumat," Jiyong menggeleng, memberi tanda pada pria yang menghampirinya kalau ia akan pergi sendiri dengan taksi yang biasa menunggu penumpang di persimpangan.
"Iya! Ini hari Jumat! Appa akan menjemputku kan?!" alih-alih rekannya, suara seorang gadis kecil yang menanggapi ucapannya.
Gadis itu terdengar senang, nada ceria dari suaranya memenuhi telinga Detektif Kwon. Sembari melangkah masuk ke dalam sebuah taksi, Kwon Jiyong mengipas-ngipaskan tangannya, mengurangi panas yang sekarang menjalar di tubuhnya. Berlari membuat tubuhnya terasa luar biasa panas dan ia beri tanda pada supir taksinya untuk menambah dingin pendingin mobil itu.
"Appa sudah berangkat? Kapan appa sampai?" tanya si gadis penasaran.
"Ya, appa sudah berangkat. Mungkin satu jam lagi sampai, tunggu sebentar lagi, sayang," balas pria itu, yang hanya punya waktu satu jam untuk beristirahat.
Ini hari Jumat dan besok akhir pekan. Sepanjang minggu, sang detektif hanya menunggu akhir pekannya. Hanya akhir pekan yang ia tunggu-tunggu, sebab hanya pada hari itu ia bisa bertemu dengan putrinya. Hanya di akhir pekan, ia bisa memeluk gadis kecilnya itu.
Belum satu jam, Kwon Jiyong sudah sampai di depan gedung apartemen tempat putrinya tinggal. Sembari menelepon lagi putrinya, pria itu merapikan rambutnya, ia bercermin pada jendela mobil yang terparkir di depan gedung, memastikan penampilannya cukup layak untuk bertemu tuan putrinya.
Dengan kaus biru dan celana jeans hitamnya, Kwon Jiyong menempelkan handphonenya ke telinganya, menunggu panggilannya di jawab. Namun panggilan itu tidak juga terjawab, sampai seorang anak perempuan keluar dan berlari dari lift.
"Appa! Appa!" gadis itu berteriak, berlari meninggalkan lift, melompat-lompat menggerakan tangannya di depan pintu kaca gedung apartemennya. Harapannya, dengan ia melompat-lompat dan menggerakkan tangannya di depan pintu, pintunya akan lebih cepat terbuka.
Selanjutnya, setelah berhasil keluar dari gedung apartemen tempatnya tinggal, ia peluk ayahnya. Memeluk di kakinya kemudian naik ke gendongan Detektif Kwon. "Appa!" ia berseru sekali lagi, memeluk leher ayahnya, tidak peduli meski ayahnya bau keringat sekarang.
Di punggungnya ada sebuah ransel, berwarna merah kesukaannya. "Eomma bilang, appa harus mengantarku ke rumah nenek hari Minggu nanti," lapor gadis kecil itu, setelah ia melepaskan rindunya pada sang ayah.
Detektif Kwon mengangguk, menyetujuinya meski ia tidak tahu apa alasannya. Tidak juga ingin ia ketahui alasannya. Sekarang, pria itu melangkah sembari menggendong putrinya. Bertanya apa yang gadis kecil itu ingin makan untuk makan malam mereka.
"Ayam goreng!" serunya, mengaku kalau ibunya tidak mengizinkan ia untuk makan ayam goreng. Mengadu kalau ibunya terus menyuruhnya makan sayur. "Setiap hari eomma hanya memberiku sepotong paha ayam dan semangkuk besar sayuran, jahat sekali. Aku tidak boleh pergi dari meja makan sebelum menghabiskannya," adunya, membuat Jiyong terkekeh kemudian berjanji kalau malam ini Alice—nama putrinya—boleh menghabiskan satu ekor ayam sendirian.
Kwon Alice hanya menginap di Allamanda selama dua malam setiap minggunya, namun rumah yang Kwon Jiyong tempati sudah penuh dengan mainan-mainan gadis itu. Ratusan sticker melekat di dinding rumahnya, di meja, juga di pintu. Boneka-boneka memenuhi sofa dan ada banyak mainan lainnya di sana. "Appa, aku ingin menonton film di bioskop," gadis itu berkata setelah mereka masuk ke rumah yang Jiyong tinggali.
"Film apa?"
"Doraemon, teman-temanku sudah menonton filmnya," belum sampai tiga jam mereka bersama, namun rasanya Jiyong sudah mendengar semua kisah hidup putrinya selama lima hari terakhir—Kwon Alice tidak berhenti bicara sejak mereka bertemu beberapa jam lalu.
"Kalau begitu, besok kita ke bioskop," Detektif Kwon menyanggupinya, lantas untuk kesekian kalinya, Kwon Alice berseru gembira, berlari masuk ke dalam rumah sederhana ayahnya dan melompat ke sofa. "Appa mandi dulu, kau bermain sendiri di sini, okay?" tanya pria itu dan putrinya pun mengangguk, sembari tangan kecilnya menunjuk TV di depan sofa. Meminta Jiyong untuk menyalakan TV itu, sebab ia tidak punya banyak waktu untuk menonton TV di rumah ibunya.
Sembari berkacak pinggang, Kwon Jiyong melihat sekeliling rumahnya. Ia harus mencari remote TV-nya sekarang, namun mainan putrinya yang berserakan membuat ia sulit menemukannya. "Sayang, kalau kau berhasil menemukan remote-nya, kau boleh menonton TV semalaman dan bangun siang besok," katanya, ia sudah menyerah untuk mencari remote TV itu hanya dengan matanya.
"Dan makan pizza besok?" tanya Alice, lalu Jiyong menganggukan kepalanya.
"Dan makan pizza juga," pria itu setuju.
***
Beda cerita sama yang Alice, cuma namanya aja sama...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...