***
Daripada sebuah laporan kejadian, berkas yang Jennie susun justru terlihat seperti sebuah novel bagi Lisa. Ia meminta Bobby untuk mengecek ulang semua bukti yang Jennie sertakan, mulai dari barang-barang baru yang Soohyuk beli, apa saja yang pria itu makan. "Aku mendekati Detektif Kwon untuk mendapatkan semua informasi itu," katanya, ketika Lisa bertanya bagaimana ia menyusun laporan berkas itu.
"Ketua timmu tidak membaca laporan ini sebelumnya?" tanya Lisa, dan tentu saja Jennie membantah pertanyaan itu. Tentu saja Lee Hani membacanya, sebelum wanita itu menandatangi berkasnya.
Lisa mendengus setelah mendengarnya. Ia tatap rekan kerjanya kemudian mengajaknya keluar. Meminta Jennie untuk tetap di mejanya sementara ia bicara berdua dengan Bobby di luar.
"Dia hanya anak baru," kata Bobby, mencoba mencari-cari alasan agar Lisa tidak terlalu kesal. "Tapi... Daripada menyalahkannya, bukan kah Ketua Tim Lee yang lebih keterlaluan? Sejak kita datang ke sini, dia hanya datang empat kali. Dalam dua minggu, dia hanya bekerja empat hari," susul Bobby. "Daripada mencurigai Kwon Jiyong dan timnya, bagiku Ketua Tim Lee yang justru lebih mencurigakan, bukan begitu?" ucapnya, mengungkapkan pendapatnya.
"Kita tidak datang ke sini untuk melatih anak baru," gerutu Lisa, sembari menatap kesal pada pintu besi di sebelahnya. Bergerak seolah akan memukul pintu itu karena terlalu kesal. "Dia mendekati Detektif Kwon untuk mencari informasi? Pantas saja isi laporannya meyakinkan tapi tidak ada yang berguna di sana," sebal Lisa, yakin kalau mantan suaminya itu pasti menyadari niat Jennie lalu dengan sengaja menyesatkan gadis itu. Meski Jiyong tidak mengira kalau mantan istrinya akan terlibat di sana.
"Tapi untuk apa?" tanya Bobby. "Detektif Kwon sengaja menyesatkan Jennie, agar Jennie menuduh Lee Soohyuk? Untuk apa?"
"Bagaimana aku tahu isi kepalanya?"
"Kalian pernah menikah, kau tidak bisa menebak isi kepalanya?"
"Kalau aku bisa menebak isi kepalanya, kami tidak akan bercerai," balas Lisa, yang kemudian menghela kasar nafasnya. "Kita tidak bisa kembali ke Metro dengan tangan kosong... Mau tidak mau, kita harus menyelidikinya dari awal," katanya kemudian. "Selama kasus ini, kau jadi partnernya, aku yang akan memimpin penyelidikannya. Tentang Lee Hani, aku akan mencaritahu masalahnya. Pertama-tama, bawa dia menyelidiki tim itu," perintah Lisa kemudian, sembari menunjuk Jennie yang ada di ruang kerja mereka dengan dagunya.
Sekarang, alih-alih masuk ke dalam ruang kerjanya, Lisa justru melangkah meninggalkan lorong itu. Gadis itu berjalan mengelilingi kantor polisi, melihat-lihat suasana di sana, mencari-cari selentingan yang mungkin akan berguna baginya. Mencari seseorang yang mungkin bisa jadikan informan.
Ia melewati ruang istirahat, mengintipewat celah pintu yang tidak tertutup rapat lalu menemukan mantan suaminya di sana. Kwon Jiyong tengah berbaring di sofa, menutupi wajahnya dengan sebelah lengannya, terlelap di atas sofa yang tidak seberapa besar. Gadis itu lantas mendorong pintunya, ingin melihat lebih dekat mantan suaminya yang terlelap di sana.
Kwon Jiyong terlelap dengan sangat tenang siang ini. Namun ada bagian lain yang menarik perhatian Lisa. Di balik kaus putih yang pria itu kenakan, samar-samar Lisa melihat perban di sana. Kaus itu sedikit tersingkap di bagian perutnya, dan setelah Lisa perhatikan lebih lama, benar-benar ada perban di sana, masih dengan semburat merah kecoklatan di bagian atasnya. Pria itu terluka, di bagian perut dekat pinggang kirinya.
Lisa tentu penasaran alasan pria itu terluka, namun belum sempat ia kumpulkan keberaniannya, dering sebuah handphone sudah lebih dulu mengejutkannya. Jiyong terbangun karena dering handphone itu, pria itu buru-buru meraih handphonenya, tapi masih sempat menatap heran pada Lisa yang berdiri menatapnya. Gadis itu membeku seolah baru saja tertangkap basah melakukan kejahatan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" heran Jiyong, sembari perhalan-lahan bergerak untuk duduk. Akan menjawab dan bicara pada teleponnya.
"Membuat teh," buru-buru Lisa berbohong. Gadis itu bergerak menghampiri meja, buru-buru meraih gelas kertas yang ada di sebelah dispenser, mengisinya dengan air panas kemudian mencari-cari teh yang harusnya ada di sana.
"Tidak ada teh di sini, hanya kopi," kata Jiyong. "Halo, sayangku?" susulnya, tentu bukan bicara pada Lisa, tapi pada seseorang yang meneleponnya. "Kenapa kau menangis, sayang?" katanya, kali ini sembari duduk di sofa dan sedikit menekan perutnya yang nyeri, Jiyong mengusap wajahnya. Menghilangkan kantuk yang selalu muncul tiap kali ia menelan obatnya.
"Appa..." suara Alice terdengar begitu sedih sekarang. Dibarengi beberapa isakan juga tarikan ingus yang tidak bisa gadis kecil itu tahan. "Eomma tidak menjawab teleponku," susulnya sembari menangis, kali ini Jiyong menoleh pada Lisa, menatap gadis yang masih sibuk mencari-cari teh padahal sudah diberitahu tidak ada teh di sana. Lisa ingin menguping—keinginan itu terlihat sangat jelas sekarang. Lisa penasaran, siapa orang yang menelepon mantan suaminya di tengah hari begini sembari menangis. Ia ingin tahu, siapa gadis yang Jiyong kencani sekarang.
"Eomma? Kenapa kau mencarinya, sayang?" tanya Jiyong, pada gadis kecilnya di telepon.
Pria itu kemudian meraih bantal leher yang sebelumnya ia pakai, akan melempar bantal itu pada punggung Lisa, memberi tanda kalau sosok ibu diperlukan sekarang. Namun belum sempat Jiyong melempar bantal itu, Lisa sudah lebih dulu menoleh. Tentu Lisa langsung tahu sekarang, siapa orang yang menelepon Jiyong.
"Aku... Aku sudah menelepon eomma berkali-kali tapi dia tidak menjawab teleponku," sekali lagi Alice terisak, dan kini suaranya bisa terdengar sampai ke telinga Lisa, sebab Jiyong menyalakan pengeras suara handphonenya.
"Tuan putri?" Lisa membuka suaranya, sembari mengulurkan tangannya untuk melihat jam tangannya. Saat itu masih jam makan siang.
"Eomma?"
"Hm... Ini eomma, ada apa sayang? Kenapa kau menangis, hm?" tanya Lisa, yang tidak diizinkan menyentuh handphone mantan suaminya. Jiyong keberatan memberikan handphonenya pada Lisa, karenanya Lisa hanya bisa bicara lewat pengeras suaranya, tanpa menyentuh handphone itu.
"Ibunya Chan memarahiku," adu Alice, terisak karena baru saja dimarahi oleh ibu dari temannya.
Gadis kecil itu lantas bercerita, kalau hari ini ada acara pertemuan orangtua di sekolah. Alice sengaja tidak memberitahu kedua orangtuanya, sebab gadis itu tidak bisa memutuskan siapa yang harus ia undang—ayahnya atau ibunya. Tapi, saat di sekolah, seorang teman mengejeknya. Mengatakan kalau Alice tidak punya orangtua karena tidak satupun dari orangtuanya datang ke sekolah.
"Aku mengabaikannya, tapi dia terus mengejekku, dia bilang eomma dan appa tidak menyayangiku, karena itu kalian tidak datang. Aku kesal, jadi aku memukulnya," tangis gadis kecil itu jadi semakin keras sekarang. "Aku memukulnya lalu ibunya memarahiku," adu Alice, yang juga mengatakan kalau gurunya pun ikut memarahinya. Berkata dengan sangat menyedihkan kalau sekarang ia menangis sendirian di meja sekolahnya, karena murid-murid lainnya sedang bersenang-senang di lapangan sekolah, sementara ia dihukum karena memukul temannya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanficAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...