33

285 62 1
                                    

***

Alice dikirim ke perkemahan, bersama banyak anak lainnya. Lisa yang mengantarnya, setelah malam ini ia pulang ke rumahnya sendiri. Berkat info dari seorang tetangganya, yang juga mengirim putrinya ke perkemahan, Lisa jadi punya waktu untuk menyelesaikan masalahnya. Setidaknya satu minggu ia punya waktu untuk mengurus pekerjaannya, juga mencari cara untuk berdamai dengan mantan suaminya.

"Aku belum bilang appa kalau hari ini akan pergi kemah," kata Alice, di mobil ibunya dalam perjalanan ke perkemahan. "Appa bilang dia akan berkemah denganku, kalau aku pergi duluan, nanti appa marah," susulnya, ragu karena ibunya tiba-tiba mengemasi pakaiannya dan mengirimnya pergi.

"Eomma akan bilang agar dia tidak marah," kata Lisa, menenangkan putrinya. Lisa beritahu Alice kalau sebagian besar teman sekolahnya pergi ke perkemahan itu. Mengatakan juga kalau Alice akan bersenang-senang di sana, bersama teman-temannya, juga teman-teman barunya nanti. "Ada flying fox di sana, kolam lumpur, banyak mainan di dana, kau pasti menyukainya. Kalau eomma tidak terlambat mengetahuinya, eomma pasti sudah mengantarmu ke sana sejak kemarin," susulnya, memberitahu Alice kalau teman-temannya sudah ada di perkemahan itu sejak kemarin. Senin sampai Minggu anak-anak sekolah dasar itu berkemah bukit pinggiran kota Bellis, tidak terlalu jauh dari Allamanda.

"Joon sudah pulang," kata Alice kemudian, bercerita kalau ia sudah bertemu dengan Joon di depan gedung apartemen tadi. Joon baru saja pulang saat mereka berpapasan, digendong ayahnya sembari menangis.

"Mungkin Joon takut tidur di perkemahan tanpa ayah dan ibunya," tenang Lisa. "Kalau kau takut, langsung telepon eomma, atau appa, kami akan langsung menjemputmu," katanya, meski tahu putrinya tidak akan begitu.

"Aku tidak takut tidur tanpa eomma dan appa," kata Alice.

"Lalu kenapa kau tidak ingin pergi?"

"Aku tidak punya tenda," kata Alice. "Appa hanya punya uang untuk membeli skuter, jadi dia belum membelikanku tenda," susulnya, kebingungan dimana ia akan tidur kalau tidak punya tenda.

"Di perkemahan ini, kau tidak akan tidur di tenda," jawab Lisa, memberitahu Alice kalau ia akan tidur di pondok dengan banyak gadis kecil lainnya. Tidur di masing-masing ranjang kecil, dalam ruangan besar. Mereka akan tidur bersama, bangun bersama, makan bersama juga bermain bersama di sana.

Meski ragu, Alice tetap pergi. Karena begitu tiba di lokasi perkemahannya, ia lihat ada banyak teman-temannya di sana. Memakai celana dan kaus olahraga, sedang berlarian dengan cat. Mereka sedang perang warna sekarang, dan Alice tidak sabar untuk ikut bermain.

Dari tempat perkemahan itu, Lisa baru pergi setelah tiga jam di sana. Ia melihat-lihat lokasi putrinya akan tinggal, berkenalan dengan para penanggung jawabnya, meminta mereka memperhatikan Alice juga menjaganya. Beruntung, karena Joon pulang, Alice bisa mengisi satu tempat kosong di sana.

Lepas meyakinkan dirinya sendiri kalau putrinya bisa ditinggalkan di perkemahan itu, Lisa kembali berkendara. Ia harus pergi bekerja sekarang. Harus kembali menganalisa kasus yang Jiyong dan timnya kerjakan. Kasus itu penting, sangat penting, namun melihat Jiyong ada di kantor polisi, dengan tangan dan kaki yang masih digips, membuat Lisa sangat penasaran, bagaimana keadaan pria itu sekarang. Apa kemarin ia mengkhawatirkannya? Apa pria itu tidak penasaran, kemana ia pergi kemarin?

Semua rasa penasaran Lisa terjawab, ketika mereka berdua tidak sengaja berpapasan. Jiyong melewatinya begitu saja. Melangkah di pintu depan kantor polisi, melewatinya dan mengangkat tangannya yang sehat untuk menyapa seorang detektif lain di belakang Lisa. Bak dirinya tidak terlihat, Jiyong mengacuhkannya begitu saja. Bahkan meliriknya pun tidak.

Diperlakukan begitu, Lisa menghela nafasnya kasar. Tentu ia kesal, namun bertengkar di sana hanya akan membuat nama baiknya tercoreng. Hanya akan membuat ia terlihat semakin buruk di mata detektif-detektif lain, di mata rekan-rekan mantan suaminya.

Kemudian waktu berlalu begitu saja, pekerjaan membuat Lisa tidak bisa banyak bergulat dengan perasaannya. Ia hanya punya waktu satu minggu untuk bisa benar-benar fokus pada pekerjaannya. Tanpa memikirkan menu makan siang sampai makan malam putrinya. Tanpa mengkhawatirkan Alice yang mungkin sendirian di rumah.

Malam sudah larut sekarang, hampir tengah malam. Lalu setelah berjam-jam mengecek petunjuk yang anak buahnya kumpulkan, Lisa bangkit dari duduknya. "Lanjutkan lagi besok, beristirahat lah," katanya, menyuruh Bobby juga Jennie untuk segera menutup laptop mereka dan pulang.

"Anda akan pulang sekarang, Detektif?" tanya Jennie, menoleh pada Lisa yang bangkit dan berjalan ke pintu.

"Ya, sebentar lagi, setelah ke toilet. Pulang lah duluan," angguk Lisa, lantas pergi meninggalkan ruang kerja mereka. Hanya dengan handphone di tangannya. Lisa tidak bisa meninggalkan handphonenya, sebab khawatir Alice akan menelepon karena ingin pulang.

Lisa tidak benar-benar pergi ke toilet. Ia melangkah menuju ruang istirahat, sembari menoleh pada tempat kerja mantan suaminya. Jiyong duduk di kursinya, sedang merokok sembari menatap layar laptopnya. Di sofa lusuh, di belakang Jiyong seorang pria berbaring. Sedang pria lainnya duduk dengan kaki ditumpangkan ke atas meja. Dua pria di belakang Jiyong terlihat belum lama terlelap, tidur mereka belum seberapa nyenyak.

Dari jauh Lisa memperhatikan mereka, lantas berpaling saat Jiyong menoleh ke arahnya. Lalu setelahnya, ia pergi ke ruang istirahat, akan menyeduh kopi di sana namun langkahnya berhenti di depan pintu. Ada beberapa detektif lain sedang tidur di dalam ruang itu, membuat Lisa enggan untuk masuk dan menyeduh kopinya di sana.

Ia kembali mundur, melangkah pergi keluar kantor polisi, akan membeli kopi di mesin sebelah gedung itu. Tempat ia pernah berbincang dengan Jiyong beberapa bulan lalu. Lalu, sembari menunggu gelas kopinya penuh, Lisa menundukan kepalanya, menatap layar handphonenya, melihat lagi foto-foto yang Alice kirim tadi sore. Ingin memastikan putrinya baik-baik saja di semua foto itu.

"Ibumu meneleponku tadi pagi," tiba-tiba suara Jiyong terdengar di belakangnya. Lisa tidak tahu kapan pria itu datang, namun gelas kopinya sudah penuh sekarang. Jadi ia ambil gelasnya, agar Jiyong juga bisa memasukan koinnya, membeli kopi untuk dirinya sendiri.

Sembari memasukan koinnya, Jiyong kembali melanjutkan kalimatnya. "Dia bilang kau tidak kesal karena nugget tapi karena aku menciummu dan tidak- ya! Augh! Sialan!" tidak selesai dengan kalimatnya, Jiyong sudah lebih dulu mengeluh, mengumpat karena Lisa menjatuhkan kopinya, tepat di kakinya.

Seolah sengaja menyiram kaki mantan suaminya yang terluka dengan kopi mix yang panas itu. Dengan kopinya, Lisa buat Jiyong bergerak mundur, sedikit melompat sembari menggerak-gerakkan kakinya yang terluka. Gipsnya baru saja disiram dengan kopi dan air panas itu mengenai ujung-ujung jarinya yang tidak tertutup gips.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang