41

309 57 4
                                    

***

Di mobil, Lisa menyalakan laptopnya. Ia kirim file-file penting hasil penyelidikannya pada Jiyong. Ia simpan file-file itu dalam sebuah USB dan akan memberikan USB-nya pada Jiyong. Tentu setelah memasangi password di USB itu. "Passwordnya tanggal bercerai kita," kata Lisa, masih sembari menatap laptopnya, sedang Jiyong sibuk mengemudi ke sekolah Alice.

"Kau tidak punya tanggal lain? Kenapa harus tanggal itu."

"Akan aku ganti jadi tanggal pernikahan kita kalau oppa memberitahuku, kemana kau menghabiskan semua peninggalan orangtuamu," balas Lisa, masih tetap fokus pada pekerjaannya.

"Aku juga benci tanggal itu."

"Aku juga," kata Lisa. "Tapi apa kita punya pilihan? Oppa tidak bisa mengingat angka lain, dan tanggal ulangtahun sangat mudah di tebak," susulnya, seolah sedang menyalahkan ingatan Jiyong yang tidak seberapa baik. Jiyong bisa mengingat segalanya, kecuali sederet angka acak yang ia jadikan password.

"Pakai nomor telepon Alice saja. Aku hafal nomor teleponnya," suruh Jiyong, membuat Lisa langsung menautkan alisnya. Tidak percaya Jiyong menghafal sederet panjang angka-angka itu.

Tapi Jiyong benar-benar menghafalnya, bahkan secara terbalik, ia hafal nomor telepon putrinya. Hanya nomor telepon putrinya yang Jiyong hafal. Dan sekali lagi sukses membuat Lisa cemburu, Jiyong tidak pernah menghafal nomor teleponnya. Ia tidak pernah berusaha menghafalkannya, meski sudah berkali-kali Lisa memintanya—dulu.

Kalau mereka tidak bercerai, akankah Lisa cemburu pada putri mereka? Rasanya tidak. Lisa akan memuji Jiyong jika pria itu sangat menyayangi putrinya, sembari tetap mencintainya. Mereka akan saling menyayangi, berbagi kasih bertiga, seandainya saat itu tidak bercerai. Hanya seandainya... sederet angan yang membuat Lisa melamun sembari menatap laptopnya.

"Akan aku ganti jadi nomor telepon Alice kalau oppa memberitahuku-"

"Aku hanya bilang aku tidak punya tabungan. Aku tidak bilang kalau aku tidak punya aset," kata Jiyong, menyela tawaran lawan bicaranya. Bersamaan dengan berhentinya mobil itu di sebelah mobil Lisa.

"Lalu apa masalahnya kalau oppa diskors atau dipecat? Kau masih punya banyak aset," tanya Lisa, heran karena Jiyong ingin dinafkahi olehnya—begitu menurut Lisa, meski Jiyong tidak benar-benar mengatakannya.

"Tidak masalah kalau aku dipecat, itu bukan skenario terburuknya, selalu ada yang bisa aku jual kalau aku dipecat. Tapi siapa yang menjual aset hanya karena diskors atau potong gaji? Kalau aku diskors, atau gajiku dipotong, aku tidak bisa mengirim uang sekolah Alice. Pakai tabunganmu untuk membayarnya."

"Hanya itu? Oppa benar-benar hanya mengkhawatirkan Alice? Whoa! Menyebalkan sekali! Aku mengkhawatirkanmu, tapi kau hanya mengkhawatirkan Alice?! Luar biasa," lagi, Lisa mengeluh.

Jiyong menghela nafasnya. Enggan untuk menanggapi perasaan yang Lisa dramatisir itu. Sembari menunggu transfer datanya selesai, pria itu memejamkan matanya, membiarkan Lisa menggerutu tentang kasihnya yang luar biasa pada putri mereka. Lebih baik ia diam, daripada ikut gila seperti mantan istrinya—begitu pikirnya.

Hampir dua puluh menit Jiyong berada disana, sampai semua data penyelidikan yang Lisa temukan selesai dipindahkan. Sampai Lisa berikan USB-nya pada Jiyong, meminta Jiyong segera menyelesaikan kasus itu, lalu berpesan kalau ia harus ke Bellis sekarang.

"Jemput Alice jam empat sore nanti," kata Lisa, setelah ia turun dari mobilnya. "Kita belum menemukan tempat bimbel yang cocok, jadi jemput dia sepulang sekolah," perintah Lisa dan Jiyong menyanggupinya. "Sungguh? Oppa benar-benar harus menjemputnya. Ini hari pertamanya sekolah, oppa harus menjemputnya," tegas Lisa sekali lagi, masih dari tempatnya berdiri.

"Iya! Aku akan menjemputnya! Cepat tutup pintunya!" suruh Jiyong, kesal karena Lisa terus mengulang-ulang perintah yang sama. Seakan tengah memperlakukannya seperti seorang bodoh yang tidak bisa diperintah.

"Jangan berteriak di sini," tegur Lisa kemudian. "Alice harus punya keluarga harmonis," katanya, lantas menutup pintu mobil Jiyong dan berjalan mundur, agar Jiyong bisa segera pergi dari sana.

"Bisa-bisanya kau bilang begitu setelah berusaha keras membuatku jadi penjahat," balas Jiyong, masih belum mengemudi pergi. Pria itu masih membuka kaca mobilnya, memberi kesempatan agar Lisa bisa mendengar ucapannya. "Pulanglah saat ramai. Kau tidak akan mudah dibunuh kalau ada di keramaian," pesannya kemudian.

"Kau mengkhawatirkanku atau takut Alice tidak punya ibu?"

"Bukankah dua-duanya sama saja? Aku pergi, jangan sampai mati," kata Jiyong, baru setelahnya ia mengemudi pergi dari sana.

Lisa menggerutu, baru setelahnya ia pergi ke Bellis. Ingin ia tanyakan pemecatannya pada orang yang bertanggung jawab di sana, Wakil Kepala Kepolisian Metropolitan yang sementara ini menggantikan posisi Kepala Lee. Apa pun alasannya nanti, tentu ia akan berlaga tidak mengetahui apapun. Mengatakan kalau masalah keluarganya sedang sangat mengganggunya, hingga ia tidak bisa fokus bekerja. Memakai belas kasihan untuk membuat semua yang terlibat fokus padanya dan mengabaikan Jiyong serta penyelidikannya.

Hari ini, Jiyong melakukan tugasnya. Ia kirim anak buahnya untuk menyelidiki kasus mereka, tentu dengan bantuan file yang telah Lisa berikan. Lalu menjemput Alice dan memberinya makan. Sampai di tengah malam, Lisa baru kembali dari perjalanannya ke Bellis. Setelah diantar seorang supir pengganti, Lisa meminta Jiyong menjemputnya di tempat parkir.

"Bajingan!" seru Lisa, memukul Jiyong tepat setelah ia datang. "Karenamu aku dipecat! Sialan! Padahal aku tidak melakukan apapun! Bedebah bodoh!" katanya, dengan bau alkohol yang memenuhi tubuhnya.

Lisa masih cukup sadar untuk mengetik pesan tanpa sedikit pun salah ejaan. Namun di tempat parkir, di depan si supir pengganti, Lisa kelihatan sangat mabuk. Ia salahkan Jiyong karena membuatnya dipecat, sedang pria itu harus membayar biaya supir penggantinya, menerima kunci mobil mantan istrinya juga membawanya naik.

Sampai ke dalam lift, Lisa masih terus mengamuk. Menyalahkan Jiyong atas pemecatan yang ia terima hari ini. Mengatakan kalau ia benar-benar menyesal karena datang ke Allamanda. Lalu, begitu pintu lift tertutup, gadis itu kembali berdiri dengan tegak. Tidak lama Lisa berdiri, sebab selanjutnya ia berjongkok di sebelah lift. Mengeluh kalau perutnya sakit dan bau alkohol membuatnya semakin mual.

"Kau pura-pura mabuk?" tanya Jiyong dan gadis itu mengangguk.

"Supir pengganti tadi akan melaporkanku pada pria di foto," balas Lisa, yang harus kembali berdiri dan pura-pura mabuk dalam langkahnya ke rumah. "Aku makan malam dengan pria di foto itu," susulnya setelah Jiyong menutup pintu rumah mereka.

Alih-alih segera memberi penjelasan, Lisa justru pergi ke kamar mandi. Beberapa kali ia muntah di sana, di temani mantan suaminya yang menepuk-nepuk pelan punggungnya. "Ambilkan pakaianku, aku mau mandi," kata Lisa kemudian, dan karena butuh informasi, Jiyong pergi untuk melayaninya.

Kira-kira tiga puluh menit Lisa di dalam kamar mandi. Jiyong menunggunya di dapur, sembari menyeduh dua gelas teh untuk mereka. Sedang Lisa memasukan pakaiannya yang kotor ke dalam keranjang, Jiyong berkata kalau Alice sudah pergi tidur dan makan sup tulang lagi tadi. Gadis kecil mereka juga menghabiskan semangkuk anggur untuk camilannya malam ini.

***
40 lebih dikit

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang