2

523 77 0
                                    

***

Menjadi ayah adalah hal paling menyenangkan dalam hidupnya. Melihat seorang gadis kecil yang mirip sepertinya tumbuh besar jadi sebuah pemandangan paling membahagiakan baginya. Meski tidak bisa ia berikan keluarga yang layak untuk putrinya, namun pria itu berjanji ia akan jadi ayah terbaik untuk gadis kecil itu.

Sekarang hari Senin, tidak seperti janjinya, ia biarkan putrinya menginap di rumahnya satu malam lagi. Pada Minggu sore, ia telepon mantan mertuanya, berkata kalau dirinya yang akan mengantar Alice ke sekolah hari Senin nanti. Dengan mobilnya, pria itu mengemudi di pukul enam pagi, memastikan putrinya tidak akan terlambat ke sekolah hari ini.

"Sayang, bagaimana kalau kau terlambat hari ini?" tanya Jiyong, pada Alice di sebelahnya.

"Dihukum," santai gadis itu, sembari mengusap-usap rambut boneka barunya. Boneka Barbie yang baru kemarin Jiyong belikan. "Atau tidak usah pergi ke sekolah saja?" tawarnya, namun sang ayah menggeleng. Bukan hanya Alice yang akan dimarahi kalau sampai ia bolos sekolah. Danau tenang dalam hidup Jiyong pun bisa berubah jadi lautan penuh ombak, kalau mereka tidak pergi ke sekolah hari itu.

"Appa juga takut pada eomma?" tanya Alice kemudian, ia tolehkan kepala kecilnya, menatap pada pengemudi mobil itu. Jiyong mengemudi dengan sebelah tangannya, sedang tangannya yang bebas sesekali mengusap rambut pendek putrinya. Rambutnya sebahu sekarang, sengaja dipotong pendek karena gadis kecil itu ingin terlihat seperti ibunya.

"Tentu saja," seru Jiyong. "Ibumu itu menakutkan, sangat menakutkan!" katanya kemudian.

"Karena eomma menakutkan jadi appa tidak tinggal bersama kami?" kali ini Jiyong terdiam. Baru saja ia sadari, kalau ucapannya bisa jadi masalah. Mantan istrinya pasti kesal kalau mendengar ucapannya tadi. Ah... Bahkan sebelum itu, mantan istrinya pasti sudah kesal sekarang, karena ia tidak membawa Alice ke rumah neneknya.

Alice terlambat ke sekolah hari ini. Gadis kecil itu terlambat selama lima belas menit, dan sebagai hukumannya, Alice perlu tinggal lebih lama di sekolah nanti. Ia harus dihukum sepulang sekolah. Disuruh membaca buku selama ia terlambat, yang artinya Alice harus membaca selama lima belas menit sepulang sekolah nanti.

Sedang Kwon Jiyong, tentu ia kembali ke Allamanda, meninggalkan putrinya di Belis, di sekolah tempatnya belajar. Perjalanannya kembali ke Allamanda lebih lama dari sebelumnya, ada kemacetan parah di jalannya pulang.

Di tengah-tengah perjalanannya kembali, seorang anggota timnya menelepon. Lee Soohyuk yang menelepon, pria yang akan menggantikannya, jika ia tidak ada di tempat.

"Tim penyidik internal datang," Lee Soohyuk berkata dalam teleponnya.

"Untuk apa?" tanyanya, tidak seberapa penasaran sebab ia tahu alasan tim itu datang.

"Joon hyung," ucapnya pelan.

Kini pegangan tangan Jiyong pada roda kemudinya mengeras. Ia remas roda kemudinya, menahan ledakan emosi yang tiba-tiba datang. Jang Joon adalah Ketua Tim sebelumnya. Seorang detektif senior yang tewas dalam misi. Pria yang tahun lalu dianugerahi penghargaan karena jasanya, karena ia tewas dalam misi.

Jiyong bekerja dengan pria itu sebagai partnernya. Joon mengetuai tim mereka, dan Jiyong yang mendukungnya. Kematiannya saja sudah meninggalkan luka yang cukup besar untuk tim, namun beberapa bulan terakhir tersebar rumor miring—Detektif Jang Joon tidak meninggal dalam misi. Ia tidak pergi ke pelabuhan sebagai mata-mata yang tengah menjalankan misinya. Ia berada di pelabuhan dan meninggal di sana karena dirinya bekerja untuk gembong narkoba itu.

Tidak seorang pun tahu darimana datangnya rumor itu. Namun rumor yang menyebar, ternyata mampu mendatangkan tim penyidik internal dari Kepolisian Metro ke gedung Kepolisian Allamanda. "Jangan bekerja sama, abaikan saja mereka," begitu perintah Jiyong pada Lee Soohyuk. Tidak hanya memberi perintah, lewat panggilan itu juga, Kwon Jiyong mengeluh. Ia sumpah serapahi tim penyidik internal itu. Mengatai tim itu tidak berguna karena hanya menyelidiki sesama polisi, sesama detektif. Tim di kepolisian yang sibuk menyerang keluarganya sendiri demi beberapa keping bonus.

"Bagaimana bisa mereka menikam rekan kerjanya sendiri? Bajingan," keluhnya sepanjang panggilan telepon itu.

Soohyuk menanggapi keluhan Jiyong dengan persetujuan. Mengatakan kalau ia juga sependapat dengan keluhan-keluhan lawan bicaranya. Sembari merokok di samping kantor polisi, dua pria itu mengeluh di telepon. Sampai seorang pria lain melangkah menghampiri Soohyuk. "Mino datang," kata Soohyuk, memberitahu Jiyong kalau ia akan mengakhiri teleponnya sekarang.

Kedatangan Mino membawa berita lainnya. Tim Penyidik Internal Kepolisian Allamanda bekerja sama dengan tim penyidik dari Metro. Mereka yang mendatangkan tim penyidik dari Metro untuk menyelidiki kasus Ketua Tim Jang Joon. "Aku rasa, karena orang-orang di sini tidak bisa diajak bekerja sama, jadi mereka membawa orang luar ke sini," kata Mino, yang selanjutnya berdecak, mencibir Tim Penyidik Internal yang ada di kepolisian mereka.

Sementara para detektif yang akan diselidiki sibuk menggerutu di posisi masing-masing, ada kesibukan lain di sudut kantor polisi itu. Di sudut belakang kantor polisi, Lee Hani bersama Jennie Kim—anak buahnya di Tim Penyidik Internal Kepolisian Allamanda—mengulas senyum mereka untuk menyambut bantuan yang datang.

"Selamat datang," sapa keduanya, pada dua orang yang datang pagi ini. Mereka memperkenalkan diri, begitu juga dengan kedua tamu yang datang—Lalisa dan Bobby, tanpa nama keluarga. Tidak semua orang di sana punya nama keluarga.

Mereka berbincang begitu tiba. Duduk sembari menikmati secangkir kopi yang masih hangat. Ruang penyidik internal berada di sudut—selalu begitu hampir di seluruh kantor polisi, di negeri itu. Ruangannya terpencil, terisolasi, bak sudut gelap yang selalu dijauhi orang-orang.

Di sebagian kantor polisi, mereka yang bekerja dalam tim penyidik internal biasanya mereka-mereka yang tersingkirkan. Mereka yang membuat kesalahan, lalu dihukum masuk ke dalam tim itu. Mereka yang membangkang atasan kemudian disingkirkan ke dalam tim itu atau mereka yang tidak biasa berbaur dengan tim lain.

Tim ini bekerja dalam diam. Diam-diam mengamati orang-orang dalam tim lain, menyelidiki mereka dan menangkap siapapun yang berbuat salah. Tim ini menangkap sesama polisi, karenanya keberadaannya dianggap sebagai ancaman. Keadaan yang sama pun terjadi di Kepolisian Metro, sampai tiga tahun lalu, Ketua Tim Penyidik Internal di Kepolisian Metro, diangkat sebagai Kepala Kepolisian Metro.

Tiga tahun lalu Kepolisian Metro mengalami sebuah krisis besar. Kepala yang ada di sana, pria yang harusnya menjadi sosok teladan, wajah kepolisian, justru terlibat skandal pembunuhan. Ia ketahuan memukuli keluarganya, hingga seorang putranya meninggal. Awalnya kepolisian berusaha menutupi aib itu.

Seorang Kepala Kepolisian, yang seharusnya menjaga masyarakat, tidak seharusnya memukuli putranya sendiri—sampai meninggal. Namun Ketua Tim Penyidik Internal, berpendapat lain. Ia beberkan kasusnya, ia tunjukan kebenaran pada dunia dan ia kirim Kepala Kepolisian Metro itu ke pengadilan. Berkat keberaniannya itu, dirinya diangkat sebagai Kepala Kepolisian Metro yang baru, menggantikan rekannya yang tersingkir karena ulahnya sendiri.

Berkat krisis tiga tahun lalu, Tim Penyidik Internal mendapat banyak sorotan. Publik mendukung mereka, mencoba kembali mempercayai para polisi. Sebab sebelumnya beberapa kasus membuat publik berhenti mempercayai kepolisian.

"Ini, lima petugas yang perlu kita selidiki," ucap Jennie, setelah obrolan dan basa-basi panjang. "Kita sudah membicarakannya sebelumnya-"

"Ya, aku pun sudah membaca semua berkas yang kalian kirim," Lalisa memotong ucapannya. "Aku harap kita bisa jadi tim yang solid," susulnya, sengaja mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Lee Hani juga Jennie Kim di depannya.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang