***
"Eomma, kau sudah tidur?" Lisa yang akhirnya tetap pergi dari rumah, sekarang duduk di taman, menelepon ibunya yang ada di panti jompo.
"Belum, ada apa dengan suaramu?" tanya sang ibu. "Kau sakit?" susulnya ingin tahu.
Lisa sendirian di taman itu. Alice tetap di rumah karena ayahnya. Sedang Lisa keluar untuk menenangkan dirinya. "Tidak, aku tidak sakit, hanya kelelahan," katanya pelan. Kalau ia masih tinggal di Bellis, dihari-hari begini, ia pasti sudah pulang ke rumah ibunya, memeluk dan tidur bersama ibunya—juga Alice.
"Pekerjaanmu melelahkan?" sang ibu bertanya sekali lagi.
"Sedikit," ucapnya setengah berbohong. "Tidak... Sangat melelahkan, dan tidak ada yang bisa memelukku juga. Boleh aku pergi ke tempatmu, eomma?"
"Lalu Alice?"
"Dia bersama ayahnya. Terus bersama ayahnya sampai tidak peduli padaku," keluhnya.
Sang ibu kemudian menyuruhnya untuk datang. Lisa bisa menginap di panti werdha dan tidur bersamanya di sana. Ia bisa membantu Lisa melepaskan lelahnya. Sekedar memeluk juga mengusapi rambutnya. Namun setelah diberi izin, gadis itu justru tidak ingin pergi.
"Besok aku harus mendaftarkan Alice ke sekolah baru, Jiyong oppa juga harus bekerja, sepertinya aku juga harus mencari pengasuh. Aku juga harus belanja karena tidak ada makanan di rumah. Alice selalu makan nugget dan sosis, bisa-bisa dia sembelit kalau terus begitu. Banyak yang harus aku lakukan-"
"Apa Alice hanya anakmu? Minta ayahnya membantu," potong sang ibu, lantas mengeluh, bertanya-tanya apa saja yang Jiyong lakukan di sana. "Kenapa dia melimpahkan semuanya padamu? Padahal kalian sudah tinggal bersama. Kalau masih melimpahkan semuanya padamu, lebih baik kalian tinggal terpisah lagi, apa gunanya dia ada di sana," susulnya kemudian, membuat Lisa terkekeh mendengar omelan ibunya. Berkata kalau omelan ibunya, membuat Lisa merasa lebih baik sekarang.
"Iya kan? Kenapa dia meminta kami tinggal bersamanya kalau dia tidak membantu? Dia pikir memberi uang saja cukup? Menyebalkan," gerutu Lisa, pelan-pelan mulai tersenyum. "Keberadaannya justru membuat Alice jadi semakin nakal. Kemarin Alice sudah makan burger, lalu hari ini dia makan pizza. Aku membelikannya sushi, tapi dia tidak mau makan. Dia justru makan nugget, lalu saat aku memarahinya, dia mengadu pada ayahnya. Jiyong oppa lalu memarahiku, mereka membuatku jadi jahat hanya karena nugget, keterlaluan," adu Lisa, pada ibu yang selalu berada di pihaknya.
Bicara pada ibunya membuat Lisa kemudian menyadari kebutuhannya. Dirinya lelah, karena pekerjaannya, karena tanggung jawabnya, karena kewajibannya. Pekerjaan yang semakin sulit setiap harinya, membuatnya ingin bersantai di rumah. Tapi tinggal bersama mantan suaminya, di rumah pria itu, tidak memberinya kesempatan untuk bersantai.
Tidak ada ruang untuknya di rumah itu. Alice bisa bebas berkeliaran, duduk dan berbaring dimana saja, di rumah itu. Jiyong pun bisa melakukannya, karena itu rumahnya. Namun di sana tidak ada tempat untuk Lisa bisa beristirahat. Mungkin Jiyong tidak keberatan jika ia berbaring di sofa, tapi bagaimana ia bisa berbaring di sofa? Lisa terlalu canggung untuk berbaring di sofa. Bahkan sekarang, bangku taman justru terasa lebih nyaman baginya, dibanding sofa empuk dalam rumah yang hangat itu.
Dua jam Lisa mengeluh pada ibunya. Bicara pada ibunya, kemudian merasa terhibur karenanya. Namun setelah panggilan itu berakhir, dirinya kembali merasa tersesat. Merasa tidak punya tempat tujuan, tidak ada rumah untuk pulang. Keberadaannya terasa sangat canggung, di manapun.
"Harusnya aku tidak pindah ke sini," sesal Lisa, dengan helaan panjang setelahnya.
Baru di pukul sebelas tiga puluh, handphonenya berdering. Jiyong yang meneleponnya. Sembari menggaruk pergelangan kakinya yang gatal karena nyamuk, ia jawab panggilan itu. Butuh beberapa detik baginya, sebelum berani menjawab teleponnya.
"Hm?" gadis itu bergumam, menjawab teleponnya.
"Dimana kau sekarang?" tanya Jiyong, tanpa berbasa-basi.
"Ada apa? Alice rewel?"
"Tidak, dia sudah tidur," balas Jiyong. "Pulang lah sekarang," suruhnya kemudian.
"Kemana?" tanya gadis itu, membuat lawan bicaranya mengerutkan dahi. Tentu Jiyong tidak memahami ucapan gadis dalam teleponnya itu.
Waktu sudah lama berlalu sejak mereka tinggal bersama. Kini, Lisa terasa asing bagi Jiyong, begitu pun sebaliknya. Kalau dulu Jiyong bisa membaca suasana hanya dari suara helaan nafas gadis itu, kini kemampuannya jauh berkurang. Jiyong tidak lagi bisa menjelaskannya. Kecuali Lisa menjelaskan setiap detail perasaannya, Jiyong tidak akan menyadari apapun. Mereka memang pernah menikah, pernah saling mencintai dan tinggal bersama, namun itu sudah lama berlalu. Dunia berubah, begitu pun kemampuannya menyadari detail kecil lawan bicaranya.
"Aku lelah sekali hari ini," Lisa berkata, kali ini sembari menaikan kakinya ke bangku taman. Memeluk lututnya di sana. Sembari memegangi handphonenya, ia tumpukan dagunya ke ceruk lututnya. Beberapa kali ia menghela nafasnya, namun lawan bicaranya hanya diam. Jiyong hanya diam, menunggu Lisa melanjutkan ucapannya.
"Kenapa?" setelah hampir dua menit Lisa diam, akhirnya Jiyong bertanya lebih dulu. Mengulurkan perhatiannya lebih dulu.
"Semuanya membuatku lelah. Kau dan timmu terluka, orang yang aku pikir baik pelan-pelan terlihat mencurigakan, anggota timku hanya satu karena satunya payah sekali, kasus yang aku kerjakan sekarang tidak punya happy ending. Katakan kau benar, Kepala Lee Jungjae ternyata bekerja dengan Candyman, lalu bagaimana denganku? Aku akan jadi kaki tangannya. Aku melaporkan hasil penyelidikanmu padanya. Semuanya, termasuk Candyman dan Lee Yeri. Lalu, kalau kau salah, mau tidak mau aku harus mengakhiri karirmu. Bukan hanya merebut kasusmu, seperti yang dulu aku lakukan. Tidak akan selesai hanya dengan mengirimmu ke kota kecil, kau pasti dipecat," cerita Lisa, lewat teleponnya. Seolah jarak beberapa meter diantara mereka—Jiyong di rumah dan Lisa di taman—terlalu jauh bagi mereka untuk bisa bertemu.
"Pekerjaan sudah membuatku lelah, tapi di rumahmu, aku masih harus bertengkar dengan putriku. Alice terus membantah ucapanku, karena ada ayah yang selalu membelanya. Di kantor ataupun di rumahmu, kalian semua membuatku jadi penjahatnya," keluh Lisa kemudian. "Alice beruntung sekali. Saat pulang setelah lelah bermain, dia bisa tidur dan dipeluk ayahnya. Saat dimarahi, dia punya ayah yang membelanya. Padahal hidupnya hanya makan dan bermain, kenapa dia perlu banyak sekali dukungan?" katanya, membuat Jiyong berfikir kalau gadis itu sedang merasa luar biasa iri pada putrinya sendiri. Lisa cemburu pada putrinya sendiri.
"Aku mengerti kalau pekerjaanmu berat," Jiyong membuka mulutnya, lagi setelah Lisa berhenti bicara hampir dua menit lamanya. Setelah selama hampir dua menit, hanya helaan nafas gadis itu yang Jiyong dengar. "Tapi melampiaskan semuanya pada Alice-"
"Itu jahat? Apa aku memukulnya?" potong Lisa. "Dia tahu, aku sudah berkali-kali bilang padanya untuk tidak banyak makan nugget. Ini hanya soal nugget. Dia tidak akan mati kalau tidak makan nugget. Dia baik-baik saja meski tidak makan nugget. Apa susahnya berhenti makan nugget dan menggosok giginya sebelum tidur? Itu untuk kebaikannya sendiri, apa untungnya bagiku kalau dia menggosok gigi atau tidak? Apa ada yang memberiku uang kalau dia tidak makan nugget? Aku melarangnya makan nugget untuk dirinya sendiri, bukan untukku."
"Pulang saja dulu, kita bicara di rumah. Kembalilah," suruh Jiyong kemudian.
"Kalau kau merasa bisa jadi orangtua yang lebih baik dariku, urus saja Alice sendiri," balas Lisa, yang justru mengakhiri teleponnya secara sepihak. Lantas menenggelamkan wajahnya ke ceruk lututnya, mengeratkan pelukannya di lutut, menahan dingin dari angin tengah malam di taman itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...