32

320 64 3
                                    

***

Di panti werdha, wanita paruh baya itu mengerutkan dahinya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap heran pada pintu utama gedung panti werdhanya. Dari pintu kaca itu, ia bisa melihat putrinya. Lalisa—putrinya— keluar dari mobil. Melangkah ke kursi belakang lalu membuka pintunya untuk Alice.

Alice melompat turun, kemudian terkekeh karena ditegur. Lantas gadis kecil itu berlari, masuk ke dalam gedung, melompat di deretan anak tangga dan mendorong pintunya. "Nenek!" serunya, dengan senyum lebar dan sebuah pelukan kecil yang hangat.

Wanita paruh baya itu balas memeluknya, sebentar membungkuk untuk mengusap-usap rambutnya. Lantas ia gandeng cucu kecilnya itu, mengulas senyum sembari mengenalkan Alice pada beberapa penghuni baru panti jomponya. Ini bukan kali pertama Alice berkunjung, namun masih banyak penghuni yang belum mengenalinya.

Sembari mengenalkan cucunya itu kepada teman-teman serumahnya, sang nenek membawa Alice ke ruang santai. Ada banyak permainan di sana—papan catur, monopoli, ular tangga, kartu bahkan jenga dan permainan-permainan santai yang lain. "Nenek suka tinggal di sini?" tanya Alice, yang kini duduk di sofa biru, bersebelahan dengan neneknya. Gadis kecil itu sudah penasaran pada meja dengan benda pipih yang fungsinya seperti bola juga pemukulnya. Namun ia memilih duduk karena masih ada dua kakek yang bermain di meja itu. Alice tidak berani mendekat sebelum mendapat izin ibunya, karena itu yang ia janjikan dalam perjalanan tadi.

"Hm... Suka sekali, bagaimana denganmu? Kau suka tinggal di rumah ayahmu?"

"Hm! Suka sekali!" ulang Alice, dengan nada bicaranya yang lebih bersemangat. "Kemarin appa menginap di rumah sakit, harusnya aku tidak boleh ada di sana, tapi appa memohon pada dokternya jadi aku boleh menginap," cerita Alice, membuat sang nenek mengerutkan dahinya. Lisa tidak pernah bilang kalau mantan suaminya itu dirawat di rumah sakit.

"Kenapa kalian menginap di rumah sakit?"

"Appa tertabrak mobil," kata Alice. "Kaki dan tangannya disemen, keras seperti tembok... Apa ya namanya? Uhm... Appa memberitahuku namanya, tapi aku lupa," cerita Alice, yang kemudian melambai, tersenyum pada ibunya yang datang. "Eomma, diapakan tangan dan kaki appa? Batu putih yang keras itu," tanyanya kemudian.

"Digips," kata Lisa dan Alice mengulangnya, memberitahu neneknya kalau ayahnya baru saja patah tulang tangan dan kaki. "Tidak parah, sudah kembali bekerja hari ini," kata Lisa kemudian, menjelaskan pertanyaan yang ibunya gambarkan lewat wajahnya. "Tidak perlu meneleponnya, dia melarangku memberitahumu, tidak ingin membuatmu khawatir, eomma," susulnya lagi, membuat-buat alasan untuk menenangkan ibunya.

Lisa kemudian duduk di sofa lain, di sebelah ibunya. "Bermainlah kalau kau ingin bermain sayang," Lisa memberi putrinya izin untuk bermain di sana, namun tentu sebelum gadis itu melangkah pergi, ia peringakan putrinya untuk tidak mengganggu orang lain di sana.

"Iya!" kata gadis kecil itu, lantas bangkit dan berjalan ke arah meja dengan dua kakek tadi. "Kakek! Apa nama mainan ini? Bagaimana cara bermainnya?" tanyanya kemudian, setelah ia berdiri tepat di sebelah mejanya.

"Ya, sebenarnya mirip siapa anakmu itu? Kenapa dia tidak takut bertanya pada orang asing?" tanya sang nenek kemudian, heran melihat cucunya yang bisa dengan mudah bicara pada orang lain. "Kau tidak begitu dulu, kau menangis setiap kali bertemu orang asing," susulnya, masih tidak percaya kalau Alice adalah gadis kecil yang keluar dari rahim putrinya.

"Mungkin ayahnya," balas Lisa, lantas menghela nafasnya.

Lisa kemudian ditanya tentang alasannya datang. Padahal semalam gadis itu bilang kalau ia akan sangat sibuk hari ini. Ibunya pun bertanya, bagaimana dengan sekolah Alice, juga pengasuh yang Lisa bicarakan semalam. "Aku bertengkar dengan Jiyong oppa semalam. Tidak... Tadi pagi," kata Lisa kemudian.

Kini ia dudukan tubuhnya di sebelah ibunya, menggeser sang ibu agar menduduki tempat Alice tadi. Mendengar jawaban Lisa, atas semua pertanyaannya, sang ibu tentu menoleh. Bertanya apa alasan mereka bertengkar. "Kenapa kalian bertengkar? Karena nugget?" tanya sang ibu.

"Tentu saja karenaku," sembari menghela nafasnya, gadis itu mengeluhkan dirinya sendiri. "Eomma, ada apa denganku? Aku rasa aku orang baik. Tapi setiap kali berhadapannya, selalu aku yang jadi penjahatnya," tanyanya kemudian, lalu ia beritahu ibunya tentang apa yang semalam Jiyong katakan padanya.

"Apa yang kau katakan saat dia bilang begitu?"

"Tidak ada. Aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintunya. Tidak keluar lagi sampai dia pergi," geleng Lisa. "Aku bilang pada Alice kalau aku masih sangat mengantuk, dan menyuruhnya menyampaikan pesan. Agar Jiyong oppa pergi kerja duluan," susulnya.

"Kenapa kau melakukannya?"

"Tidak tahu. Aku tidak tahu harus bagaimana-"

"Apa aku tidak pernah mengajarimu caranya minta maaf?" potong sang ibu dan Lisa menoleh, menatap ibunya dengan wajah memelasnya. "Tidak pernah? Aku tidak pernah mengajarimu caranya minta maaf?" ulangnya, tidak percaya kalau ia tidak pernah mengajarkan kebiasaan yang satu itu.

"Eomma pikir ini sama dengan tidak sengaja menabraknya di lorong? Tidak semudah itu untuk minta maaf," protes Lisa. "Aku menceraikannya, aku merahasiakan kehamilanku darinya, aku membuatnya dipindahkan ke Allamanda, aku melarangnya bertemu dengan putrinya, aku mengambil semua gajinya, bahkan sekarang, aku datang ke sana untuk menyelidikinya. Bagaimana bisa aku minta maaf dengan semua dosa itu? Aku akan kelihatan tidak tahu malu kalau tiba-tiba minta maaf setelah bertahun-tahun menjahatinya," susulnya.

Ibunya masih keheranan, namun kali ini ia bertanya, "kenapa kau melakukan semua itu padanya? Jahat sekali," katanya penasaran. Sayang, yang ditanya pun tidak punya jawaban atas semua pertanyaan itu.

"Eomma bilang kalau aku dipukul, aku harus membalas lebih keras," pelan Lisa, disusul helaan nafas yang sudah kesekian kalinya. "Aku bahkan malu untuk menangis sekarang. Dia membenciku dan aku tidak punya hak untuk menangisinya. Beberapa hari yang lalu dia menciumku, tapi bukan ciuman yang seperti itu," ceritanya kemudian, memberitahu ibunya apa-apa saja yang terjadi padanya selama beberapa waktu terakhir. Karena kisah rumah tangganya yang ia anggap terlalu memalukan, Lisa tidak pernah menceritakan kisah itu pada orang lain, pada teman-temannya apalagi rekan kerjanya. Hanya ibunya lah, satu-satunya orang yang bisa ia ajak bicara sekarang.

"Ciuman seperti apa?"

"Dia hanya ingin mengecek perasaannya sendiri. Apa aku masih menyukainya? dia menciumku lalu rasanya biasa saja, ahh aku tidak menyukainya lagi... dan selesai. Kami tidak pernah membahasnya lagi."

"Dia bilang begitu?"

"Tidak. Aku merasa dia merasa begitu?" cerita Lisa, membuat lawan bicaranya berdecak, kemudian mengatai putrinya sendiri.

"Bodoh, kau harusnya bertanya padanya. Bagaimana ciuman kalian," kata sang ibu. "Lalu bagaimana perasaanmu tentang ciuman itu? Kau merasa biasa saja? Tidak menyukainya?" susulnya penasaran. Namun yang ia tanya hanya terdiam. Menutup rapat-rapat bibirnya. "Kau menyukainya, iya kan? Kau tidak bisa tidur selama beberapa hari karenanya. Karena itu kau kelelahan. Lalu karena dia tidak pernah membahasnya, kau jadi kesal padanya, dan kemarin kau melampiaskan semuanya. Kenapa kau menciumku tapi tidak memintaku kembali padamu?!—kau harusnya bilang begitu, daripada merajuk hanya karena nugget."

"Aku sudah menciummu, kenapa kau masih tidak mengerti?!" keluh Lisa, meralat saran dari ibunya.

Sang ibu menggelengkan kepalanya. Sudah menyerah untuk memberi putrinya saran. Saat masih remaja dulu, Lisa tidak pernah mendengarkan saran ibunya, terlebih soal cinta. Tapi setelah semakin dewasa, gadis itu justru menanyakan banyak hal. Lisa justru menceritakan banyak hal yang sebenarnya tidak ingin ibunya ketahui.

"Kau ingat kekasihmu saat masih sekolah menengah dulu? Adik tingkatmu yang sering bolos sekolah itu?" tanya sang ibu. "Pria yang mengkhianatimu itu. Saat aku beritahu kalau dia bukan pria baik, kau kesal dan bersikeras akan merubahnya. Kau percaya kalau kau bisa merubah anak nakal jadi malaikat—kemana perginya rasa percaya dirimu itu? Bilang saja pada Jiyong kalau kau menyukainya, kau menyesali semuanya dan ingin kembali padanya," suruhnya kemudian.

"Bagaimana kalau dia menolak?"

"Bagaimana dia bisa menolak? Ada Alice yang harus kalian urus. Ancam saja kalau dia menolak," santai sang ibu. Sekarang Lisa tahu, darimana ia mendapatkan semua keegoisan itu. Ia benar-benar putri ibunya, ia tidak pernah tertukar di rumah sakit.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang