22

280 57 3
                                    

***

"Akan aku jual sepedanya, kalau oppa membelikannya skuter," Jiyong membaca pesan yang masuk ke handphonenya. Membaca itu dengan keras, agar Alice bisa mendengarnya.

Mendengar itu, bahu Alice melorot, punggungnya di tekuk dan ia berjalan lesu keluar dari toko. Jiyong mengekor di belakangnya, bak tengah mengikuti kekasihnya yang kesal.

"Bagaimana dengan tendanya?" tanya Jiyong dan Alice hanya mengangguk, entah apa maksudnya. Gadis kecil itu menghela nafasnya, membiarkan ayahnya menggandeng tangannya, mengajaknya untuk pergi ke toko peralatan berkemah.

Berkali-kali Jiyong dengar Alice menghela nafasnya. Bertingkah seolah dunianya baru saja hancur karena Lisa tidak memberinya izin membeli skuter. Bahkan saat melihat-lihat tenda sekalipun, Alice tidak bersemangat. Jiyong ingin membelikannya es krim, namun gadis itu menolak. Jiyong ingin membelikannya permen kapas, dan gadis itu pun menolak. Ia hanya ingin skuter sekarang.

"Baiklah... Baiklah," kata Jiyong kemudian, tiba-tiba berhenti melangkah. Ia gendong putrinya, kemudian menatap wajahnya yang memelas itu. "Kita beli skuternya," kata Jiyong namun raut senang yang ia harapkan tidak langsung muncul di wajah putrinya.

"Nanti sepedaku dijual?"

"Kita sembunyikan skuternya di mobil, dipakai kalau eomma sedang bekerja, bagaimana?" tawar Jiyong dan baru lah senyum itu muncul.

Putrinya tersenyum sekarang, ia anggukan kepala kecilnya, lantas memeluk ayahnya. Jiyong berhasil mengembalikan keceriaan itu, meski setelahnya ia tidak punya rencana untuk menghadapi mantan istrinya. Di toko, Alice turun dari gendongan ayahnya, lantas menggandeng tangan pria itu untuk menunjukan skuter yang ia inginkan.

"Kau lebih ingin membeli skuter ini kan? Membeli tendanya, bulan depan, okay?" kata Jiyong, setelah Lisa menunjukan skuter yang ia punya.

"Kenapa?" tanya Alice dan Jiyong meraih handphonenya, menunjukan berapa uang di rekeningnya sekarang. "Appa tidak punya uang?" tanya Alice dan Jiyong menganggukan kepalanya. "Kalau uang di sini habis, lalu bagaimana appa bisa makan?" sekali lagi gadis itu bertanya.

"Masih cukup untuk makan dan membeli skuter. Tapi kalau kau ingin mainan baru lagi, kau harus menunggu bulan depan, kau bisa melakukannya?" Jiyong balas bertanya dan ia kerucutkan bibirnya, dengan dahi yang juga berkerut seperti seorang yang sedang berpikir keras.

"Kapan appa gajian?"

"Sepuluh hari lagi."

"Baiklah, aku bisa menunggu sepuluh hari untuk tendanya," angguk senang gadis kecil itu.

Jiyong membelikan putrinya itu skuter, namun Alice tentu tidak boleh berkeliaran di pusat perbelanjaan dengan skuternya. Maka, kembali lah mereka ke rumah. Alih-alih masuk ke apartemen, Jiyong mengajak putrinya untuk bermain di taman dekat sana. Mencoba skuter barunya dan bersenang-senang.

Hampir dua jam mereka bermain di taman, lalu Jiyong bawa putrinya ke minimarket. Ia sudah lelah mengejar gadis kecil dengan skuter barunya itu. Kini di minimarket, mereka duduk bersebelahan, dengan skuter yang diparkir di sebelah Alice. "Belikan appa es krim, cokelat," suruh Jiyong dan Alice bergerak pergi, membeli es krim dengan sisa uang sakunya sendiri. Uang yang hanya Lisa beri saat gadis kecil itu pergi ke sekolah.

Lantas alice keluar dengan sebuah es krim dan sebotol air mineral. "Uang jajanku minggu ini sudah habis," katanya, memberikan dua koin pada ayahnya. Uangnya tidak cukup untuk membeli dua es krim, jadi hanya ia beli satu, untuk ayahnya.

"Kasihan," ucap Jiyong, setelah ia menerima es krim dari putrinya.

"Appa juga tidak punya uang," balas Alice, setelah ia tenggak air mineralnya. Menghilangkan hausnya. "Minta," susulnya, ia dekatkan tubuhnya pada sang ayah, ingin mengigit es krim ayahnya.

Tentu Jiyong membiarkannya mengigit es krim itu. Tidak ada alasan baginya untuk melarang Alice menjilat es krimnya. Ia sudah terlalu tua untuk bertengkar dengan gadis kecil itu, hanya perkara es krim.

"Tapi appa gajian sepuluh hari lagi," kata Jiyong, sementara putrinya menjilati es krimnya. "Kapan gajianmu?" susulnya, membuat Alice mengerutkan dahinya.

"Saat sekolah- oh! Sekarang sekolah libur! Ahh... Aku miskin..." katanya, sembari meletakan kepalanya ke atas meja, selesai mencicipi es krim ayahnya. "Kapan aku pindah sekolah, appa? Aku tidak suka libur," katanya kemudian, mengeluh namun justru membuat lawan bicaranya terkekeh.

Jiyong merogoh sakunya, menemukan selembar uang di sana. Sisa kembalian saat ia membeli rokok tadi pagi. Jumlahnya tidak seberapa, hanya beberapa ribu yang cuma cukup untuk membeli roti. Ia berikan uang itu pada Alice, namun putrinya itu justru mendelik, menatap curiga pada Jiyong.

"Appa memberikannya padaku, atau meminjamiku uang?" tanyanya, belum menerima lembaran uang itu. "Paman Seunghyun pernah memberiku uang, aku kira dia memberiku uang, tapi ternyata hanya meminjamkannya. Dia bahkan minta aku membayar bunganya, padahal aku belum tahu apa itu bunga," ceritanya, lagi-lagi Jiyong terkekeh. Alice sudah pernah menceritakan pengalamannya itu, ketika Seunghyun meminta bunga darinya dan Alice benar-benar memberinya setangkai bunga dari tanaman di taman.

"Appa memberikannya padamu," tenang Jiyong, baru setelahnya Alice menerima uang itu, memasukannya ke dalam tas kecilnya, bersama dengan handphonenya.

Tas kecil itu berwarna merah muda, berbentuk boneka kelinci dan Lisa yang membelikannya. Tas kecil yang tidak pernah Alice tinggalkan sembarangan, karena ia menyukai kelincinya. Juga karena Lisa melarangnya memelihara kelinci sungguhan.

Di tengah-tengah obrolan dengan es krim dan air mineral itu, Jiyong lalu bertanya. Ia pangku putrinya, mengusap-usap kakinya yang lelah karena bermain skuter sembari mendengarkan ocehannya yang tidak juga berhenti. "Sayang, apa eomma pernah memukulmu?" tanya Jiyong, menyela cerita Alice tentang lukisan kumbang beberapa hari lalu.

"Memukul?" ulang Alice, sembari mengingat-ingat. "Sepertinya tidak pernah," geleng gadis kecil itu, lalu bertanya kenapa ayahnya menanyakan itu.

"Hanya penasaran, bagaimana ibumu kalau marah," balas Jiyong, berlaga tidak terlalu peduli. "Bagaimana ibumu kalau sedang marah? Seperti tadi?" tanyanya dan Alice mengangguk.

"Eomma duduk di depanku, melihatku, memarahiku sampai aku menangis, jahat sekali," cerita Alice.

Jiyong menganggukan kepalanya. Lantas ia katakan, kalau malam ini mereka berdua akan dimarahi, karena skuter. Alice kemudian menatap ayahnya, bertanya apa boleh mereka menginap di tempat lain saja? Jadi mereka tidak perlu pulang dan dimarahi.

"Minta maaf saja," kata Jiyong, menolak ide putrinya. "Kalau kita kabur, ibumu justru akan semakin marah. Nanti, begitu sampai di rumah, langsung peluk ibumu lalu minta maaf," ujarnya, mengajari Alice bagaimana caranya dulu menaklukkan mantan istrinya itu. "Eomma... Aku minta maaf karena nakal, aku janji tidak akan nakal lagi," susulnya memberi contoh. "Katakan itu sambil memeluknya, lalu tunjukan wajah sedihmu," suruh Jiyong dan Alice mencobanya.

Ia tunjukan wajah sedihnya di depan sang ayah, menunggu pria itu mengomentari ekspresinya. "Lebih sedih lagi, seperti akan menangis," suruh Jiyong dan Alice menurutinya. Mereka berlatih, sebelum akhirnya Jiyong mengajaknya untuk pulang ke rumah. Mengajak Alice untuk menyelesaikan masalahnya dengan Lisa, mendamaikan kedua wanita itu agar ia bisa lebih leluasa mengurus urusannya sendiri.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang