5

380 63 0
                                    

***

Lisa baru saja menyuruh Bobby untuk mengecek ulang semua laporan yang sebelumnya Jennie susun. Mereka tidak boleh mempermalukan diri sendiri lagi, seperti kemarin, hanya karena Jennie tidak menulis laporannya secara rinci. Belum sempat Bobby mengiyakannya, belum sempat juga Jennie memprotes karena Lisa terlihat tidak mempercayainya, handphone gadis itu sudah lebih dulu berdering.

Sebuah panggilan masuk ke handphone Lisa dan melihat nama putrinya di sana, Lisa bergegas mengangkat panggilannya. "Halo, ada apa sayang?" tanya Lisa, begitu ia menjawab telepon putrinya.

"Eomma, minggu depan appa mengajak kita pergi kemah," ucap Alice, lewat telepon itu.

Sebentar Lisa mengecek pergelangan tangannya, melihat sudah jam berapa saat itu, jam sembilan. "Sayang, bukankah kau harusnya ada di kelas sekarang? Kenapa masih- kau belum sampai sekolah?"

"Uhm... Aku sudah hampir sampai," kata Alice, sedikit terbata, mengikuti petunjuk ayahnya.

"Berikan teleponnya pada ayahmu, sayang," suruh Lisa, yang sekarang melangkah meninggalkan kursinya. Ia tinggalkan juga ruang kerja itu, memilih untuk menelepon di lorong, agar suasana dalam ruang kerjanya tidak jadi canggung. "Ya! Sudah aku bilang dia tidak boleh terlambat!" kesal Lisa, begitu ia dengar mantan suaminya bergumam, menerima teleponnya.

"Apa salahnya terlambat sesekali," santai Jiyong. Yang tentu tidak bisa berteriak di depan putrinya.

"Minggu lalu dia sudah terlambat karenamu! Sekarang sudah jam sembilan! Dia sudah terlambat satu jam!" omel Lisa, pada mantan suaminya yang terdengar santai.

Gadis itu lalu jadi semakin kesal, karena Jiyong hanya menggumam untuk menanggapinya. Jika Alice tidak ada di sebelahnya, tentu pria itu sudah berteriak sekarang. Balas mengomeli mantan istrinya yang bersikap terlalu keras pada putrinya—menurutnya.

"Kalau kau terus begitu, aku tidak akan membiarkanmu menemuinya lagi!" Lisa masih kesal, meski bukan pertama kali ia bicara begitu pada mantan suaminya.

"Jangan memancingku, ada putriku di sini," balas Jiyong, tetap berusaha untuk terdengar tenang. "Pikirkan saja soal kemahnya. Aku sudah sampai di sekolah Alice," susulnya, lantas mengakhiri panggilan itu dan mengembalikan handphone putrinya. "Eomma sepertinya sibuk, kita bicarakan lagi soal kemahnya nanti... Sekarang ayo temui gurumu dan minta maaf karena terlambat," ajak Jiyong kemudian, mengajak Alice untuk turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam gedung sekolahnya.

Tiba di tempat kerjanya, Jiyong lantas bergegas ke mejanya. Ia lihat beberapa berkas yang anggotanya tinggalkan di atas meja, lantas menelepon Soohyuk untuk bertanya dimana ia sekarang. Mereka tengah mengerjakan kasus pengedaran narkoba sekarang. Beberapa orang ditemukan tewas karena pengedaran narkoba itu. Jumat lalu, seorang wanita ditemukan jatuh dari lantai sembilan, dengan luka jerat di lehernya.

Tubuh wanita itu masih diautopsi sekarang, Soohyuk dan Toil pergi untuk melihat autopsinya sedang Mino dan Yoon masih berkeliaran mencari rekaman cctv di dekat lokasi kejadian. Sembari menelepon, pria itu berjalan keluar kantor polisi. Tempat tujuannya adalah mesin kopi di sebelah gedung, di tempat para detektif biasanya merokok.

"Penyebab kematiannya pembunuhan, iya kan?" tanya Jiyong, sementara Soohyuk memberitahunya beberapa detail autopsi yang belum selesai.

"Sepertinya begitu, dicekik lalu dilempar ke bawah, agar terlihat seperti bunuh diri," jawab Soohyuk setelah beberapa menit mereka bicara di telepon.

Jiyong masih bicara di telepon, memunggungi mesin kopi yang sedang menuang kopi untuknya. Lalu secara tiba-tiba sebuah tangan mengulurkan kopi padanya. Tentu Jiyong mengenal tangan itu, tangan yang dulunya memakai cincin kawin darinya.

"Kita bicara lagi nanti," ucap pria itu, mengakhiri teleponnya, lantas menoleh ke arah si pemilik tangan. Jiyong terima kopi itu, tanpa merasa perlu berterima kasih.

Pria itu mengambil duduk di bangku panjang, di sebelah mesin kopi. Sedang mantan istrinya masih mengambil kopinya sendiri. Sembari meraih kopinya, gadis itu berucap, "datang terlambat sampai memakai mobil dinas untuk urusan pribadi, kau tahu kalau itu menyalahi aturan, kan?" katanya, tetap berdiri di dekat mesin kopi, menatap pria yang sedang pelan-pelan menyesap kopi panasnya.

"Ah... Begitu? Lalu? Kau akan melaporkanku? Lakukan saja," balas Jiyong, sama sekali tidak khawatir.

"Kau tahu kalau putrimu itu nakal kan? Dia hampir tidak pernah menyelesaikan tugas sekolahnya, memukul temannya dan sekarang terlambat juga? Kau mau membuatnya tinggal kelas?" rasa kesal masih tergambar dalam suaranya, ketus dan sinis seperti biasanya. Pada titik ini, Jiyong sudah lupa, kapan terakhir kali Lisa bicara dengan lembut padanya. Begitupun sebaliknya.

"Bagaimana dia bisa menyelesaikan tugasnya? Kau mengirimnya bimbel sepulang sekolah, kursus menggambar, sampai kursus bela diri dan menari, jam sembilan malam dia baru sampai di rumah. Dia hanya anak sekolah dasar, kapan dia bisa mengerjakan tugas sekolahnya?" balas Jiyong, sama kesalnya. Seakan mereka tidak bisa bicara jika tidak sedang merasa kesal.

"Lalu bagaimana? Dengan siapa dia akan tinggal di rumah? Kau berharap anak sekolah dasarmu itu bisa tinggal sendirian di rumah sampai aku pulang kerja? Ibuku sudah terlalu tua untuk mengurusnya setiap hari," Lisa yang enggan disalahkan, terus menjawab ucapan mantan suaminya.

"Kalau begitu biarkan dia tinggal bersamaku."

"Akan jadi apa dia kalau tinggal bersamamu? Kau akan berhenti bekerja? Kau akan membawanya ke sini? Kau masih waras?" heran Lisa kemudian. Pertengkaran mereka tidak akan ada habisnya sekarang. "Hentikan," perintah Lisa, sebelum mantan suaminya itu kembali membuka mulutnya. Ia tidak datang dan mengulurkan kopi pada Jiyong untuk membicarakan putri mereka. "Dimana lima puluh juta itu sekarang?" tanya Lisa kemudian, sebab sepanjang hari ini Bobby belum menemukan apapun—selain beberapa detail yang Jennie hilangkan karena dianggap sepele olehnya.

"Entahlah," balas Jiyong, sengaja mendongak untuk menatap lawan bicaranya. "Bukankah kau yang harusnya tahu? Kau punya banyak bukti kami menggelapkan uangnya," susulnya, mengejek Lisa.

"Jangan membicarakan bukti padaku," ketus Lisa, yang sekarang menoleh ke sekeliling lalu duduk di sebelah Jiyong. Gadis itu memberi jarak sekitar satu bokong diantara mereka, memastikan mereka tidak duduk terlalu dekat. "Gadis yang kau kencani, dia mengacaukan berkas kasusnya."

"Siapa? Hani noona?"

"Kau mengencani Ketua Tim Lee Hani?! Dia sudah menikah!" Lisa menoleh, menatap mantan suaminya dengan mata bulatnya. Terkejut namun tetap menurunkan nada bicaranya, hampir berbisik karena khawatir rumor tentang mereka akan jadi semakin liar.

"Untuk apa aku membicarakan urusanku padamu?" balas Jiyong, enggan menjelaskan apapun.

"Augh! Untuk apa juga aku peduli dengan teman kencanmu?" gerutu Lisa kemudian. "Apapun itu, bekerja samalah denganku. Kasus yang sedang kau kerjakan sekarang, berhubungan dengan kematian Ketua Tim Jang Joon, iya kan? Bekerja lah denganku," katanya setelah itu. Alih-alih mengajak bekerja sama, di telinga Jiyong, ucapan Lisa justru terdengar seperti sebuah perintah.

Karenanya, pria itu menolak. "Tidak mau," santainya. "Untuk apa aku bekerja denganmu? Agar kau bisa mengambil poinku lagi? Tsk... Yang benar saja, aku tidak akan tertipu lagi olehmu," susulnya sembari berdecak.

"Kau tidak ingin membersihkan nama partnermu?" kata Lisa, masih mencoba untuk mengajak Jiyong bekerja dengannya.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang