13

265 56 0
                                    

***

2708, Lisa mencoba membuka kunci ruang kerja Jiyong dengan kode yang tadi dilihatnya. Sayang, ia gagal. Sekarang ia duduk di sofa, menebak-nebak apa kode pintunya. Kalau bukan tanggal pernikahan dan kode pertama mereka, lalu apa kodenya?

Baru beberapa detik gadis itu duduk, dan langsung teringat sebuah tanggal di kepalanya—tanggal lahir Alice. Buru-buru, gadis itu kembali berdiri. Ia coba untuk membuka pintunya sekali lagi dan kali ini tebakannya benar. Kwon Jiyong terlalu sederhana—begitu penilaiannya sekarang.

Berhasil membuka pintu itu, maka masuk lah ia ke dalam sana. Ruangannya sebesar kamar Alice, dengan rak kayu di tiga sisi dindingnya dan sebuah meja di sisi lain yang berjendela. Jendela itu mengarah ke bagian belakang apartemen, dengan sebuah balkon kecil yang penuh dengan botol-botol alkohol. Entah sudah sejak kapan Jiyong menimbun botol-botol kosong itu di sana. Mungkin ia sengaja merokok dan minum di sana, agar rumahnya bebas dari asap dan bau alkohol, saat putrinya datang.

Di meja kerja, ada sebuah laptop. Laptop itu berwarna hitam dan tertutup. Namun Lisa tidak segera membukanya. Justru dinding kaca, pembatas antara ruangan dan balkon lah yang menarik perhatiannya. Dinding itu tertutup tirai sebelumnya, dan saat Lisa menyingkap tirainya, dilihatnya ada banyak foto di sana. Lisa mengenal beberapa foto di sana, dan ia memilih untuk menarik kursi, duduk di depan kaca itu sembari pelan-pelan memahami berkasnya.

Handphonenya berdering. Sebuah panggilan baru saja masuk ke handphonenya. Panggilan itu datang dari nomor yang tidak ia kenal. Sebentar gadis itu ragu, namun tetap menjawab panggilannya. "Ya! Kau keluar dari sana!" suara Jiyong mengudara, tidak lama setelah Lisa menjawab teleponnya.

"Huh? Bukankah aku sudah memblokir nomor teleponnya?" gumam Lisa, melihat lagi layar handphonenya, dan melihat nomor telepon yang tertera di sana. Itu bukan nomor telepon Jiyong yang ia blokir.

"Apa kau tuli?! Aku bilang keluar dari sana! Augh! Cepat keluar dari sana!" bentak Jiyong, namun karena pria itu tidak ada di sana, Lisa mengacuhkannya. Biar saja Jiyong berteriak sampai lelah, ia tidak akan keluar kecuali diseret pergi.

Lisa menoleh ke sekeliling ruangan, dan baru ia sadari, di salah salah satu buku dalam ruangan itu. Tepatnya di sudut ruangan, ada sebuah kamera. Ia mendekat pada kamera itu, tahu kalau Jiyong bisa melihat wajahnya sekarang. Lantas ia acungkan jari tengahnya ke kamera itu, "aku tidak akan keluar, orang bodoh. Kode pintumu mudah sekali di tebak," kata Lisa pada kameranya.

"Augh! Berengsek!" maki Jiyong, yang suaranya masih terdengar dari handphone dalam genggaman Lisa. Dan telepon itu pun mati.

Merasa kalau Jiyong akan buru-buru datang ke sana untuk mengusirnya, Lisa kembali ke depan kaca. Kembali membaca semua tulisan yang ada di sana. Sesekali ia menggerutu karena jeleknya tulisan tangan Jiyong, namun tetap ia pelajari semua bukti yang sudah Jiyong kumpulkan di sana.

Kasus peredaran narkoba yang tengah Jiyong selidiki, melibatkan banyak orang. Bukan hanya para pengedar yang sudah jadi buronan. Atau penjahat-penjahat kambuhan yang pernah di penjara. Kasusnya jauh lebih besar dari itu, sebab sebagian konglomerat bahkan politikus terlibat di dalamnya. Setidaknya, Jiyong tahu kalau ada lima belas anak konglomerat yang jadi pelanggan tetap para pengedar itu.

"Kepala Lee punya anak?" dahi Lisa berkerut, setelah ia lihat sebuah foto yang amat mengganggunya.

Itu foto Lee Jungjae, Kepala Kepolisian Metro yang sebelumnya adalah atasannya. Lee Jungjae, si Ketua Tim Penyidik Internal yang naik jabatan jadi Kepala Kepolisian Metro karena memenjarakan atasannya sendiri. Dalam bukti yang Jiyong kumpulkan, Lisa tahu kalau Lee Jungjae punya seorang anak diluar nikah, nama anak itu Lee Yeji dan ia membeli banyak narkoba dari Mexico.

Pemasok dari Mexico, mengirim narkoba mereka ke sana. Pengirimannya dilakukan lewat pelabuhan, dimasukan dalam perut ikan-ikan yang dikirim ke sana. Jiyong masih mencari siapa yang membeli kokain itu dari Mexico, namun lima belas nama konglomerat yang Jiyong tulis di sana, membeli kokain dalam jumlah besar. Seolah lima belas orang itu juga menjadi broker untuk kokain-kokainnya.

"Orang dari Mexico mengirim kokain ke sini," gumam Lisa, meraih selembar kertas di atas printer, mencatat apa yang ada di sana. "A menerima kokainnya di pelabuhan, lalu mengirimnya pada Candyman. Siapa Candyman, si bodoh itu juga belum tahu. Ketua Jang sedang mencarinya, namun meninggal dalam misi. Atau ia sudah menerima uang dari Candyman itu. Setelah itu, Candyman menjual kokainnya pada semua konglomerat ini..." catatnya, mencuri hasil penyelidikan yang sudah lama Jiyong kerjakan. Ia catat semua nama konglomerat yang terlibat, lantas membuat beberapa keterangan baru dalam catatannya.

"Bisa juga, Ketua Jang menerima uang dari salah satu konglomerat ini, karena dia tahu mereka terlibat," tulisnya dalam catatan itu. "Tapi... Kenapa kokain yang dibeli orang-orang ini banyak sekali? Mereka memakai semuanya sendiri atau menjualnya? Aku harus menanyakan itu pada si bodoh," katanya, selepas ia selesai mencatat.

Lisa menyimpan catatannya, namun tidak ia langkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Sampai kantuk menyerang, ia tetap berada di sana. Membaca beberapa berkas yang sudah Jiyong kumpulkan. Berharap, berkas-berkas itu bisa membawanya pada semua bukti yang sudah Jiyong kumpulkan. Di salah satu kotak dalam rak buku itu ada brangkas besi, Lisa yakin beberapa buktinya Jiyong kumpulkan di sana.

Sayangnya, kali ini Lisa tidak bisa membuka brangkas itu. Mungkin ia bisa menebak kodenya, jika kunci brangkasnya adalah passcode. Tapi kunci yang dipakai untuk melindungi isi brangkas itu justru sidik jari yang tidak bisa Lisa dapatkan begitu saja. Meski ia bisa mengambil sidik jari Jiyong dari barang-barang di rumah itu, namun ia tetap perlu alat untuk melakukannya. Dan tidak ia miliki alat-alat itu sekarang.

Sembari membaca berkas tentang kokain yang diperjual belikan, seolah ia tengah kembali ke kelas kimia di sekolahnya dulu, Lisa tidak sengaja memejamkan matanya. Gadis itu terlelap di meja Jiyong, sampai matahari pagi mengusiknya lewat kaca yang tidak ia tutup lagi tirainya. Pagi datang dan Lisa masih berada di dalam ruang kerja mantan suaminya. Jiyong tidak kembali malam itu. Meski sudah mengusir Lisa lewat telepon dan beberapa pesan, pria itu tidak pulang untuk menyeretnya keluar.

Merasa pinggangnya pegal karena tertidur dalam posisi duduk, Lisa lantas meregangkan tubuhnya. Gadis itu mengerang saat meluruskan pinggangnya, dan dari luar ia dengar sebuah pintu terbuka.

"Eomma? Appa?" suara Alice terdengar dari ruang tengah.

"Ya, sayang!" balas Lisa, bergegas merapikan lagi semua berkas yang ia baca semalam. Akan ia kembalikan berkas-berkas itu ke dalam laci meja Jiyong. Merapikan lagi ruang kerja mantan suaminya seperti semula. "Tunggu sebentar!" serunya, sekali lagi, agar putrinya tidak menerobos masuk atau menggedor-gedor pintunya.

Kertas-kertas yang ia masukan ke dalam laci tidak bisa rapi seperti sebelumnya. Seolah ada sesuatu yang mengganjal di bagian belakangnya. Maka, ia ulurkan tangannya untuk mencari benda mengganjal itu. Saat berhasil ia temukan benda itu, darah dalam tubuhnya berhenti mengalir. Lisa membeku. Benda mengganjal itu kotak bludru, berwarna hitam dengan dua cincin di dalamnya. Salah satu cincinnya, adalah cincin kawin yang Lisa buang beberapa saat sebelum perceraian mereka. Lisa membuang cincin itu keluar jendela apartemen mereka, karena marah. Setelahnya Jiyong pergi dari rumah dan tidak lagi datang sampai mereka resmi bercerai. Ia pernah mencari cincin itu, tiga hari setelah ia membuangnya. Ia cari cincin itu selama dua hari penuh, namun tidak pernah menemukannya.

"Dia hanya membeli sesuatu yang sama. Tidak mungkin dia menemukannya," pelan Lisa, meyakinkan dirinya sendiri sebelum ia simpan kembali kotak bludru itu. Sebelum ia masukan lagi kertas-kertas yang Jiyong simpan di lacinya.

"Appa!" dari luar, sekali lagi Lisa dengar suara putrinya. Kali ini hatinya benar-benar terasa nyeri, terasa sesak hingga tidak bisa ia gerakan lagi kakinya. Tidak bisa ia gerakan tubuhnya, bahkan rasanya sulit sekali untuk berdiri. Seluruh tubuhnya bereaksi, menolak untuk mengikuti keinginannya. Menolak untuk tetap berdiri tegak dan melangkah keluar dengan penuh percaya diri seperti sebelumnya. Rasa bersalah jelas menggerogotinya dari dalam, Lisa tahu itu namun tetap ia tutupi segalanya. Jiyong tidak boleh tahu, kalau dirinya sudah lama menyesali keputusannya.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang