8

273 55 0
                                    

***

Keduanya tiba di tempat parkir tidak lama setelah panggilan tadi berakhir. Jiyong ke tempat parkir setelah membasuh wajahnya, sedang Lisa datang selepas mengambil handphone serta kunci mobilnya. Jiyong akan pergi dengan mobilnya sendiri, namun suara Lisa sudah lebih dulu menahannya. Lisa menyuruh Jiyong untuk masuk ke mobilnya.

"Biar aku saja yang menyetir, kau terluka," kata Lisa, memberi tanda agar Jiyong cepat masuk ke dalam mobilnya.

Di dalam mobil, Lisa baru menyadari kalau Alice sudah dua kali meneleponnya, begitu pun dengan wali kelas putrinya itu. Panggilan-panggilan itu tidak terjawab karena Lisa tidak sengaja meninggalkan handphonenya di meja kerjanya tadi, sebelum memutuskan untuk berkeliling.

Perjalanan dari Allamanda ke Bellis yang biasanya perlu waktu setidaknya satu jam, berkat kerja sama mereka siang ini, keduanya tiba hanya dalam empat puluh lima menit. Lisa yang mengemudi, sedang Jiyong menunjukan jalannya. Jalan-jalan alternatif yang bisa mereka lalui untuk menghindari macet.

"Kau tahu jalan pintasnya tapi tetap membiarkan putrimu terlambat ke sekolah? Luar biasa," cibir Lisa, setelah ia menyadari kalau mereka hanya perlu empat puluh lima menit untuk sampai ke sekolah.

Jiyong yang pertama turun, sementara Lisa perlu mengambil tas jinjingnya sebelum mengekor pada mantan suaminya itu. Pria itu terlihat kesal sekarang, seolah ingin memukul siapapun yang membuat putrinya menangis. Tentu Lisa tidak pernah melihat kejadian seperti ini sebelumnya, sebab Jiyong hampir tidak pernah terlibat dalam urusan sekolah putri mereka. Pria itu terlalu sibuk menjadi sosok ayah baik hati, yang menuruti semua keinginan Alice dan menyisakan tugas-tugas berat pada mantan istrinya.

Pria itu langsung menuju ke ruang kelas putrinya, di lantai dua. Lisa mengekor di belakangnya, sembari melihat-lihat sekeliling, mencoba mencari wali kelas putrinya atau ibu dari teman sekelas putrinya. Sayang ia tidak melihat siapa pun di sana. Begitu bertemu, di ruang kelas Alice, gadis kecil itu langsung berlari menghampiri ayahnya, memeluk ayahnya.

"Ya! Ya! Alice jangan," seru Lisa, menahan putrinya agar tidak naik ke gendongan ayahnya. "Appa baru saja terluka, di perut, jangan sekarang," tahan Lisa, padahal mantan suaminya itu terlihat baik-baik saja saat membungkuk, akan mengangkat putrinya.

"Appa terluka?" tanya Alice, menatap curiga pada ayah juga ibunya. Sebentar Jiyong mengangguk, namun obrolan mereka harus dijeda sebab wali kelas Alice menyusul keluar dari kelas. Orang yang Lisa cari ternyata ada di kelas, menemani putrinya yang katanya dihukum karena memukul temannya.

Wali kelas Alice seorang ibu paruh baya. Usianya sekitar lima puluh, dengan badan yang gempal dan kaki-kaki pendek. Tingginya hanya sebahu Lisa, dan dengan nada bicaranya yang teramat lembut, ia ajak orangtua Alice itu ke ruangan lain. Mengajak Lisa juga Jiyong untuk membicarakan Alice di ruang yang lebih tertutup.

Alice diajak dalam pertemuan itu, diminta untuk duduk diantara kedua orangtuanya. "Ini kali pertama ayah dan ibunya Alice datang bersamaan ke sekolah," kata sang wali kelas, jelas membuat Lisa sedikit canggung karenanya. Tidak pernah ia katakan kalau dirinya sudah bercerai di sana. Tidak juga ia tutupi keberadaan Jiyong, namun kini gadis itu tidak tahu bagaimana ia bisa menanggapi komentar itu.

"Ya," Jiyong sudah lebih dulu bicara. "Aku bekerja di luar kota, jadi sulit untuk selalu datang ke sini," katanya menanggapi pertanyaan itu.

"Ah... Mungkin di sana masalahnya," susul sang guru, masih dengan nada lembutnya. Lisa tetap diam, namun Jiyong mengerutkan dahinya—wanita ini seolah sedang mencibir dengan cara bicaranya halus—nilai Jiyong, hanya dalam hatinya.

Di dalam ruang konseling keluarga itu dipersilahkan untuk duduk. Sang guru duduk di sisi kanan meja, sedang Jiyong, mantan istrinya bahkan Alice duduk seberangnya. Alice duduk di antara ayah dan ibunya, namun gadis kecil itu bersandar pada bahu ayahnya, sembari menatap sebal pada wali muridnya.

"Hari ini Alice memukul Chan, teman sekelasnya," kata sang guru membuka pembicaraan setelah beberapa basa-basi. "Alice, kenapa kau melakukannya, Nak?" tanya sang guru, sementara gadis yang ditanya justru berpaling, sedikit menarik lengan ayahnya kemudian berbisik di telinganya.

"Ibu guru tidak mempercayaiku," bisik Alice pada ayahnya.

Lisa menoleh, melihat putrinya tengah berbisik. Di saat yang sama, Jiyong membalas lirikan wanita itu. "Tidak apa-apa, appa percaya," kata Jiyong, menanggapi bisikan putrinya. Baru setelah Jiyong meyakinkannya, Alice memberitahu alasannya memukul Chan. Seperti yang sudah gadis itu katakan lewat teleponnya tadi, Alice berkata kalau Chan mengejeknya. Alice marah karena Chan bilang Alice tidak punya ibu dan ayah. Alice marah karena Chan menyebutnya pembohong. Alice selalu dianggap berbohong, tiap kali gadis itu bercerita tentang ayah dan ibunya.

Kemudian, selepas bercerita, Alice diminta untuk keluar. Diminta untuk bermain di lapangan bersama teman-temannya. "Eomma akan menyusul nanti, bermain lah dulu," kata Lisa, ketika putrinya terlihat enggan untuk pergi.

Lepas kepergian Alice, Lisa juga mantan suaminya diberitahu kalau Alice punya banyak sekali masalah di sekolah. Ia pemarah, sering memukul temannya, dan cenderung membesar-besarkan ceritanya. "Dibanding teman-teman sekelasnya, Alice masih sangat kekanakan-"

"Dia memang masih anak-anak," Jiyong menyela pendapat guru di depannya. Lantas membuat Lisa menyenggol kakinya. Mereka tidak seharusnya membantah ucapan wanita yang lebih berpengalaman itu—menurut Lisa.

"Ya," sang guru mengiyakannya. "Alice memang masih anak-anak, tapi tidak semua anak-anak bersikap sepertinya, Tuan Kwon. Tidak semua anak yang diejek temannya, balas memukul temannya," susulnya.

"Lalu apa yang harus dia lakukan saat diejek?" tanya Jiyong.

"Oppa-"

"Aku yang mengajarinya begitu," susul Jiyong, menyela wanita yang sekarang duduk di sebelahnya. Lisa ingin cepat-cepat mengakhiri pembicaraan itu. Namun Jiyong justru terlihat ingin menantang wali kelas putrinya. "Saat dia diejek, tidak ada guru yang membelanya. Dia sudah menyuruh temannya untuk berhenti mengejek, tapi temannya masih terus mengejeknya, karena itu dia memukulnya. Kalau saat dia diejek, ada guru yang membelanya, dia pasti tidak akan memukulnya. Tapi... Mengejek tidak jadi masalah besar di sekolah, anak-anak perlu melakukan kesalahan besar untuk dapat perhatian gurunya," katanya kemudian.

Kini giliran wali kelas itu yang membela diri, mengatakan kalau ada banyak murid di kelas dan tentu sulit untuk memperhatikan semuanya. Namun wanita itu bersikeras kalau ia sudah berusaha memperhatikan tiap siswa di kelasnya, termasuk Alice. Tentu Jiyong ingin membela lagi putrinya, tapi kali ini Lisa yang lebih dulu membuka mulutnya. Lisa meminta maaf atas keributan yang terjadi hari ini.

"Aku berjanji kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi, aku akan memberitahu Alice agar tidak memukul temannya lagi," kata Lisa, buru-buru mengambil alih sebelum mantan suaminya itu semakin kesal dan bertengkar dengan guru putrinya. Maka selesailah pembicaraan itu, karena Lisa sudah mengatakan apa yang wali kelas harapkan.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang