37

253 57 3
                                    

***

Lisa tidak bisa berkata-kata, sedang putrinya memberi reaksi yang berlawanan dengannya. Alice berseru senang, karena Jiyong datang dengan banyak camilan. Sedang Lisa tidak bisa menunjukkan reaksi apapun. "Oppa, kau akan membuka toko di sini?" tanya Lisa, keheranan dengan semua yang mantan suaminya beli.

Satu kantong besar es krim berbagai rasa, dua kantong besar camilan, sekantong besar peralatan mandi dan kantong terakhir, yang sedikit lebih kecil berisi sepuluh botol kecap asin, totalnya lima kantong belanja. Belum termasuk beras dan tenda yang katanya masih ada di mobil.

"Masukan es krimnya ke freezer sebelum mencair, sayang," suruhnya, tentu pada putrinya.

Dengan penuh semangat, Alice mengambil sekantong besar es krimnya, menariknya untuk di bawa ke dapur, ke depan lemari es. Ia tarik laci paling bawah dari lemari esnya, disitu freezernya berada. Baru setelah itu ia susun semua es krimnya di sana.

"Eomma suka yang ini!" serunya, menunjukan sebuah es krim warna-warni yang ia temukan. "Eomma mau es krimnya sekarang?" tanyanya, mencari alasan agar ia juga bisa makan es krim itu bersama ibunya—sebelum makan malam.

"Berapa banyak yang kau beli?" heran Lisa, sedang Jiyong melangkah masuk ke dalam kamarnya, tanpa menyadari perubahan-perubahan di rumahnya.

"Tidak ku hitung," santai Jiyong, yang selanjutnya berkata pada Alice kalau ia akan pergi mandi.

"Hitung es krimnya, jangan makan es krim sebelum makan malam," kata Lisa, tentu kepada Alice yang hampir saja membuka bungkus es krimnya.

Alice mendengus, namun tetap ia lakukan perintah ibunya. Tidak berselang lama, suara Jiyong berteriak dari dalam kamar terdengar. Pria itu kedengaran terkejut, memanggil Lisa untuk segera menghampirinya ke kamar. Ah... Karena semua belanjaan itu, Lisa sampai lupa untuk menikmati reaksi Jiyong malam ini.

Putri mereka tidak peduli. Alice lebih menyukai es krim-es krimnya daripada keributan di rumahnya. Lisa yang kemudian melangkah ke kamar, sekarang menahan tawanya. Di sana ia melihat Jiyong, mengangkat pakaiannya dengan ujung jari.

"Apa ini?" tanya pria itu, sembari menunjukan hasil penemuannya.

"Panties," santai Lisa, sedang wajah lawan bicaranya mulai merah karena marah.

"Kau pikir aku tidak tahu?! Kenapa ini ada di sini?!"

"Lalu dimana aku bisa menyimpannya? Rak dapur? Lemari es?" santai Lisa, yang harus keluar dari kamar tidur itu untuk menyembunyikan senyumnya.

Melihat Jiyong kesal karena pakaian dalamnya, membuat Lisa ingin sekali tertawa. Terbahak-bahak sembari menunggu pria itu akan bereaksi lebih besar lagi. Ayo mengumpat, buang pakaianku dari lemarimu di depan putrimu sendiri—begitu yang Lisa harapkan. Tapi meski Jiyong tidak melakukannya sekalipun, Lisa sudah cukup senang melihat pria itu berusaha keras untuk menahan dirinya.

"Lipat lagi sebelum mengembalikannya! Aku sudah berusaha keras saat merapikannya!" seru Lisa, dari luar kamar tidur. Jelas berhasil membuat Jiyong semakin kesal.

Setelah mengambil pakaiannya, yang ada di sebelah pakaian mantan istrinya, Jiyong melangkah keluar. Ia akan pergi ke kamar mandi dan disaat ini lah ia kembali terkejut. Foto pernikahannya ada di sana, tergantung manis di atas sofa. Saking terkejutnya, Jiyong hampir jatuh, terpeleset keset kamar mandi yang baru saja ia injak.

"Augh! Sialan!" umpat Jiyong, berpegang pada ambang pintu, sembari menahan tubuh dengan kakinya, agar tidak jatuh.

Mendengar Jiyong mengumpat, Lisa yang sedang menunggui Alice menghitung es krim, langsung menutup telinga putrinya. Ia menoleh ke arah kamar mandi, bersamaan dengan Alice yang penasaran.

"Appa kenapa?" tanya Alice, masih membiarkan Lisa menutupi telinganya.

"Tidak, tidak apa-apa sayang," balas Jiyong yang jadi sedikit pincang saat masuk ke kamar mandi. Kakinya yang kemarin patah dan digips, terasa nyeri lagi karena dipakai untuk bertahan barusan.

Lisa sudah gila—hanya itu yang bisa Jiyong pilih untuk mendefinisikan semua keanehan yang ia lihat hari ini. Lepas membersihkan tubuhnya, ia keluar dari kamar mandi, membawa pakaian kotornya langsung ke mesin cuci. Akan ia masukan pakaiannya ke dalam mesin itu, namun Lisa bersuara, "apa oppa tidak lihat keranjang pakaian kotor di dekat pintu kamar mandi? Jangan menyimpan pakaian kotor di dalam mesin cuci," tegur Lisa, tengah menghangatkan lagi makan malam mereka sedang putrinya masih duduk di depan freezer.

Ia kembali untuk menaruh pakaian kotornya di keranjang, lalu berdiri di dekat meja makan, melihat heran pada Alice yang sedang memotret isi dalam freezer. "Pada siapa kau akan mengirim fotonya, sayang?" tanya Jiyong.

"Tidak aku kirim pada siapa-siapa," gadis kecil itu menggeleng. "Ada tiga puluh tiga es krim di sini, aku harus mencatatnya... Jadi aku tahu kalau ada es krim yang hilang," jelasnya, membuat Jiyong terkekeh kemudian duduk di meja makan, melihat makanan yang Lisa siapkan di sana.

Sendoknya ada di sebelah sendok Lisa, sebab Alice memakai sendok bergambarnya sendiri. Melihat itu, Jiyong menghela nafasnya, membatin kalau mantan istrinya itu sudah benar-benar tidak waras. Entah apa yang Lisa rencanakan sekarang, namun Jiyong tahu rencana itu tidak akan baik untuknya. Ia kemudian menukar sendoknya, membuat Alice duduk di sebelahnya, sedang Lisa ada di depan putri mereka.

"Kekanakan sekali," cibir Lisa, pelan namun cukup untuk bisa Jiyong dengar.

Keduanya lantas bertukar tatap, Jiyong dengan lirikan sinisnya sedang Lisa menunjukkan raut ketidakpeduliannya. Seolah tengah mengejek Jiyong yang sekarang sedang bersikap sangat berlebihan.

"Sudah cukup bermainnya, sekarang makan malam dulu," ajak Lisa, menutup freezer di depan putrinya, menegur Alice agar segera duduk di kursinya. "Taruh handphonenya," suruh Lisa sebelum Alice benar-benar duduk di tempatnya.

Gadis kecil itu lantas berbalik, pergi ke meja di depan TV dan meletakkan handphonenya di sana. Ia melewati tiga kantong belanja lain, yang isinya masih penuh belum dibongkar, kemudian mengintip ke dalam kantong-kantongnya.

"Whoa! Semuanya camilan! Aku sayang appa!" serunya, tetap melangkah menuju meja makan yang hanya berjarak dua langkah dari belanjaan tadi.

Ia memeluk ayahnya sebentar, lalu duduk di sebelah pria itu untuk makan malam. "Eomma, kenapa banyak sekali sayurnya? Ini sayur, itu sayur, itu juga sayur, semuanya sayur, aku tidak tahu mana yang harus aku makan," keluhnya kemudian, menujuk piring-piring berisi lauk yang ada di depannya.

"Makan saja semuanya," balas Lisa, yang sekarang harus mengambilkan lauk untuk putrinya. Alice tidak akan menyentuh sayuran-sayuran itu kalau Lisa tidak memaksanya.

"Tapi aku alergi sayur," kata Alice, membuat lawan bicaranya langsung mengerutkan dahi. "Aku alergi makanan tidak enak," susulnya, lantas bersandar pada ayahnya. "Appa juga tidak suka sayur kan? Sayur tidak enak, iya kan?" katanya, mencari sekutu.

Jiyong mengangguk, namun di detik yang sama kakinya di tendang. "Hm... Sayur tidak enak," kata Jiyong, menahan nyeri karena Lisa menendang kakinya yang baru saja sembuh. "Tapi kau butuh sayur agar cepat tumbuh besar," susul Jiyong, mau tidak mau harus ia bantu mantan istrinya agar Alice mau menelan sayuran di depannya. "Makan saja sepotong wortelnya dengan dua potong daging, nanti rasa sayurnya tidak terasa," ujarnya, mengajari Alice menata nasi juga lauk di atas sendoknya.

Alice mengikutinya, lantas matanya membulat sempurna. Menatap Lisa kemudian Jiyong secara bergantian. "Benar! Wortelnya tidak terasa!" serunya, dan Jiyong menyuruh gadis kecil itu untuk mencoba lagi dengan sayur lainnya. Sedang Lisa hanya berdecak melihat reaksi itu.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang