***
"Eomma, lihat!" Alice melangkah keluar dengan beberapa perban berdarah di tangannya. Mengatakan kalau ia baru saja selesai mengobati ayahnya.
Lisa yang duduk di sofa sekarang mengerutkan dahinya. Alih-alih memintanya mengobati lukanya, Jiyong justru meminta Alice yang melakukannya?—Lisa tidak merasa itu sebagai pilihan benar. Meski tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengoreksinya. Mungkin Jiyong canggung kalau harus menunjukkan perutnya—Lisa berfikir begitu untuk membuat dirinya sendiri merasa lebih nyaman.
"Bagaimana luka ayahmu? Parah?" tanya Lisa, setelah ia bantu anaknya untuk membuang perban-perban kotor itu.
"Katanya tidak, hanya kena pisau tadi malam," jawab Alice.
"Ayahmu tertusuk pisau?"
"Tidak, dipotong dengan pisau," kata Alice, yang sepertinya belum kenal istilah tersayat.
Jiyong tidak keluar lagi setelah masuk ke dalam kamar utama. Pria itu terlelap di sana, sementara Alice tidak mau diajak pulang. Alice ingin menginap, tapi awalnya Lisa tidak mengizinkannya. Baru setelah Alice menangis dan bersembunyi di kamar utama, Lisa menyerah.
Karena ayahnya terlelap dan kelihatan sangat nyenyak, Lisa tidak berani meninggalkan Alice sendirian. Lisa temani putrinya bermain, sampai gadis kecil itu mengantuk dan tidur di kamarnya. Sekarang Lisa bingung. Ia harus tetap berada di sana, atau pergi ke rumahnya sendiri. Sendirian gadis itu berkutat dengan dilemanya. Lama menimbang-nimbang antara tinggal atau pergi, Jiyong sudah lebih dulu bangun.
"Kau masih di sini? Kenapa?" tanya Jiyong, sembari melangkah menuju lemari esnya. Pria itu meraih botol air mineralnya, lantas menenggaknya. "Pergilah, pulang atau menginap lah di hotel. Jangan di sini. Aku akan mengantar Alice besok," suruh Jiyong kemudian.
"Sekarang sudah jam sebelas-"
"Lalu? Kau tidak berani pergi sendiri? Tidak kan? Pergilah," suruh Jiyong sekali lagi.
Harusnya ia tidak perlu bimbang tadi, harusnya ia pergi sedari tadi, diusir begini rasanya tentu menyebalkan. Padahal ia sudah membantu membersihkan rumah itu. Padahal ia sudah menemani Alice agar Jiyong bisa istirahat. Merasa kalau tidak satupun kebaikannya dihargai, Lisa tentu kesal.
Dengan kasar, gadis itu raih kunci mobilnya di atas meja. Ia raih juga handphonenya di sana, lantas melangkah meninggalkan rumah itu. Pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Jiyong menghela nafasnya, mendengar pintu rumahnya yang dibuka tapi tidak ditutup lagi.
Baru saja Jiyong melangkah ke kompor di dapurnya, melihat sepanci kari di sana dan akan mencicipinya. Pria itu lantas meraih sebuah sendok dari tempatnya, mencicipi kari yang ada di sana. Tentu Lisa yang memasak, Alice tidak mungkin bisa menyalakan komputer—anggap Jiyong.
"Oh? Kenapa rasanya enak? Sejak kapan dia bisa memasak?" heran Jiyong, berencana mencari semangkuk nasi untuk melengkapi makan malamnya.
Namun baru ia berbalik, suara pintu tertutup kembali terdengar. Langkah kaki kembali terdengar dan pintu kamar Alice di tutup. Lisa kembali, berdiri kesal di dekat meja makan. Keberadaan gadis itu membuat Jiyong berhenti bergerak, terpaksa harus mengurungkan niatnya untuk makan.
"Apa lagi?" Jiyong membuka mulutnya, sembari memalingkan wajahnya, meletakan sendoknya ke dalam bak cuci piring.
Sedang gadis di depannya masih menatapnya dengan raut marah yang tidak ia tutup-tutupi. "Sebenarnya, apa rencanamu?" tanya Lisa, ketus seperti biasanya.
"Rencana apa yang kau bicarakan?" Jiyong balas bertanya, sengaja bersandar pada meja dapurnya, membuat posisinya lebih nyaman sembari sesekali melirik ke pintu kamar Alice yang tertutup.
"Kau yang membawaku ke sini! Apa rencanamu?!" Lisa meninggikan suaranya. Dirinya sudah kesal sejak ia diusir tadi, dan sekarang jadi semakin kesal karena raut wajah lawan bicaranya.
"Keluar," dengan malas, Jiyong bergerak. Ia hampiri Lisa, meraih bahu gadis itu untuk membawanya ke pintu depan.
Enggan pergi, juga kesal karena diusir, Lisa menolak untuk bergerak. Bahkan saat Jiyong meremas lengannya, gadis itu tetap bertahan di tempatnya berdiri. Menolak untuk pergi. Sakit jelas terasa di lengannya, cengkraman Jiyong benar-benar kuat di sana.
"Kita bicara di luar, ada Alice di sini," paksa Jiyong, masih tetap mencengkram lengan Lisa, memaksanya untuk keluar bersamanya.
Mereka akhirnya bicara di mobil. Sembari sesekali Lisa mengusap lengannya yang tadi dicengkram mantan suaminya. Perih dan nyeri masih terasa di sana, seolah cengkraman itu terlampau kuat hingga bisa meninggalkan jejak keunguan. "Aku tidak pernah berencana membawamu ke sini," Jiyong memulai pembicaraan mereka. Sembari ia pijat pelipisnya sendiri. Kepalanya berdenyut dan perutnya pun lapar sekarang.
"Lalu kenapa kau membantu Jennie?" tanya Lisa. "Kenapa kau memberinya petunjuk? Laporan yang dia ajukan ke atasannya, kau yang membuatnya. Kau beritahu dia tentang uang lima puluh juta itu, kau juga yang memberitahunya tentang barang-barang baru Soohyuk. Kau yang membuat anggota timmu dicurigai. Soohyuk tahu itu? Kalau sebenarnya, kau yang membuatnya harus diselidiki?"
"Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan segalanya padamu," kata Jiyong. "Tapi... Kau tidak pernah masuk dalam rencanaku. Siapa yang akan mengira Metro akan mengirim Ketua Timnya ke sini? Kecuali kau membuat masalah di sana, kau tidak akan dikirim ke sini, bukan begitu? Masalah apa yang kau buat sampai dikirim ke sini? Kau juga tidak akan mengatakannya padaku, kan? Karena itu-"
"Aku mengajukan diri," potong Lisa. "Aku mengajukan diri untuk pergi ke sini," tegas wanita itu sekali lagi.
Sekarang keduanya terdiam. Jiyong memijat sendiri pelipisnya. Dengan sengaja ia mengirim berkas penyelidikan lewat Jennie. Dikirimnya berkas itu, agar ada seseorang yang menyelidiki lagi kasus partnernya. Agar ada seseorang yang nantinya bisa membersihkan nama Jang Joon. Tanpa sepengetahuan orang lain, Jiyong merencanakan strateginya bersama Lee Hani. Jiyong ingin nama Jang Joon dibersihkan dan Hani ingin berhenti dari posisinya. Hani butuh pengganti agar ia bisa mengundurkan diri.
"Semuanya akan baik-baik saja kalau kau tidak-"
"Ya! Kwon Jiyong! Kau tidak tahu alasanku mengambil kasus ini?! Kau yang membuatku mengambil kasus ini!" kesal Lisa. "Kau ayah dari putriku! Bagaimana bisa aku diam saja setelah membaca berkasnya?! Kau dan timmu dituduh menggelapkan uang! Kau bisa dipecat kalau semua tuduhan itu terbukti! Bagaimana kau bisa menemui Alice kalau semua tuduhan itu terbukti?! Kau masih punya muka untuk bertemu dengannya setelah menggelapkan uang?!"
"Kau percaya aku menggelapkan uang? Dan hanya lima puluh juta?" balas Jiyong, setelah Lisa selesai meneriakinya. "Kalau memang aku menggelapkan uang, aku pasti sudah mengirimnya padamu!" serunya kemudian, membuat Lisa langsung menoleh menatap tajam pria di sebelahnya.
"Darimana kau dapat uang untuk membayar semua tunjanganku? Uang yang kau kirim untuk sekolah dan bimbel Alice, darimana kau mendapatkan semuanya?" tanya Lisa kemudian, khawatir kalau apa yang ia bayangkan akan benar-benar jadi kenyataan sekarang. Khawatir kalau dirinya juga akan terlibat dalam kasus penggelapan ini.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...