***
Hari sudah gelap saat Jiyong sampai di perkemahan. Setelah mengemudi menaiki bukit, mereka tiba di lokasi perkemahan itu. Seorang petugas menghampiri mereka, bertanya apakah Jiyong akan berkemah dengan mobilnya atau tidak. Karena tidak punya tenda yang bisa disambungkan ke mobil, Jiyong ditunjukan tempat parkirnya, kemudian diajak dan dibantu membawa barang-barangnya ke lokasi kosong tempatnya bisa memasang tenda.
Pria itu di ajak ke sudut hutan pinus, dekat dengan pantai. Masih perlu berjalan beberapa menit untuk sampai ke pantai itu, namun dari sana mereka bisa mendengar deru ombaknya, samar-samar. "Appa kenapa di sini gelap sekali?" tanya Alice, berjalan di sebelah ayahnya, berpegang pada kaki pria itu sembari memeluk sebuah tendanya.
"Kita akan menyalakan api unggun nanti," kata Jiyong, menenangkan putrinya. Ditambah pengurus tempat itu yang katanya bisa menyewakan beberapa barang pada mereka. Karena Jiyong terlihat tidak punya apapun selain dua tenda dan sekantong belanjaan untuk makan malam. "Ah sungguh? Dimana aku bisa menyewa barang-barang itu?" tanya Jiyong, akan pergi menyewa peralatan berkemahnya. Ia harus punya segalanya sebelum Lisa sampai, sebab gadis itu akan kembali kesal kalau segalanya belum disiapkan.
"Kami akan mengantarnya ke sini," kata si pengurus perkemahan, bertanya apa saja yang Jiyong butuhkan untuk berkemah.
"Kami akan menginap di sini dua malam," balas Jiyong. "Kami butuh peralatan makan, lampu, sleeping bag- ah apa ada sleeping bag baru yang bisa aku beli? Untuk tidur putriku, aku ingin yang baru, yang masih tersegel," katanya, terus mengobrol pada si pengurus perkemahan, sementara Alice masih memegangi tangannya, dan melihat ke sekitar, khawatir takut-takut ada hewan liar di sekitar sana.
Dalam satu jam, dibantu seorang tenaga profesional, Jiyong berhasil mendirikan dua tenda, menyalakan api unggun, menata dapur serta meja makan seadanya bahkan menghias tenda mereka dengan lampu kelap-kelip seperti pekemah lainnya. Sembari duduk di depan api unggun, bersama Alice di sebelahnya, mereka menunggu Lisa. Jiyong memegangi stik kayu di depan api unggun itu, mengajari Alice caranya memanggang marsmellow sembari menunggu Lisa datang.
"Appa lapar," kata Alice, kelaparan setelah menangis dan membantu menata tenda tadi. Gaun putihnya sudah semakin kotor sekarang, namun ia tidak punya pakaian ganti sampai Lisa datang.
Tidak tega membuat putrinya kelaparan, Jiyong memanggang daging untuk Alice. Ia masak juga sebungkus mie instan di atas api unggun seperti yang diajarkan seorang profesional tadi—si pengurus perkemahan. Meski tidak tahu apapun, Jiyong berlaga kalau dirinya sudah ratusan kali berkemah. Alice memujinya, mengatakan kalau Jiyong hebat karena bisa membuat tenda dan api unggunnya, walau sebenarnya ini juga kali pertama Jiyong pergi berkemah. Lisa pun tidak pernah berkemah.
Kalau tidur di mobil dan makan seadanya di sana, keduanya sering melakukan itu. Berkemah di mobil saat mengintai penjahat. Bahkan Jiyong masih sering melakukannya sekarang. Tapi membangun tenda dan duduk di depan api unggun, baru malam ini Jiyong berkesempatan melakukannya. Setelah ia sajikan mie instan dan daging panggangnya, setelah Alice mencicipinya dan berseru senang menerima makanan-makanan itu, baru Lisa tiba di sana.
Dengan sebuah ransel besar milik Alice waktu itu, Lisa datang membawakan pakaian juga selimut. Ia bawa selimut dari rumah, karena ragu Jiyong punya sleeping bag atau tidak. Hanya untuk berjaga-jaga, karena Jiyong mungkin saja melupakannya. Jiyong pasti melupakannya, sebab berkemah tidak pernah mereka rencanakan malam ini.
"Eomma, aku minta maaf," kata Alice, setelah ibunya menaruh ransel di tenda lalu duduk di depan meja makan kecil yang masih bisa dilipat agar jadi lebih kecil lagi. "Aku tidak akan minta baju putih lagi," susulnya, berjanji ia tidak akan membuat ibunya kesal lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanficAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...