***
Lisa membuka pintu rumah Jiyong. Tempat itu sama seperti terakhir kali ia tinggal, Jiyong kelihatannya tidak pulang selama ia tidak di sana. Sembari mengamati rumah itu, Lisa berkata, "kau ingin aku benar-benar membunuhmu? Kau akan menyesal karena mengatakannya," sebal Lisa, seolah tengah merencanakan sebuah pembalasan atas ucapan Jiyong kemarin. Ingin ia balas mantan suami yang telah mengadu pada ibunya itu. Membalas pria yang sudah membuatnya terlihat buruk di depan ibunya sendiri. Membuat ia tidak lagi punya muka untuk menemui ibunya.
Tidak. Semua itu hanya alasan. Alasan untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya—ia kesal karena Jiyong kelihatan tidak menginginkannya. Karena Jiyong terlihat tidak punya rencana untuk rujuk dengannya.
"Karena sudah membuatku terlihat jadi anak nakal- augh! Bagaimana bisa dia bilang pada eomma kalau aku yang menciumnya duluan?! Apa dia gila?!" gerutu Lisa, di dalam rumah yang sekarang kosong.
Sembari menggerutu, ia tutup kopernya. Memasang resleting koper itu, kemudian membawanya ke kamar utama. "Dan dia tidak mau rujuk denganku?! Kau akan menyesal karena sudah bilang begitu! Bajingan!" omelnya, pada sederet bantal yang biasa Jiyong pakai untuk tidur. Meski sepertinya, Jiyong jarang sekali tidur di rumah.
Kini ia buka kopernya di depan lemari pakaian. Ia buka juga lemari itu, melihat beberapa pakaian Jiyong yang tergantung di sana, sedang lainnya tertumpuk di sudut, masih dalam plastik laundry. Ada tiga tumpuk pakaian dalam plastik laundry di sana, sudah tiga kali Jiyong melaundry pakaiannya, namun belum sempat membongkarnya. Bahkan melepaskan labelnya pun belum.
"Dasar pemalas," gerutu Lisa kemudian, lantas membuka plastik-plastik itu. Menata pakaian Jiyong di dalam lemari, juga merapikan sederet pakaian dalam yang tidak terlipat. Hanya dimasukan ke dalam laci tepat setelah dicuci. Pakaian dalam itu bahkan tidak dipisahkan dengan kaus kakinya.
"Selesai!" serunya, tersenyum menatap lemari yang baru saja ia tata. Beberapa pakaian miliknya, ia taruh di sebelah pakaian Jiyong, pakaian dalamnya pun sama. Akan ia kejutkan pria itu ketika pulang nanti. Kalau marah tidak bisa membuat Jiyong kesal, akan ia pakai cara yang lain untuk menyiksa ego pria itu.
"Lihat saja, seberapa lama dia bisa menahan diri sekarang," yakin gadis itu. "Kau sama jahatnya denganku, Kwon Jiyong," katanya, tepat sebelum bel rumah dibunyikan.
Lisa selesai menata pakaian saat kurir datang. Sup tulang yang katanya akan ibunya kirim baru saja datang sekarang. Sudah dibekukan dan dikirim dalam kotak styrofoam, dalam pesan itu, ibunya pun menulis pesan, memberitahu Jiyong caranya menyimpan dan menghangatkan supnya.
Sembari mengurusi supnya, Lisa menggerutu. Suasana hatinya hari ini konsisten seperti kemarin—kesal. Bukan hanya pada Jiyong, tapi pada ibunya juga. Mengeluh karena ibunya tidak pernah membuatnya makanan serumit sup tulang. Bagi gadis itu, ibunya terlihat lebih menyayangi Jiyong dibanding putrinya sendiri. Ia ragu, apakah dirinya juga akan bersikap begitu jika Alice menikah nanti.
Malam ini Lisa tidur di kamar utama. Setelah menonton TV, gadis itu pergi ke kamar utama dan berbaring di sana. Merebahkan dirinya di sisi ranjang dekat pintu, sebab terakhir kali ia melihatnya, Jiyong berbaring di sisi lainnya. Sembari menatap ke langit-langit, gadis itu mengatur nafasnya. Ia tarik dan ia hembuskan lagi nafasnya, berusaha untuk membuat dirinya merasa tenang berada di sana.
"Karena aku sudah terlanjur bersikap egois, biarkan aku melakukannya sekali lagi, hm?" pelan gadis itu, menoleh pada sisi ranjang yang kosong, seolah ada mantan suaminya di sana. "Kenapa oppa masih lajang sekarang? Kenapa tidak mengencani Jennie? Ah... Oppa mengencani Lee Hani? Tidak kan? Kau hanya berbohong saat mengatakannya. Lee Hani terlihat sangat menyayangi suaminya, kau tidak akan bisa masuk diantara mereka, iya kan?" tanyanya, kepada bayang-bayang mantan suaminya yang ada di sana.
"Aku masih lajang karena merasa bersalah. Sebenarnya aku menyesal karena kita bercerai. Tapi siapa yang mau mengakui kesalahannya? Aku tidak ingin oppa menudingku, rasakan itu, kau menyesal karena menceraikanku, kan?—aku bisa membayangkanmu bicara begitu dan membencinya. Kecuali dalam urusan hidup dan mati, aku tidak akan mengakuinya, asal oppa tahu saja," akunya, masih pada bantal yang biasa Jiyong pakai. Tanpa berharap bantal itu akan menyampaikan pesannya nanti.
Lama ia berbaring di sana, sampai tanpa sadar dirinya mulai terlelap. Sampai pagi datang dan Lisa dikejutkan oleh suara bel yang ditekan. Kurir lain datang, mengantar sebuah foto dengan bingkai kayu sebesar televisi. "Apa ini? Oh, foto yang aku pesan?" gumam Lisa, sedikit canggung sebab foto itu dikirim sangat cepat seperti permintaannya.
Ia menerima paketnya, membawa benda besar itu masuk ke dalam rumah lantas membukanya. Melihat foto pernikahannya ada di sana. "Augh! Astaga! Kenapa besar sekali?" gadis itu terkejut melihat dirinya sendiri ada di dalam foto. Bahkan Lisa yang sengaja memesannya terkejut, pemilik rumah itu pasti akan lebih terkejut lagi, saat pulang nanti.
Lisa memasang foto itu di atas sofa, memastikan fotonya lurus dan terpasang kokoh di sana. Selesai memasang fotonya, gadis itu melangkah mundur, ingin melihat dari jauh foto pernikahannya. "Wah... Aku cantik sekali di sana," katanya, mengomentari fotonya sendiri. "Haruskah aku memasang foto lain di kamar? Di atas kepala ranjang? Siapa tahu fotonya jatuh dan menimpa kepalanya," ide itu tiba-tiba saja muncul di kepalanya.
Seperti sebuah kebetulan, seolah ingin menyelamatkan ayahnya dari rencana kejam ibunya, Alice menelepon Lisa sekarang. Sebuah panggilan video dan mereka berdua sama-sama tersenyum begitu teleponnya tersambung. Alice mengikat rambut pendeknya sekarang, dengan wajah yang masih basah karena baru saja dibasuh.
"Eomma!"
"Tuan putri!" seru Lisa, bersamaan dengan suara putrinya. "Bagaimana di sana? Menyenangkan?" tanyanya kemudian, sembari memperhatikan wajah putrinya yang tidak berhenti tersenyum.
Sepuluh menit Alice bicara tentang permainan-permainan yang ia coba di sana. Bercerita tentang betapa menyenangkannya tempat itu. "Tapi aku terluka," katanya kemudian. "Kemarin kami bermain kejar-kejaran dan aku sembunyi di semak-semak. Tangan dan dahiku tergores, perih sekali tapi appa bilang tidak apa-apa," katanya sembari menunjukan lecet kecil di dahinya, juga di lengannya.
"Appa ke sana?"
"Tidak," geleng Alice. "Aku mengirim foto ke appa tadi dan appa bertanya kenapa dahiku terluka. Aku memberitahunya kalau aku sembunyi di semak-semak. Appa bilang tidak apa-apa tapi aku harus menelepon eomma dan bilang pada eomma," katanya. "Tapi apa yang ada di atas eomma itu? Kaki? Kaki siapa itu?" tanyanya kemudian, menyadari kalau ada yang berbeda di atas kepala ibunya.
"Apa?" balas Lisa, lantas menoleh ke atas dan melihat foto pernikahannya. Ia duduk di sofa saat mendengarkan putrinya berceloteh. "Ohh ini! Lihat, foto pernikahan eomma," kata Lisa, lantas menunjukan foto yang baru saja ia pajang di dinding rumah Jiyong itu.
Alice terkejut melihatnya, ia berseru luar biasa senang sebab seumur hidupnya, tidak pernah ia lihat foto itu. Lisa bilang mereka tidak punya foto pernikahan karena saat itu mereka terlalu miskin, karenanya Alice tidak pernah bertanya lagi. Ia percayai jawaban ibunya, meski sang ayah memberi jawaban yang berbeda.
"Kenapa tiba-tiba memasang foto? Aku juga mau difoto!" serunya, membujuk Lisa untuk mengajaknya pergi foto keluarga seperti yang teman-temannya lakukan. Memajang foto keluarga di rumah, seperti yang keluarga teman-temannya lakukan. "Appa bilang eomma tidak suka foto pernikahan kalian karena eomma gemuk di fotonya, sekarang eomma sudah menyukai fotonya?" tanya Alice kemudian, setelah Lisa menyetujui permintaannya untuk pergi foto keluarga.
"Apa? Eomma gemuk? Ayahmu bilang aku gemuk?" balas Lisa, sekali lagi merasa terhina karena ucapan mantan suaminya.
"Hm... Appa bilang foto pernikahan kalian jelek, eomma kelihatan gemuk di fotonya dan eomma tidak menyukainya, karena itu fotonya dihapus," angguk Alice, memberi satu lagi alasan untuk Lisa merasa kesal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...