24

373 70 17
                                    

***

Rasanya waktu bergulir sangat lambat malam ini. Jiyong hampir tidak bisa tidur, begitu juga dengan Lisa. Bahkan untuk berbaring di sebelah putrinya saja, Lisa takut. Alice berbaring di tengah, kedua tangannya memegangi tangan ayah dan ibunya. Ia tautkan jemari kecilnya diantara jemari orangtuanya, mengunci mereka agar tidak pergi.

Baru lima menit sejak Alice berhenti bicara dan mulai memejamkan matanya, gadis itu akan langsung bangun jika Lisa pergi sekarang. Di sebelah kiri Alice, ayahnya berbaring, selimut menutupi tubuh Alice, juga sebagian tubuh ayahnya. Sedang Lisa duduk bersandar di sebelah kanan gadis kecil itu. Alice menyelimutinya, namun hanya kaki Lisa yang tertutup selimut, wanita itu menolak untuk tidur. Eomma belum mengantuk—begitu kata Lisa, yang memilih untuk duduk dan hanya menemani putrinya tidur.

Mata Jiyong terpejam, bahkan miliknya lebih dulu terpejam dibanding Alice. Namun pria itu tidak pernah benar-benar tidur. Ia hanya tidak ingin melihatnya—mantan istri dan putrinya, berada di kamarnya. Keberadaan Lisa di sana, membuat jantungnya berdegup sangat cepat. Mereka sudah bercerai dan semua itu terjadi karena Lisa—bahkan dipindahkannya ia ke Allamanda, itupun karena Lisa.

Jiyong marah karenanya, marah pada mantan istrinya. Namun gugup karena berbagi ranjang dengannya adalah urusan lain. Rasa gugupnya itu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan amarahnya, dengan dendam yang tidak pernah ia balaskan. Merasa kalau malam sudah lama berlalu, Jiyong membuka matanya. Lisa masih di sana, dan ternyata itu baru sepuluh menit setelah Alice terlelap.

Saat ia buka matanya, dilihatnya Lisa tengah memandanginya. Gadis itu berpaling karena melihatnya membuka mata, ia hindari tatapan mantan suaminya, sembari menarik nafasnya dalam-dalam. Mencoba untuk mengendalikan dirinya. Mencoba untuk tetap tenang agar putrinya tidak bangun.

"Kau pernah menyesalinya?" tanya Jiyong tiba-tiba, membuka pembicaraan yang hampir tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. "Bercerai sampai merebut kasusku, kau pernah menyesalinya?" ulang Jiyong, yang lagi-lagi memejamkan matanya. Berfikir kalau Lisa akan menjawabnya, jika ia tidak melihatnya.

"Tentu saja pernah," pelan Lisa, tetap berpaling, juga berfikir kalau mereka tidak bisa berbincang jika saling menatap.

"Kapan?"

"Setiap kali melihatnya?" ucapnya, kali ini sembari menatap gadis kecil yang berbaring di sebelahnya. Mengusap rambut gadis kecil itu. "Dulu, aku takut hidupku akan jadi sangat menyedihkan kalau punya anak. Kau tahu Minyoung eonni, kan? Terjebak di bagian inventaris, hanya mengurus kertas dan kopi, dimarahi hanya karena membuat kopi yang terlalu pahit. Sampai di rumah, ia masih harus membersihkan rumah, melayani suaminya, mengurus anaknya... Kelelahan dan akhirnya berhenti. Waktu itu aku takut hidupku akan berakhir sepertinya," ceritanya, masih sembari mengusap-usap rambut putrinya.

Jiyong mendengarnya, ia pun tahu kalau Lisa merasa begitu—ketika itu. Jiyong bersikeras kalau waktu itu, ia memahami perasaan Lisa. Jiyong sadar, kalau saat itu mereka masih terlalu muda untuk punya anak. Ada banyak hal yang belum mereka coba, masih ada banyak kesempatan yang tidak ingin mereka lewatkan. Jiyong menyadarinya dan ia pun setuju, kalau saat itu mereka belum pantas untuk punya anak.

"Rasanya, saat itu aku dihadapkan hanya pada dua pilihan—tetap bekerja, atau jadi ibu. Lalu aku memilih untuk tetap bekerja. Apapun yang terjadi aku ingin jadi wanita yang tetap bekerja. Aku tidak ingin jadi ibu," susulnya, sebab Jiyong hanya diam. Pria itu pun tahu tentang perasaan itu. Jiyong bersumpah, ia bisa memahaminya. Ketika itu, tidak pernah sekalipun Jiyong berharap mereka akan segera punya anak. Bahkan hanya dengan tinggal dan hidup berdua, itu cukup baginya.

"Tidak ada yang memintaku punya anak, tidak ada yang menyuruhku memilih, aku tahu itu," aku Lisa pelan. "Hanya perasaanku sendiri yang merasa begitu. Karena itu aku bisa melakukannya. Setiap kali melakukannya, aku jadi khawatir. Aku jadi gugup, aku takut," ucapnya dan ia berhenti. Tidak ia lanjutkan kata-katanya. Tidak ia lanjutkan pengakuannya.

Tidak Lisa katakan secara gamblang, kalau malam mereka bercerai, dirinya merasa luar biasa takut setelah bersetubuh. Malam itu mereka melakukannya tanpa kondom, karena Jiyong lupa membelinya. Alih-alih bermesraan setelah melakukannya, seperti normalnya suami-istri, Lisa justru marah besar. Mereka bertengkar dan ia usir suaminya, lalu kemudian Lisa menggugat cerai suaminya setelah beberapa hari bertengkar. Katanya ia tidak bisa lagi jadi seorang istri. Katanya ia tidak bisa lagi bersenang-senang dengan suaminya. Meski tahu keputusannya membuat keluarganya sakit kepala, Lisa tetap bersikeras untuk bercerai.

"Kalau waktu itu kita tidak bercerai, apa kita akan bahagia?" tanya Lisa, menoleh pada pria yang mendengarkan ceritanya sembari memejamkan mata. Melihat mata Jiyong terpejam, Lisa lantas berdecak, berkata kalau ia tidak seharusnya menceritakan kisah membosankan itu.

Sekarang, ia pandangi wajah pria itu. Menatap dalam-dalam mantan suaminya yang memejamkan mata. Berfikir kalau Jiyong sudah benar-benar tertidur karena ceritanya. "Aku pikir oppa sudah berubah," pelan Lisa, menahan dirinya untuk tidak mengusap helai rambut yang menutupi dahi mantan suaminya. Ingin ia rapikan rambut-rambut itu, agar tidak menganggu tidur mantan suaminya, namun ia tahan dirinya. "Tidak, oppa sudah banyak berubah, jadi lebih baik, lebih perhatian, jadi sangat penyayang, meski hanya pada Alice," susulnya, tetap pelan. Mengira kalau mantan suaminya itu sudah benar-benar tidur.

Waktu seolah berhenti saat ia menatap mantan suaminya itu. Dulu, Lisa sering bangun lebih awal, atau sengaja tidur terlambat, hanya untuk memandanginya. Memperhatikan lekuk wajah Jiyong yang terlelap. Menebak-nebak apa mimpi pria itu sekarang. Lama tidak melakukannya, membuat Lisa jadi sangat merindukannya. Terlebih saat ia lihat betapa mirip putrinya itu dengan suaminya. Sama seperti Jiyong, Alice pun suka memeluk ketika tidur. Tangan kecil itu bergerak otomatis memeluknya, sama seperti ayahnya—dulu, sebelum mereka berpisah.

Alice memeluknya, setelah melepaskan pegangan tangannya dari tangan ayahnya. Lisa merunduk untuk balas memeluk gadis kecil itu. Ia sudah bisa meninggalkan Alice sekarang, perlahan-lahan tanpa membangunkannya. Namun belum ingin ia tinggalkan momen itu. Belum ingin ia tinggalkan pemandangan di depannya. Belum puas ia lihat mantan suaminya terlelap bersama putrinya di sebelahnya.

Lisa pikir ia sudah lama memandangi mereka. Lisa kira sudah lama ia menikmati pemandangan langka itu. Hingga, tidak lagi bisa ia tahan dirinya. Gadis itu merunduk, semakin dekat pada wajah Jiyong. Terbawa suasana, ia dekati wajah pria itu, menempelkan bibirnya pada bibir Jiyong, menciumnya.

Jiyong bergerak. Memberi tanda kalau pria itu belum terlelap. Pria itu menjauhkan wajahnya, juga membuka matanya. Menatap Lisa yang sekarang gugup, bercampur malu. Wanita itu akan melarikan diri sekarang. Luar biasa malu karena tertangkap basah melecehkan mantan suaminya. Wajahnya otomatis berubah merah sekarang, saking malunya. Ia akan beranjak dari sana, namun Jiyong menahannya. Meraih pergelangan tangan yang akan melepaskan pelukan Alice, lalu menggenggam pergelangan tangan itu.

"Tenang lah, kau akan membangunkannya," pelan Jiyong, lebih seperti suara seseorang yang berbisik.

Sebelah tangan Lisa masih menumpu tubuhnya sekarang. Sedang tangan lainnya tetap berada dalam genggaman mantan suaminya. Lisa usahakan tangannya untuk tetap bertahan, menumpu tubuhnya agar tidak ia tindih kepala putrinya. Lalu tangan yang Jiyong pegang, diarahkan untuk menyentuh bahunya, Lisa berpegang pada bahu pria itu. Kemudian tangan Jiyong meraih wajah gugupnya, menarik dagunya untuk kembali menciumnya. Dengan mata yang terpejam, Jiyong rasakan bibir lembut itu lagi. Setelah bertahun-tahun hampir ia lupakan rasanya berciuman.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang