6

303 57 0
                                    

***

Sejak beberapa tahun lalu, Jang Joon mengincar sebuah gembong narkoba. Tahun lalu mereka hampir berhasil meringkus pengedar narkoba itu, namun Jang Joon tewas dalam misinya. Mereka berhasil meringkus sebagian dari kelompok pengedar itu, dan Jang Joon yang gugur juga dapat penghargaan karenanya.

Tapi pria yang membunuh Jang Joon belum tertangkap. Entah dimana pria itu sekarang, Kwon Jiyong dan timnya masih berusaha melacak mereka. Di tengah-tengah pelacakan, Tim Penyidik Internal mencurigai mereka. Lee Hani mencurigai mereka. Uang sebesar lima puluh juta, menghilang begitu saja, tanpa jejak seolah tidak pernah ada.

"Dari puluhan kilo kokain yang berhasil kami amankan, hanya lima puluh juta yang hilang. Kau meributkan soal lima puluh juta uang yang hilang, hanya lima puluh juta, apa itu masuk akal?" Jiyong kesal setiap kali Hani menyebut-nyebut nominal uang itu. Ketua tim mereka tewas dalam misi dan Tim Penyidik Internal justru mengganggu mereka dengan lima puluh juta yang hilang.

Sementara dari sudut pandang para Penyidik Internal, lima puluh juta bukan jumlah yang sedikit untuk kasus penggelapan. Bahkan meski jumlahnya tidak sampai lima puluh juta, jika ada kecurigaan dugaan penggelapan, atau pencurian barang bukti, Tim Penyidik Internal tentu harus menyelidikinya. Mereka dibayar untuk itu. Dilema memang, terlebih bagi Lisa, yang tidak bisa menolak ketika diberi perintah menyelidiki mantan suaminya sendiri.

Sebenarnya gadis itu khawatir, kalau ia juga menikmati uang lima puluh juta itu. Tapi di sisi lain, dirinya pun ragu—kenapa mereka hanya menggelapkan lima puluh juta? padahal ada puluhan kilo kokain di sana. Sayang, pekerjaan itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendapatnya sendiri.

Hari ini, hari Selasa, dan sepulang kerja, Jennie melangkah bersama Bobby untuk pulang ke rumah. Bobby tinggal di apartemen studio dekat kantor polisi, begitu juga dengan Jennie. Kebetulan mereka tinggal di gedung yang sama. Bobby menyewa sebuah unit di lantai tiga, sedang Jennie sudah satu tahun tinggal di gedung itu, di lantai tujuh. Bukan sebuah kebetulan luar biasa, sebab kompleks apartemen itu memang ditinggali oleh banyak polisi. Tempatnya dekat dengan kantor polisi dan harganya pun murah.

"Apa aku melakukan kesalahan?" tanya Jennie, dalam perjalanannya pulang bersama Bobby. "Aku merasa Detektif Lisa membenciku," susulnya.

"Uhm... Karena Detektif Lisa memarahimu kemarin?"

"Kemarin juga, hari ini dia juga tidak bicara padaku," ucapnya, lantas menghela nafasnya. "Menurutku dia keren. Kami sepantaran, aku sudah mencari informasi tentangnya di database. Tapi pangkatnya sudah tinggi sekali, dia sudah jadi Ketua Tim, padahal dari yang aku dengar, Penyidik Internal sulit sekali naik pangkat. Aku ingin dekat dengannya," susulnya.

"Aku sudah tiga tahun bekerja dengannya," kata Bobby.

Sebelumnya pria itu bekerja di Tim Cyber, mengurusi kasus-kasus kejahatan di dunia maya, website illegal, peretasan, perjudian online dan semua kejahatan lain yang ada di dunia maya. Namun tiga tahun lalu, Bobby melakukan sebuah kesalahan fatal. Ia sebarkan identitas seorang pelaku kejahatan, dengan sadar, karena terlampau marah.

Berkat kesalahan itu, Bobby diskors, dihukum potong gaji dan akhirnya dipindahkan ke Tim Penyidik Internal. Lisa yang awalnya hanya punya dua rekan kerja dalam timnya, tentu senang dengan kedatangan Bobby. Lalu, tanpa diduga, Bobby mampu bertahan di sana—meski sesekali, beberapa polisi menatap kesal padanya.

"Detektif Lisa, dia mungkin akan memarahimu, dia memang selalu marah, tapi dia tidak membenci orang lain, apapun kesalahanmu, dia tidak akan membencimu," kata Bobby. "Kita sudah banyak dibenci karena pekerjaan kita, bagaimana bisa kita membenci rekan sendiri?" susulnya, mencoba untuk menghibur.

"Sebelum berada di tim ini, dimana kau bekerja?" tanya Bobby kemudian, penasaran karena Jennie tidak terlihat cocok berada di sana. Gadis itu terlihat senang bergaul, seorang yang kelihatannya sangat ingin punya banyak teman.

"Polisi lalu lintas," santai Jennie. "Waktu itu aku dengar ada lowongan jadi Detektif di sini, jadi aku mendaftar. Saat itu aku tidak tahu apa itu penyidik internal,"

Malam itu mereka berpisah di lift. Bobby pergi ke apartemen studio tempatnya tinggal, begitupun dengan Jennie yang pulang ke tempatnya. Sama seperti dua rekannya, Lisa pun mengemudi pulang malam ini, ke Bellis. Ia harus tiba sebelum pukul sembilan, harus menjemput Alice di tempat bimbelnya.

Dalam perjalanannya pulang, gadis itu terus menghela nafasnya. Tugasnya kali ini tidak mudah, selain karena Jang Joon sudah terlanjur dihadiahi penghargaan, membuatnya tidak boleh mengambil langkah yang salah, keberadaan Jiyong pun mengganggunya.

Mereka sudah lama saling kenal, dahulu Jiyong adalah seniornya di akademi. Berkencan sejak masih belajar di akademi, lalu menikah tidak lama setelah ia diangkat jadi polisi. Mereka bekerja di kepolisian daerah saat itu, berpatroli dengan mobil bersirine merah biru, mengurusi orang-orang yang mabuk dan tidur di jalan, mengatasi keluhan-keluhan dan pertengkaran ringan di satu daerah kecil.

Lisa menyukainya, saat-saat dirinya tertawa karena punggung Jiyong dimuntahi seorang pria mabuk. Atau ketika mereka berlari menangkap pencopet di pasar. Lisa suka saat-saat itu, saat dirinya belum tahu, kalau ambisinya ternyata lebih besar dari semua pencapaian kecil itu.

"Kau tidak akan mendapatkan semua ini, jika masih menjadi istrinya, Lalisa," pelan gadis itu, masih sembari mengemudikan mobilnya di jalan tol menuju rumah. Meninggalkan suaminya adalah harga yang harus ia bayar untuk karirnya sekarang, untuk mimpinya.

Tiba di depan tempat bimbel putrinya, gadis itu turun dari mobil. Mengintip ke pintu kaca bertuliskan nama tempat bimbel itu. Melihat ibunya ada di depan pintu, Alice lantas berlari keluar, membawa ranselnya, menghampiri dan memeluk ibunya. "Eomma!" serunya.

"Selamat malam, tuan putri," sapa Lisa, lantas mengangkat gadis kecil itu dan membawanya ke mobil. Mendudukan Alice di kursi belakang, juga memasang sabuk pengaman untuknya. "Bagaimana harimu, tuan putri?" tanya Lisa, setelah ia juga duduk di mobilnya dan mulai mengemudi untuk pulang ke rumah.

"Tadi aku menghias kukis di sekolah. Aku membuat tiga, untukku, untuk eomma dan untuk appa," ceritanya. "Tapi... Guruku bilang kalau kukisnya tidak tahan lama, harus dimakan malam ini. Berarti appa tidak akan bisa memakannya, karena appa hanya datang dihari Jumat. Jadi aku makan semuanya," katanya.

"Huh? Lalu kukis untuk eomma?"

"Aku makan juga."

"Kenapa?"

"Kalau appa tidak dapat, eomma juga tidak dapat," santai Alice. "Aku harus adil pada kalian berdua, kalau tidak, kalian akan bertengkar. Seperti anak kecil, setiap hari bertengkar," susulnya sembari berdecak, berlaga kalau dirinya adalah orang dewasa yang sedang memarahi adiknya.

"Ahh... Begitu? Berarti, hari ini tuan putri sudah makan tiga kukis?" balas Lisa. Dirinya sudah sangat terbiasa mendengar omelan putrinya itu. "Kalau begitu, malam ini camilannya pisang? Atau apel?" tawar Lisa namun Alice justru merengek. Gadis kecil itu mengeluh, mengatakan kalau dirinya benci pisang juga apel. Alice ingin pizza sebagai camilannya malam ini, dan keinginannya itu sangat mustahil untuk jadi kenyataan.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang