***
Hari ini Alice akan pulang. Lisa sudah mencarikan sekolah untuknya dan ia akan mulai bersekolah lagi minggu depan. Ia pun telah memberitahu mantan suaminya mengenai seluruh informasi itu, lewat pesan yang dikirimnya melalui email kepolisian. Karenanya, sekarang Jiyong membawa mobilnya ke binatu.
Hari sudah sore, ia baru saja keluar dari kantor polisi pukul empat tadi. Langsung mengemudikan mobilnya ke binatu, berhenti di depan binatu meski katanya ia tidak boleh parkir di sana, lalu masuk untuk mengambil sebuah keranjang. Gips di tangan dan kakinya sudah di lepas sekarang, namun ia masih merasa sedikit nyeri di sana, sesekali. Dengan tangannya yang sehat, ia bawa keranjangnya, membuka bagasinya kemudian mengeluarkan setumpuk pakaian kotor yang ada di sana.
Selama Alice pergi berkemah, Jiyong tidak pernah lagi mengunjungi rumahnya. Sebab ia tahu ada Lisa di sana dan merasa tidak perlu pulang untuk menemaninya di rumah. Rumahnya dan beberapa paketnya akan aman karena ada Lisa di sana, maka ia bisa bekerja lebih banyak. Mumpung Alice tidak ada di rumah. Mumpung tidak ada gadis kecil yang harus ia beri banyak perhatian.
Jiyong butuh dua keranjang untuk mencuci pakaian-pakaian kotornya. Lalu, setelah berkata kalau ia ingin cuciannya dikirim ke rumahnya, juga membayar biaya jasanya, Jiyong pergi dari binatu itu. Ia akan pergi ke pusat perbelanjaan sekarang. Akan menepati janjinya untuk membelikan Alice tenda berkemahnya. Ia tidak tahu kenapa Alice perlu tenda karena baru saja kembali dari acara kemahnya, namun ia tetap ingin menepati janjinya.
Lepas membeli tenda—dua tenda untuk berjaga-jaga kalau Alice ingin pergi kemah bertiga—Jiyong masuk ke supermarket dalam pusat perbelanjaan itu. Akan ia belikan putrinya beberapa camilan, sebab seingatnya tidak ada apapun di lemari esnya. Sembari berbelanja, Jiyong tiba-tiba mengingat Lisa. Ingat juga perkataan mantan ibu mertuanya beberapa hari lalu.
"Aku tahu putriku sangat egois, dia banyak menyulitkanmu, iya kan? Tapi dia putriku, aku tidak bisa menang melawannya. Apapun yang Lisa lakukan, aku tetap tidak bisa berhenti menyayanginya, karena dia putriku. Pada apapun yang berhubungan dengannya, aku tidak cukup bijaksana untuk bersikap objektif. Aku akan terus membelanya," katanya lewat telepon, setelah ia memaksa Jiyong untuk menerima sup tulang buatannya. "Tapi... Sekarang kalian juga punya seorang putri. Daripada berusaha mengusir putriku dari hidupmu, bagaimana kalau kau tetap tinggal bersamanya? Kalau kau tetap tinggal bersamanya, Alice bisa tinggal dengan kedua orangtuanya, kau juga akan melihat bagaimana Alice mengalahkan Lisa. Tanpa perlu melakukan apapun, kau bisa melihat Lisa dibuat marah, dibuat kesal, dibuat menangis oleh putrinya sendiri."
Meski ucapan mantan ibu mertuanya itu terdengar sedikit kejam—kau tidak perlu repot-repot membalas dendam pada putriku, putrimu yang akan melakukannya untukmu—namun Jiyong tersenyum saat mendengarnya. Bibirnya tertarik, membentuk seulas senyum tanpa sempat ia tahan. "Apalagi karena Alice sangat mirip denganmu, putriku benar-benar tersiksa karenanya," susul wanita itu, membuat Jiyong merasa lebih senang lagi. Pria itu senang setiap kali seseorang menyebut Alice mirip sepertinya.
"Saat kecil Lisa sangat manis. Dia sangat penakut. Jangankan tinggal di rumah sendirian seperti Alice, saat sekolah saja, dia menangis kalau tidak bisa melihatku berdiri di jendela. Aku berdiri di depan jendela kelasnya sampai dia kelas dua. Jangankan bekerja, pergi ke kamar mandi saja sulit karena Lisa sangat penakut. Dan setelah dia cukup besar, aku sering mengeluhkannya, aku menyalahkannya karena tidak bisa bekerja. Mungkin karena itu dia jadi bersikap begitu. Dia suka pekerjaannya, tapi takut Alice akan jadi sangat merepotkan sepertinya. Tapi sekarang ketakutannya itu sudah banyak berkurang. Dia tidak akan melakukan kesalahan seperti dulu lagi. Karena itu, meski kau melakukannya hanya untuk Alice, selama kau tidak mencintai wanita lain, bertahanlah untuk tinggal bersama putri dan cucuku, aku akan memperlakukanmu dengan baik, sungguh," janjinya, yang tiba-tiba Jiyong ingat hanya karena berdiri di depan rak camilan. Tentu saja Jiyong mengingatnya, sebab sore ini ia harus pulang ke rumah dan menemui putri juga mantan istrinya.
"Augh! Terserah!" gerutu Jiyong, ingin mengabaikan ingatan yang tiba-tiba muncul itu. "Dia akan tetap tinggal atau pergi, terserah padanya. Aku tidak peduli," tegas pria itu, bicara pada sederet biskuit cokelat yang dulu biasa Lisa beli untuk mereka berdua.
Lisa sering membeli choco pie dulu, menyimpannya di lemari es, di laci kamar, di kotak camilan bawah ranjang, memasukan beberapa bungkus ke dalam masing-masing tas mereka, menyimpannya di laci meja kerja mereka, di kantor polisi. Dimana pun mereka merasa lapar tapi malas memesan makanan, choco pie selalu ada di sana. Dan hari ini, Jiyong membelinya lagi—setelah bertahun-tahun lamanya ia hindari camilan itu.
Selesai dengan sekeranjang camilan—untuk putrinya—Jiyong berdiri di kasir. Mengantre untuk membayar semua belanjaannya. Dan baru di sana ia mengingat sesuatu—haruskah aku bertanya apa yang perlu dibeli lagi padanya? Apa ada beras di rumah? Minyak? Bagaimana kalau dia ternyata sudah membelinya?
Banyak pertanyaan mengganggunya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mendorong keranjangnya keluar dari antrian, lalu menelepon putrinya. Lisa masih memblokir nomor teleponnya—itu yang Jiyong tahu. Lama ia menunggu, sampai akhirnya Alice menjawab teleponnya, berkata kalau ia baru saja bangun tidur. Ia sudah di rumah dan tertidur sejak dalam perjalanan tadi.
"Appa membangunkanmu? Maaf sayang," kata Jiyong, setelah Alice bilang kalau tadi ibunya menggendong dirinya sampai ke kamar karena ia tertidur di mobil.
"Tidak apa-apa, appa bisa menelepon kapan saja," balas Alice, masih tetap berbaring di ranjang sembari mengusap-usap matanya.
"Kalau begitu, bangun dari ranjang dan tanyakan eommamu, apa ada kebutuhan rumah yang perlu dia beli di supermarket," suruh Jiyong.
"Camilan!"
"Sudah."
"Es krim?"
"Sudah juga, cepat tanya eomma sebelum es krimmu mencair," katanya sekali lagi, membuat Alice langsung bangkit dan berlari mencari ibunya yang sedang menyiapkan makan malam.
"Eomma, appa bertanya apa ada yang perlu dibeli? Appa di supermarket," kata Alice, begitu ia melihat Lisa berdiri di dapur, sedang menghangatkan sup tulang yang dikirim ibunya.
"Beras, yang putih," jawab Lisa, tanpa menoleh pada putrinya dan tetap fokus ke masakannya, yang tidak ia beri pemutih. "Sabun mandi, shampoo, conditioner, dan kecap asin," susulnya, tidak terlalu cepat agar Alice bisa mengikutinya.
Jiyong membelikan semua pesanan itu. Hingga ia perlu lima kantong belanja untuk semua belanjaannya sore ini. Padahal beras dan tenda yang ia beli, tidak dimasukan ke dalam kantong belanja.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...