***
Tiba di kantor polisi, Kwon Jiyong langsung berlari masuk ke dalam ruang kerjanya. Pria itu berlari karena mendengar anggota timnya di bawa ke ruang interogasi. Langkahnya terburu-buru, naik ke lantai tiga, tempat ruang interogasi berada. Orang-orang dari Kepolisian Metro memakai ruang interogasi di ujung lorong, dan seolah tahu kalau akan ada orang yang menghalangi pekerjaan mereka, Jennie Kim beserta Bobby sengaja berjaga di depan pintu.
"Buka pintunya," tenang Jiyong begitu datang. Di sana pria itu tidak sendirian. Tiga anggota timnya yang lain pun ada di sana—Mino, Yoon juga Toil.
Mino dan Toil melangkah mundur, menyerah untuk memaksa dua orang itu menyingkir dari pintu. Sementara Yoon menatap canggung pada Jennie, meminta Jennie menyingkir dari pintu sebelum ketua timnya marah. Seolah takut Jennie akan terluka karena ketua timnya, pria itu membujuk Jennie untuk menyingkir.
"Cepat buka pintunya," Jiyong mengulang perintahnya.
"Detektif Lisa melarang siapapun untuk masuk," kata Bobby, jelas membantah perintah seorang petugas yang pangkatnya lebih tinggi darinya.
"Siapa?" Jiyong mengerutkan dahinya. "Detektif Lisa? Lalisa?" tanyanya, masih dengan dahi yang berkerut, namun kini sebelah alisnya terangkat.
Bobby mengiyakannya, dan disaat bersamaan Jiyong mendengus dengan keras. Sekali lagi Jiyong meminta Bobby untuk membuka pintu ruang interogasi itu. Dan sekali lagi juga, Bobby menolaknya.
"Detektif Lisa melarang-"
Bobby akan mengulang ucapannya tadi. Ucapan yang sudah berkali-kali ia katakan. Tapi Jiyong menyela ucapannya. "Aku boleh masuk. Buka pintunya," potong pria itu, tegas dengan cara bicaranya yang khas, cukup mengintimidasi.
Tentu Bobby masih berusaha untuk menjalankan tugasnya, namun Jiyong sudah lebih dulu mendorongnya. Entah pria itu yang teramat kuat, atau Bobby yang sama sekali tidak siap, Bobby terdorong hampir tersungkur saat Jiyong mendorongnya. Dengan sigap, Mino juga Toil memegangi Bobby sekarang. Hanya Jennie yang masih berjaga di sana, menutupi knop pintu dengan tubuhnya.
"Minggir," Jiyong menatap tajam mata gadis itu. "Aku bilang minggir," ulangnya, tapi kali ini sembari meraih lengan Jennie, sedikit meremasnya dan menggeser kasar tubuh kurus gadis itu. "Kau makan lah yang banyak, aneh sekali... Hanya pipimu yang gemuk, lenganmu kurus sekali," komentar Jiyong, setelah ia berhasil meraih knop pintunya, memutar kunci yang ada di sana lalu membuka pintunya.
Jiyong menutup pintunya begitu masuk. Ia menoleh ke samping, menatap pada kaca satu arah, tahu kalau di dalam ruangan itu ada Lee Hani dan mungkin juga Kepala Kepolisian mereka. Sementara Jiyong masih menatap pada kaca satu arah itu, Lalisa dan Soohyuk yang duduk dalam ruang interogasi itu menoleh, memperhatikannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Lalisa lebih dulu membuka mulutnya. Mengingatkan Jiyong tentang alasannya menerobos masuk.
"Aku yang harusnya bertanya, apa yang kau lakukan di sini?" Jiyong balas bertanya, lantas memalingkan wajahnya, balas menatap Lalisa.
"Bekerja," kata gadis itu. "Aku sedang bekerja, jadi keluar lah," susulnya.
"Ah... Begitu? Kalau begitu, ayo keluar," kata Jiyong, sembari menepuk bahu Soohyuk, mengajaknya untuk pergi dari sana. "Dia sedang bekerja, kau juga harus bekerja, ayo pergi dari sini," ulangnya, bersamaan dengan Lee Soohyuk yang mulai berdiri.
Desahan kasar terdengar dari gadis berambut pendek dalam ruangan itu. Lalisa memukul meja besi di depannya dengan berkas yang ia pegang. Rasa kesal terpancar jelas dalam raut wajahnya sekarang, menatap punggung Jiyong juga Soohyuk yang akan beranjak pergi dari sana. Menatap kedua pria itu seolah tubuh rampingnya itu bisa membunuh mereka berdua. Menatap keduanya, seakan matanya dapat memancarkan laser panas yang akan melubangi punggung mereka.
"Ya! Kwon Jiyong!" sekali lagi gadis itu memukul meja besi di depannya. Kali ini ia mengangkat tubuhnya, berdiri, masih sembari menatap punggung pria yang perlahan-lahan berbalik.
"Huh? Kwon Jiyong?" pelan pria itu bergumam, lantas ia menoleh pada gadis di balik meja itu. "Ya! Lalisa!" ia balas berteriak sekarang. Melangkah menghampiri gadis yang lebih dulu meneriakinya.
"Apa?! Apa yang kau lakukan di sini?! Kau sudah gila?! Apa alasanmu mengganggu pekerjaanku?!" kesal Lisa, dengan tangan yang terkepal kuat di sebelah tubuhnya. "Detektif Lee! Kembalilah duduk, kita belum selesai!" perintahnya, tanpa menatap Lee Soohyuk. Hanya Kwon Jiyong, pria yang berdiri di depannya yang ia tatap sekarang.
Jiyong memberi tanda pada Soohyuk untuk tetap keluar. Sedang ia justru menarik kursi yang sebelumnya Soohyuk pakai. Pria itu duduk di sana sementara Soohyuk membuka dan menutup lagi pintunya.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini? Mencurigai timku?" kata Jiyong, tangannya sekarang terulur. Memutar layar laptop yang sebelumnya menghadap pada Detektif Lisa. "Detektif Lee Soohyuk menerima uang lima puluh juta di rekeningnya, satu hari sebelum kematian Detektif Jang Joon," ucapnya, membaca baris terakhir yang tertulis di layar laptop itu.
Dengan kasar Lalisa menutup layar laptopnya. "Kecuali kau juga ingin dicurigai, keluar," perintah Lisa, suaranya terdengar sinis sekarang. Masih terdengar sangat kesal, namun gadis itu tidak lagi berteriak. Percuma saja ia berteriak, karena Detektif Lee Soohyuk tetap tidak mendengarkannya.
"Kenapa aku tidak dicurigai?" balas Jiyong. "Detektif Jang Joon partnerku," susulnya, menatap gadis yang ia ajak bicara dengan tatapan meremehkan khasnya. Seolah ingin mengejek gadis itu.
"Pangkatku lebih tinggi darimu, Detektif Kwon," ketus Lisa kemudian. "Bersikap lah sopan, kecuali kau datang ke sini sebagai mantan suamiku," katanya.
Kini Lisa bergerak untuk duduk. Matanya masih menatap tajam pada pria di depannya. "Aku punya cukup bukti untuk menjadikan Detektif Lee kaki tangan Detektif Jang. Mengganggu penyelidikan tidak akan membantumu, Detektif Kwon," kata gadis itu, mencoba untuk memprovokasi pria di hadapannya. "Ah! Dan berhentilah menelepon Alice, kau mengganggu belajarnya," susulnya, sebab Jiyong tidak terlihat terprovokasi oleh kalimat pertamanya.
"Ya! Apa yang sedang kau bicarakan?" balas Jiyong, raut kesal sudah tergambar di wajahnya. Namun belum ia tinggikan suaranya. Merasa kalau dirinya akan kalah jika ia meledak sekarang. "Alice yang lebih dulu meneleponku, karena dia tidak suka ibunya," susulnya, balas memprovokasi. Membuat wajah gadis di depannya jadi merah padam. Sangat kesal. Teramat marah.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/348059954-288-k665223.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...