***
Lisa masih mengeringkan rambutnya dengan handuk di meja makan. Ia duduk di depan Jiyong, sembari sesekali menyesap teh yang pria itu buatkan. Beberapa kali juga gadis itu menghela nafasnya, memukul-mukul dadanya yang sesak karena alkohol. Sejak tahu kalau dirinya hamil, Lisa tidak pernah lagi menyentuh alkohol. Beberapa kali ia minum bir, namun semua botolnya ditulisi tanpa alkohol. Ia berusaha keras untuk tidak terlihat mabuk di depan putrinya.
"Aku tidak ingin terlibat dengannya tapi dia ayah dari putriku. Kami harus tinggal bersama karena putriku. Tapi demi Tuhan aku membencinya. Dia sudah menghancurkan hidupku, aku ingin sekali memenjarakannya, tapi dia ayah dari putriku. Sekarang bajingan itu membuatku dipecat. Karena menyelidikinya, aku jadi terjebak di Allamanda dan sekarang dipencat," kata Lisa, datar tanpa ekspresi apapun, selain kelelahan.
"Huh?"
"Aku pura-pura mabuk dan bilang begitu padanya," kata Lisa. "Lalu sepertinya dia senang, karena aku ternyata tidak tahu apa-apa dan membencimu. Aku menunjukan hasil penyelidikanku padanya. Hanya sampai putrinya Kepala Lee mengirim uang pada Kepala Lee. Aku bilang padanya kalau aku diam-diam masuk ke ruang kerjamu dan tahu kalau putri Kepala Lee menjual narkoba ke anak-anak konglomerat, aku belum tahu siapa anak-anak konglomerat itu, karena kau lebih dulu memergokiku dan aku tahu kalau Kepala Lee terlibat. Aku tidak menyebut apapun tentangnya, dan menjejalinya dengan cerita hubungan kita. Dia kelihatan puas dan akan membantuku mendapatkan kembali pekerjaanku," ceritanya.
"Jadi Wakil Kepala bekerja sama dengannya?"
"Hm... Anggota Dewan Bae Taekook."
"Bagaimana kau bisa bertemu mereka?"
"Memohon," santai Lisa. "Besok kita harus bertengkar di kantor. Tiga atau empat kali, sampai Bae Taekook tidak peduli lagi padaku," susulnya, mengatakan sesuatu yang tidak perlu mereka rencanakan. Bahkan tanpa merencanakannya, mereka akan terus bertengkar—anggap keduanya. "Tapi, oppa harus cepat menyelesaikan kasusnya, sebelum mereka sembunyi atau merombak segalanya. Sepertinya mereka sudah cukup awas karena Kepala Lee koma," katanya lagi namun kali ini Jiyong menggelengkan kepalanya.
Jiyong dan timnya tidak pernah jadi ancaman karena mereka bodoh—begitu menurut Bae Taekook dan Jiyong menyadarinya. "Sudah bertahun-tahun kami menyelidiki kasus ini dan hanya Kepala Lee yang bisa kami dapatkan, sekarang Kepala Lee koma. Mereka pasti berfikir kami tidak punya apapun."
"Kalian memang tidak punya apapun selain bukti yang aku berikan, bodoh," pelan Lisa, namun Jiyong hanya menaikan bahunya. Tidak benar-benar mengakui ucapan Lisa itu.
"Tentu saja kami tidak bisa dapat bukti laporan keuangan Kepala Lee, hanya kau yang punya izin untuk mengaksesnya. Karena kau Penyidik Internal," kata Jiyong, mengatakan kalau ia sengaja memanfaatkan Lisa untuk mendapatkan informasi itu.
"Lalu apa yang kau dapatkan, oppa?"
"Aku tahu kalau Bae Taekook terlibat. Tapi aku tidak tahu kalau dia ada di atas. Kau yang memberitahuku barusan. Aku pikir dia hanya pelanggan, keponakannya Bae Taekook pelanggan tetap Lee Yeji, anak Kepala Lee. Tapi Bae Taekook tidak tahu kalau keponakannya terlibat."
"Berarti semua selesai? Kau hanya perlu menangkap mereka."
"Sebentar lagi, akan aku tangkap Candyman dulu-"
"Kenapa? Kenapa kau terobsesi pada ikan kecil itu? Pantas saja oppa tidak pernah naik pangkat," heran Lisa.
Jiyong tidak menjawabnya. Tentu saja ia ingin menangkap Candyman, sebab pria itu telah melukainya, juga anggota timnya. Bahkan pria itu juga yang membunuh Ketua Timnya dulu. Jiyong perlu menangkapnya, tapi ikan kecil itu akan cepat-cepat bersembunyi kalau mereka menangkap pausnya lebih dulu.
Lepas melaporkan hasil pekerjaannya hari ini, Lisa bertanya dimana Jiyong akan tidur. Karena sangat lelah, Lisa ingin tidur di kamar utama dan tanpa perlu berdebat, Jiyong mengizinkannya. Pria itu berkata kalau ia akan tidur di sofa, di ruang tengah. Lisa menggumam untuk mengiyakannya, lantas ia masuk ke dalam kamar utama. Ia tutup pintunya, namun tidak sampai rapat.
Baru saja duduk di ranjang, ia mengingat tangan Bae Taekook yang tadi meremas pahanya. Hari ini Lisa memang memakai celana panjangnya, namun sentuhan itu tetap saja terasa seperti pelecehan baginya. "Hhh... Bajingan tua berengsek," gerutu Lisa, sembari mengusap-usap pahanya yang terbalut celana olahraga panjang berwarna abu. "Aku tidak akan pura-pura mabuk di depan bajingan mesum sepertinya, sialan," gerutu gadis itu. Mencoba untuk terlelap, namun sudah satu jam ia berbaring di sana, dirinya tetap terjaga.
Berkali-kali ia menghela nafasnya, namun semakin ia mengingat wajah Bae Taekook, semakin sesak juga dadanya. Lalu keluar lah ia dari sana, melangkah ke ruang tengah tapi tidak menemukan siapapun di sana. Jiyong ada di ruang kerjanya, entah tengah mengerjakan apa. Merasa kesepian, gadis itu kemudian melangkah ke kamar putrinya. Alice sedang terlelap sangat nyenyak di sana. Sebentar ia usap-usap rambut putrinya, memandanginya dan membuat Alice terganggu karena sentuhan lembutnya.
"Maaf, maaf, kembalilah tidur sayang," tenang Lisa, menepuk-nepuk pelan dada putrinya yang mengerang karena risih. Baru setelah Alice kembali tenang, Lisa melangkah keluar.
Rasa sepi itu belum pergi, dan karena tidak kuasa mehannya, ia ketuk ruang kerja Jiyong. Hanya dua ketukan dan pintunya langsung terbuka. Jiyong pikir Alice yang datang, ia sudah menunduk untuk melihat putrinya, namun ternyata mantan istrinya yang berdiri di sana.
"Tadi Bae Taekook melecehkanku," kata Lisa kemudian, masih dengan pakaian yang tadi Jiyong ambilkan—kaus hitam berlengan panjang dan celana olahraga panjang. Ia beri pakaian tertutup itu seolah tahu kalau mantan istrinya baru saja dilecehkan—meski bukan itu maksudnya. "Dia meremas paha dan perutku, menyuruhku duduk di sebelahnya dan menuangkan minuman untuknya," lanjut Lisa, memberi detail yang sekarang membuat Jiyong merasa kesal.
"Aku sangat marah sampai tidak bisa tidur," katanya lagi. "Aku juga sedikit takut, bajingan itu akan muncul di mimpiku," akunya dan Jiyong menggeser tubuhnya, memberi cukup celah agar Lisa bisa masuk ke ruang kerjanya.
Gadis itu menggeleng, Lisa menolak untuk masuk ke ruang kerjanya. "Aku lelah sekali," katanya saat ia menolak untuk masuk. "Bisa oppa menemaniku di kamar?" pintanya, membuat Jiyong menaikan alisnya.
"Kau baru dilecehkan tapi ingin aku tidur denganmu?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk.
"Hanya tidur, aku tidak punya tenaga untuk meladenimu, entah itu bersetubuh atau bertengkar," tegasnya, membuat garis hitam tebal yang tidak boleh Jiyong lewati. "Oppa juga bisa bekerja di kamar, tidak perlu mematikan lampunya," susulnya, buru-buru sebelum Jiyong membalas ucapannya dengan kata-kata menyebalkan.
Jiyong menyanggupinya, maka pergilah mereka ke kamar. Di ranjang besar itu, Lisa berbaring memunggungi Jiyong. Berpesan pada pria itu, agar ia dibangunkan jika kelihatan sedang bermimpi buruk. Sementara itu, Jiyong duduk di sisi lain ranjang, bersandar pada kepala ranjangnya sembari mengecek ulang semua bukti yang sudah mereka kumpulkan di laptopnya. Memastikan semua buktinya kuat dan bisa memenjarakan orang-orang jahat itu. Ia cari celah yang mungkin ada dalam bukti-buktinya, kemudian memikirkan bukti lain yang mampu menutup celah itu.
"Oppa," panggil Lisa, setelah tiga puluh menit mereka begitu.
"Hm?"
"Mau dengar sesuatu yang lucu?" tanyanya kemudian, masih dalam posisinya memunggungi Jiyong. Namun sekarang pria itu menoleh, memperhatikan punggung Lisa yang bergerak naik turun dengan teratur, sesuai deru nafasnya. "Setelah pindah ke sini, aku baru sadar kalau selama ini aku dan Alice sangat kesepian. Di Bellis, kami tidak bicara sebanyak di sini. Meski hanya bertengkar atau berpura-pura harmonis di depan Alice, aku menikmatinya. Rasanya tidak terlalu sepi," akunya.
"Kau ingin terus tinggal di sini?"
"Hm..."
"Kalau begitu, perbaiki sikapmu. Aku lebih suka sepi daripada kesal," balas Jiyong, tengah memberi mantan istrinya itu kesempatan. Atau hanya ucapan terima kasih karena Lisa sudah membantu kasusnya? Bisa juga kata-kata itu hanya keluar karena Jiyong merasa bersalah setelah membuat Lisa dilecehkan seorang pria tua? Apapun itu, Lisa menyukainya.
"Kalau aku memperbaiki sikapku, oppa mungkin akan menyukaiku lagi, tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa."
***
40 lebih dikitt lagi...

KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanficAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...