29

298 60 6
                                    

***

Tujuh hari Jiyong dirawat di rumah sakit. Pria itu sudah merasa sembuh sejak di hari ketiga, namun dokter menyuruhnya untuk tetap tinggal, sebab mantan istri pria itu memintanya begitu. Mantan suamiku tidak akan sembuh jika anda membiarkannya keluar dari sini—begitu kata Lisa, membujuk sang dokter untuk menahan mantan suaminya di sana. Soohyuk juga Mino yang bisa pulang lebih dulu, kemudian Yoon menyusul mereka, lalu Jiyong dan Toil yang terakhir. Keadaan pria itu tiba-tiba kritis di hari ketiganya di rawat, tiba-tiba pingsan dan dokter mengatakan kalau ada pendarahan lain di bagian dalam tubuhnya, yang sebelumnya tidak terdeteksi. Meski kedengaran jahat, tapi Lisa bersyukur, karena bukan Jiyong yang tiba-tiba kritis.

Saat pulang, tangan kaki Jiyong masih dipasangi gips, pria itu masih butuh tongkat kruk untuk membantunya berjalan. Sementara Jiyong sakit, keadaan masih sama seperti sebelumnya. Soohyuk juga dua rekannya mencari orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan mereka. Lisa mengerjakan pekerjaannya sendiri di sana—mencari tahu apakah Lee Soohyuk terlibat dalam kecelakaan itu atau tidak. Pria itu baik-baik saja, terlalu baik-baik saja, sedang Jiyong dan Toil terluka sangat parah.

Jiyong tetap di rumah hari ini, sepulang ia dari rumah sakit. Ia baru tiba di rumah pada pukul empat sore tadi, lalu Alice merengek tidak ingin ditinggal sendirian di rumah, sebab ibunya tidak ada di sana. Lisa pergi ke kantor polisi hari ini, membantu penyelidikan yang Jiyong dan timnya lakukan, sembari diam-diam mengawasi Lee Soohyuk.

Baru di pukul delapan, Lisa pulang ke rumah. Jiyong ada di ruang tengah saat gadis itu datang dengan kotak makanan di tangannya. Tengah ia temani Alice menggambar, sembari mengigit sepotong pizza sisa putrinya. "Kau sudah pulang?" sapa Jiyong, tetap duduk sebab ia terlalu malas untuk bertumpu pada kakinya yang terluka.

"Eomma!" seru Alice, menggantikan Jiyong untuk bangun dan berlari memeluk ibunya.

Lisa bergumam untuk mengiyakan pertanyaan Jiyong, lantas ia peluk putrinya di depan pintu. Gadis itu melepaskan sepatunya, baru kemudian ia melangkah ke dapur, akan mengajak Alice juga ayahnya untuk makan malam. Malam ini ia membawa sushi, untuk makan malam mereka bertiga. Namun sayang, Jiyong juga Alice sudah makan lebih dulu. Jiyong memesan pizza tadi, tanpa berprasangka kalau Lisa akan pulang dan membawakan mereka makan malam.

"Aku sudah kenyang," tolak Alice, ketika Lisa mengajaknya makan. "Tadi aku sudah makan pizza dan kentang goreng, nugget juga," lapornya, yang melenggang santai, kembali ke meja ruang tengah, kembali menggambar di depan ayahnya.

"Aku tidak tahu kalau kau akan membeli makan malam," geleng Jiyong, sembari mengangkat bahunya, menoleh pada gadis yang sekarang kelihatan kesal.

Lisa merasa sangat lelah hari ini. Ada banyak hal yang harus ia urus di kantor. Matanya lelah mencari petunjuk di rekaman cctv, ia pun stres karena perlu mencocokkan banyak alibi. Tiba-tiba terlibat dalam kasus yang sudah bertahun-tahun dikerjakan, membuatnya benar-benar kesulitan. Normalnya ia tidak akan kesal hanya karena masalah sepele seperti makan malam. Ia tidak akan kesal karena sudah terlanjur membeli makan malam untuk orang-orang yang ternyata sudah makan. Namun hari ini gadis itu marah.

Perut Lisa lapar, namun karena Jiyong tidak terlihat peduli, juga karena Alice memilih untuk menggambar daripada menemaninya makan, Lisa tinggalkan sushi yang ia beli di atas meja. Gadis itu menarik dalam-dalam nafasnya, lantas mengambil tas jinjingnya dan masuk ke kamar. Tidak lupa ia banting pintu kamar Alice, untuk menunjukkan keberadaannya, juga untuk meneriakan rasa kesalnya.

Alice terkejut, langsung menoleh ke arah pintu kamarnya, begitu juga dengan ayahnya. "Kenapa ibumu?" tanya Jiyong, beberapa detik, setelah ia bisa lepas dari rasa kagetnya.

"Marah," yakin Alice, mengatakan kalau ibunya selalu membanting pintu saat marah.

Meski begitu, Alice tidak beranjak dari tempatnya. Tetap ia dudukan tubuhnya di depan meja ruang tengah, lalu kembali menggambar. "Kau diam saja saat ibumu marah?" Jiyong bertanya dan gadis kecil di depannya, yang duduk memunggunginya itu mengangguk. "Kenapa kau diam saja?" sekali lagi ayahnya bertanya, lalu Alice bilang kalau ibunya mungkin sedang marah pada seseorang di tempat kerja. Menurut Alice, Lisa selalu begitu setiap kali rekan kerjanya bersikap menyebalkan.

"Kalau marah padaku, eomma akan mengomeliku," susul Alice. "Kalau aku mendekatinya, nanti aku yang akan dimarahi," katanya kemudian, menggeleng enggan untuk disuruh menemui dan bicara pada ibunya.

Bahkan, saat Lisa tiba-tiba keluar dari kamar, dengan gerakan membuka pintu yang sangat kasar, Alice langsung berlaga tidak melihatnya. Alice segera mengambil lagi krayonnya, kembali menggambar sementara ibunya pergi ke kamar mandi. Sekali lagi pintu dibanting, dan kali ini pintu kamar mandi.

Hampir tiga puluh menit Lisa berada di kamar mandi. Saat keluar, rambutnya sudah digelung dengan handuk, ia juga sudah memakai baju tidurnya sekarang. Bersamaan dengan keluarnya Lisa dari sana, Alice menggerakan tangannya, mengambil sepotong nugget yang masih ada di kotak kertasnya, di sebelah buku gambarnya.

"Berhenti makan!" seru Lisa, menegur putrinya dengan suara tegasnya. "Sudah berapa nugget yang kau makan hari ini?! Sikat gigimu! Kau akan sakit kalau terus makan nugget!" omel Lisa, sedang yang dimarahi langsung menoleh pada ayahnya, menatap ayahnya dengan wajah memelas favoritnya.

"Ya! Dia masih kecil, biarkan dia makan," balas Jiyong, tidak benar-benar berteriak. Ia tepuk punggung putrinya, mengusap-usap sebentar punggungnya, lalu menyuruhnya untuk melanjutkan makan malamnya. "Jangan menyuruh anak kecil untuk diet, biar dia makan sebanyak apapun yang dia mau," tegur Jiyong, yang justru membuat Lisa semakin kesal.

Lisa tidak pernah menyuruh putrinya untuk diet. Selama ini gadis itu hanya berusaha untuk membuat putrinya makan lebih banyak sayur daripada sederet daging olahan di supermarket. Alice mudah sembelit, dan gadis kecil itu selalu rewel setiap kali sembelitnya kambuh.

"Kau tidak mendengarkan eomma sekarang?" alih-alih menanggapi ucapan Jiyong, sang ibu justru menatap Alice. Menunjukan pada Alice kalau ia bisa sangat marah jika gadis kecil itu membantah.

Diperlakukan begitu, tentu Alice merajuk. Ia berbalik untuk menatap ayahnya, lantas naik ke sofa, berlindung di sebelah ayahnya masih sembari memegangi nuggetnya. Melihat putrinya begitu, Lisa jadi semakin kesal. Rasa iri membuatnya semakin marah. Alice punya seseorang untuk berlindung, sedang ia sendirian di sana.

"Terserah, eomma pergi saja," kesal Lisa, yang justru bersikap kekanakan. Ia melangkah masuk ke kamar Alice, akan mengambil kunci mobilnya di sana.

"Eomma!" Alice yang takut ditinggalkan, mengejar ibunya. Akan menahan wanita itu untuk tidak pergi dari rumah tanpa tahu alasan Lisa sebenarnya marah. Ibunya akan pergi dari rumah hanya karena sepotong nugget yang ia makan—Alice merasa sangat buruk karenanya. Sedang Jiyong keheranan dengan sikap berlebihan itu.

"Ya! Ada apa denganmu?!" Jiyong akhirnya bangkit, tidak percaya ia harus melihat masalah sepele seperti ini di rumahnya sendiri. "Kenapa kau bertingkah hanya karena sepotong nugget?!" sebal pria itu, sembari ia melangkah menghampiri putrinya. Akan menahan Alice kalau-kalau gadis kecil itu pergi bersama ibunya yang kesal—tanpa alasan, kalau menurut Jiyong.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang