***
"Sedari awal," kata Lisa, menjawab Jiyong yang bertanya sejak kapan ia menderita gangguan panik.
"Baby blues?"
"Awalnya begitu," di meja makan, gadis itu tertunduk karena satu rahasianya, selama bertahun-tahun akhirnya terbongkar. Dan Jiyong melihat sendiri bagaimana rahasia itu hancur berkeping-keping.
"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?"
"Eomma bilang, kau akan merebutnya dariku kalau aku memberitahumu," gadis itu masih bicara dengan suaranya yang pelan. Seolah dirinya tengah dihakimi oleh mantan suaminya sendiri. "Aku bahkan tidak tahu kalau aku hamil. Dokter bilang, karena ibunya tidak menginginkannya, karena aku tidak menginginkannya, dia bersembunyi selama berbulan-bulan. Aku takut sekali waktu itu. Aku tidak bisa jadi ibu. Aku sama sekali tidak punya insting untuk jadi seorang ibu. Tapi eomma bilang, dia akan menjaga anakku. Dia akan menggantikanku menjaganya, karena itu aku tidak bisa memberitahumu," ceritanya.
Sebentar Jiyong terdiam. Menatap pada obat yang ada di meja, di depannya. "Sejak kapan kau menemui dokter?" tanya Jiyong kemudian, tahu kalau obat depresi yang Lisa punya, gadis itu dapatkan dengan resep dari dokter.
"Tiga tahun," jujur Lisa, yang justru Jiyong tanggapi dengan helaan nafas yang keras dan kasar. Pria itu kesal, dan jadi lebih kesal lagi karena tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang.
"Kau tahu kalau kau sakit tapi mengabaikannya? Tapi menutup-nutupinya hanya agar aku tidak mengambil Alice darimu?" tanya Jiyong, namun gadis yang ia tanya hanya duduk dengan kepala tetap tertunduk. "Kau pernah memukulnya?" tanya Jiyong kemudian. Jelas mengkhawatirkan putrinya.
Ia saja hampir tidak bisa menenangkan Lisa tadi, bagaimana kalau Alice sampai melihatnya? Bagaimana kalau ternyata Alice mengetahui masalah ibunya atau menjadi korban karena masalah itu? Wajar saja kalau Jiyong merasa sangat khawatir sekarang.
Jiyong jadi merasa semakin khawatir sekarang, karena tiba-tiba Lisa berlutut di depannya. Wanita itu meninggalkan kursinya, duduk berlutut di lantai, lalu menggosok-gosokan tangannya. "Aku minta maaf, aku sungguh-sungguh minta maaf," kata Lisa, membuat lawan bicaranya berfikir kalau wanita ini pernah memukul putrinya, pernah membuat putrinya ketakutan karena rasa sakitnya.
Tentu Jiyong menyuruh Lisa berhenti. Menyuruh gadis itu menenangkan lagi dirinya. Ia tarik lengan gadis itu, membawanya kembali untuk duduk di kursi. "Jangan ambil Alice dariku, aku mohon, aku benar-benar minta maaf, aku tidak akan melukainya, aku akan berusaha untuk tidak melukainya," mohon Lisa, seolah Jiyong baru saja mengatakan kalau ia akan membawa Alice bersamanya.
Mereka tidak pernah menentukan hak asuh anak sebelumnya. Alice lahir setelah mereka bercerai. Lisa tahu kalau dirinya hamil ditengah-tengah proses perceraian dan karena ukuran perutnya tidak banyak berubah, Jiyong tidak menyadarinya. Lisa pun tidak memberitahunya. Baru setelah perceraian selesai, dan Alice akan lahir, Jiyong diberitahu. Sedari awal, dan terjadi begitu saja, Alice dirawat ibu dan neneknya. Awalnya Jiyong bisa menemui Alice kapan pun, namun karena terus bertengkar, Lisa melarangnya datang. Jiyong hanya boleh menemui Alice diakhir pekan, atau tidak sama sekali.
Berkali-kali Jiyong menghela nafasnya, sedang gadis di depannya terus memohon. Terlihat sangat sakit, terlihat sangat berbeda dari biasanya. Ini pemandangan yang luar biasa asing bagi Jiyong. Mereka hanya bertengkar sebelumnya, selama delapan tahun usia putrinya, mereka hanya bertengkar. Saking terbiasanya ia dengan pertengkaran-pertengkaran itu, melihat Lisa menangis membuat dadanya terasa nyeri.
Aku harusnya tidak melihat ini—anggap Jiyong. Sedikit menyesal karena harus melihat sisi menyedihkan mantan istrinya. Khawatir hatinya akan jadi lemah setelah melihat sisi yang ini. Padahal seharusnya Jiyong marah, sebab Lisa sudah masuk ke dalam ruang kerjanya.
Baru setelah Lisa akhirnya tenang, sudah benar-benar tenang, Jiyong mengulurkan tangannya untuk meraih jemari wanita itu. Ia obati ujung jari Lisa yang terluka, memasang plester di sana sembari sesekali menghela nafasnya.
"Usahakan untuk tidak begini di depan Alice," suruh Jiyong, sembari merekatkan plester cokelat di ujung jari mantan istrinya. "Dia pasti akan ketakutan kalau melihatmu begini," susulnya.
"Ya," pelan wanita itu. Ia menganggukan kepalanya, membiarkan ujung jarinya di obati kemudian menarik lagi tangannya setelah Jiyong selesai.
Sesekali Lisa masih mengusap matanya. Menekan tisu ke ujung-ujung matanya untuk menyingkirkan air matanya. Sesekali gadis itu juga menarik panjang nafasnya, seolah sedang berusaha mengendalikan lagi dirinya. Kini obatnya mulai bekerja, dan pelan-pelan ia rasakan tubuhnya melemah. Detak jantungnya melambat dan benang-benang kusut di kepalanya mulai menghilang. Lisa merasa ia dirinya sudah mendapatkan kembali kesadarannya, seratus persen.
"Ternyata ada banyak hal yang tidak aku ketahui tentang Alice," Lisa bersuara, sedang pria di depannya sibuk dengan handphonenya sendiri. Jiyong sedang mengirim pesan pada putrinya, bertanya dimana gadis kecil itu berada sekarang.
"Aku pikir aku tahu, aku kira aku yang paling mengenalnya. Aku kira dia mengatakan segalanya padaku, dia tidak menyembunyikan apapu dariku. Tapi baru beberapa jam di sini, aku merasa tidak lagi mengenalnya. Dia berubah, sangat berbeda," katanya. "Sepertinya aku bukan ibu yang dia inginkan. Aku memasukannya ke sekolah bagus, aku menyuruhnya untuk pergi les, pergi bimbel. Aku rasa semua itu perlu. Aku pikir, aku bisa jadi ibu yang baik kalau aku melakukannya. Aku pikir memang harus begitu, dia harus punya banyak keahlian, nilainya harus bagus, dia harus sekolah di tempat yang bagus, dengan begitu dia tidak akan kesulitan nanti. Aku pikir begitu. Tapi... Dia terlihat lebih senang saat bersamamu di sini. Aku jadi merasa sangat buruk. Kau jadi ayah yang baik baginya, sedang aku ibu yang kejam untuknya," akunya.
"Kau pernah jadi ibu sebelumnya?"
"Ya?" tanya Lisa, meminta Jiyong untuk mengulang pertanyaannya, sebab pertanyaan itu tidak pernah ia duga sebelumnya. "Tentu saja tidak, aku-" Lisa menjawab pertanyaan itu setelah Jiyong mengulangi kata-katanya, namun pria itu lebih dulu menyela jawabannya.
"Aku pun tidak pernah. Alice yang pertama. Karena itu, aku tidak tahu apa yang aku lakukan sudah benar atau belum. Kau juga begitu. Ini pertama kalinya kita jadi orangtua, jadi salah pun tidak apa-apa," tenang Jiyong. "Kita bisa minta maaf dan memperbaikinya, jika ada sesuatu yang ternyata salah," susulnya.
"Mana bisa begitu? Hidupnya bisa hancur kalau kita salah merawatnya," balas Lisa. "Augh! Kepalaku! Kenapa dia harus jadi anakku? Kasihan Alice, ibunya bodoh sekali," rengek Lisa kemudian, sengaja meletakan kepalanya di atas meja dan ia acak-acak rambutnya di sana, mencoba untuk melepaskan stressnya. "Tapi kenapa kau tidak pulang semalam? Kalau aku tidak di sini, kau akan meninggalkan Alice sendirian di sini? Bagaimana kalau ada pencuri? Atau ada orang jahat yang ke sini dan Alice sendirian di sini?" tanyanya kemudian, masih dengan rambutnya yang acak-acakan, ia menoleh untuk menatap lawan bicaranya.
"Kau ada di sini," balas Jiyong.
Pria itu sekarang berdiri, membawa sampah dari plester ke tempat sampah lalu meninggalkan Lisa sendirian di sana. Jiyong pergi ke kamarnya sekarang. Sengaja menutup pintunya lalu menjatuhkan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Perasaan khawatir yang Lisa rasakan, kini menular padanya. Bukan hanya Alice, ia pun mengkhawatirkan mantan istrinya sekarang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...