***
Dering handphone yang membangunkan Jiyong dini hari ini. Jam masih menunjuk pukul lima, ketika sebuah panggilan masuk ke handphonenya. Buru-buru ia jawab panggilan itu, sebelum gadis kecil di sebelahnya bangun dan marah, karena tidurnya terganggu. Ia hanya berdua dengan Alice sekarang, sebab Lisa melarikan diri setelah menciumnya beberapa jam lalu.
Dengan canggung gadis itu keluar dari kamar utama, tanpa mengatakan apapun dan tidak kembali lagi. Sembari menjawab teleponnya, Jiyong melangkah keluar sekarang. Lisa tidak ada di ruang tengah, ada kemungkinan gadis itu tidur di kamar Alice, atau berada di ruang kerjanya, kemungkinan terburuknya, Lisa melarikan diri dengan mobilnya. Pergi entah kemana.
"Ya?" gumam Jiyong, yang sekarang bicara pada seseorang yang meneleponnya. Sembari berjalan ke lemari es, ia dengarkan suara lawan bicaranya, Lee Soohyuk.
Lewat teleponnya, Soohyuk memberitahu Jiyong, kalau ia menemukan sebuah petunjuk. Lee Jungjae berada di Allamanda Hotel saat mantan kekasih Lee Yeji ditemukan tewas. Lee Jungjae berada di sekitar TKP dan ia adalah orang terakhir yang menemui korban jiwa itu.
"Seseorang meneleponnya, tepat sebelum kau tiba di hotel. Dia pergi bersamaan dengan kedatanganmu di hotel itu," ucap Soohyuk, memberitahu Jiyong apa yang ia temukan dari rekaman cctv-nya. "Lee Yeji juga ada di sana, pergi bersama Lee Jungjae," susul Soohyuk kemudian.
"Kalau begitu, minta mereka untuk datang sebagai saksi," ucap Jiyong, tentu setelah ia berfikir. "Bagaimana pun caranya, kita harus bertemu dengan Lee Yeji," susulnya kemudian.
Masalahnya, besok masih hari Minggu. Mereka tidak bisa mengeluarkan surat penangkapan, atau permintaan jadi saksi di hari Minggu. Orang yang bertanggung jawab atas surat-surat itu berlibur di akhir pekan. Urusan administrasi, hampir selalu menghalangi pekerjaan mereka—anggap Jiyong. Di tambah keberadaan Tim Penyidik Internal yang selalu mempermasalahkan ketidak sesuaian kecil.
"Akan aku dapatkan suratnya, bersiap lah untuk membawanya ke kantor polisi," tegas Jiyong. Selesai dengan minum juga teleponnya, pria itu kembali ke kamarnya. Ia ganti pakaiannya. Mengambil jaket juga kunci mobilnya, lantas beranjak meninggalkan rumah.
Tiba di pintu, saat akan memakai sepatunya, Jiyong berhenti. "Haruskah aku membangunkannya?" ragu Jiyong, sembari melihat ke arah sepatu Lisa yang masih di sana. Lisa ada di rumah, mungkin di kamar Alice. "Apa aku perlu berpamitan?" bingungnya untuk beberapa detik..
Meski sempat ragu, meski sempat bingung, tetap Jiyong putuskan untuk pergi. Tetap ia langkahkan kakinya keluar, tanpa membangunkan siapapun, tanpa berpamitan, tidak juga meninggalkan pesan. Berpikir kalau Lisa tidak akan penasaran, kemana ia pergi dipagi buta begini.
Sayangnya, Jiyong menyesali pilihannya. Seolah baru saja masuk ke dalam sebuah jebakan kelinci, pria itu terjebak sekarang. Ia dan timnya berhasil mendapatkan surat penangkapan itu, Lee Jungjae pun bersedia untuk pergi. Tidak ia miliki alasan untuk membuat Jiyong dan rekan-rekannya jadi semakin mencurigainya.
"Lama tidak bertemu, Kwon Jiyong," kata Lee Jungjae, menyapa pria yang menjemputnya sekarang. Lee Jungjae dijemput di rumah dan akan dibawa ke Allamanda untuk diintrogasi. Akan Jiyong buat pria itu menjawab semua pertanyaannya tentang candyman.
"Ya, lama sekali," balas Jiyong yang sekarang duduk di kursi depan, di sebelah Ahn Toil yang mengemudi. "Sejak kau diangkat jadi Kepala Kepolisian Metro dan mengirimku ke Allamanda, sudah lama sekali," susul Jiyong.
"Bagaimana Allamanda? Aku dengar Lisa juga bekerja di Allamanda sekarang, kalian sudah bertemu?" berlaga seolah mereka akrab, Lee Jungjae bertanya.
"Hanya itu yang kau dengar?" Jiyong balas bertanya, lantas ia katakan alasan Lisa datang. "Dia datang untuk menyelidikiku, atas perintah seseorang, bukan begitu? Kau tidak tahu soal itu? Mana mungkin, selain Kepala Kepolisian, siapa yang bisa memerintahnya?" katanya.
Ahn Toil melirik pada Jiyong, heran dengan apa yang baru saja ia dengar. Soohyuk yang duduk di sebelah Lee Jungjae pun sama, terkejut namun tidak bisa berkata-kata. Keduanya memilih untuk diam, sampai di perbatasan kota antara Bellis dan Allamanda, kecelakaan kembali terjadi.
Tentu ini bukan kebetulan. Meski tidak diprediksi sebelumnya. Sebuah bus, yang belum berpenumpang, menabrak mobil mereka di persimpangan. Dari belakang mobil itu di hantam, begitu keras hingga mobilnya sempat terguling. Harusnya ia berpamitan tadi—pikir Jiyong ketika ia rasakan mobil yang ia naiki berputar di aspal, lalu menabrak sebuah halte di depan mereka.
Mobil mereka hancur, kaca-kaca mobilnya pecah dan untuk beberapa saat mereka tidak sadarkan diri. Setidaknya aku sempat berciuman sebelum mati—pikiran itu tiba-tiba saja muncul di kepala Jiyong, sebelum rasa sakit menyerangnya, menyadarkannya.
Jiyong mengerang kesakitan, baru setelah ia terbiasa dengan rasa sakit itu, ia bisa melihat sekelilingnya. Jalanan sangat sepi saat itu, dan di sebelahnya ia lihat Toil tidak sadarkan diri. Berusaha ia raba sekitarnya, mencari dimana handphonenya. Tidak ada satupun benda berguna yang ia temukan, lantas dengan sakit yang luar biasa di kepalanya, Jiyong membuka pintu mobilnya. Pria itu terjatuh ke aspal setelah melepaskan seat beltnya.
Mobil mereka berhenti dengan posisi berdiri, menabrak pada halte yang kosong. Bagian depan mobilnya remuk, beberapa bagiannya pun rusak. Lalu, sembari merangkak menahan nyeri, Jiyong buka pintu belakang mobilnya, Soohyuk keluar dari sana, juga dengan erangan kesakitannya. Sekarang pria itu perlu mengeluarkan Toil, juga Lee Jungjae.
Namun dengan matanya yang berkunang-kunang, ia lihat seorang pria mendekat. Supir bus tadi mendekat setelah turun dari busnya. Seolah akan menghampiri Jiyong, pria itu berjalan mendekat. Sampai di depan Jiyong, ia tendang kepalanya. Mengakhiri penglihatan Jiyong hanya dengan satu pukulan. Dan tidak Jiyong tahu lagi apa yang terjadi setelahnya.
Jiyong tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit, tidak juga ia tahu apa yang supir bus itu lakukan setelah menendangnya. Satu yang Jiyong tahu—rasa sakitnya menghilang. Lalu wajah mantan istrinya muncul di depannya. Menatap kesal padanya—kau tidak tinggal sendirian! Kenapa tidak bilang kalau akan pergi?!—dalam mimpinya, Jiyong dengar Lisa berkata begitu. Mengomelinya karena pergi begitu saja pagi tadi.
Pria itu pun melihat putrinya. Dalam mimpinya, Alice menatap kesal padanya. "Appa tidak menyayangiku! Aku benci! Aku benci appa! Appa meninggalkanku!" begitu yang Alice katakan padanya. Tanpa tangisan, hanya dengan tatapan sinis seperti milik ibunya. Dalam mimpinya, Alice terlihat persis seperti ibunya. Gadis itu benar-benar darah daging mantan istrinya, mereka luar biasa mirip.
"Apa aku mati sekarang?" Jiyong bertanya-tanya, namun apa yang bisa ia lihat hanyalah kegelapan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...