***
Panggilan berakhir dan Jiyong menghela nafasnya. Di sofa, pria itu berbaring, memakai lengannya yang sehat untuk menutup wajahnya, menutup matanya. Ia tidak pernah bermaksud membuat Lisa jadi satu-satunya orang jahat di rumah itu. Lisa sudah berusaha untuk jadi ibu yang baik bagi putri mereka, Jiyong mengetahuinya. Ia percaya kalau mantan istrinya itu sudah berusaha.
Tidak pernah ia duga kalau mereka akan bertengkar hanya karena sepotong nugget yang Alice makan. Jiyong pikir, membawa Lisa dan Alice ke rumahnya, akan jadi hal baik untuk mereka. Memberi Alice orangtua yang lengkap, tinggal bersama seperti keluarga normal lainnya, Jiyong pikir pengorbanan itu bisa membuat mereka lebih nyaman.
Sembari berbaring, ingatan Jiyong kembali pada beberapa tahun lalu, setelah Lisa menceraikannya. "Karenamu aku akan gagal dipromosikan," suara Lisa beberapa tahun lalu kembali terdengar di telinganya. "Karena aku harus mengandung dan melahirkan putrimu, aku akan gagal naik pangkat. Bertanggung jawablah, berikan kasusmu padaku," pinta Lisa saat itu.
Ketika itu, kasus yang Jiyong kerjakan sudah delapan puluh persen selesai. Semua bukti sudah terkumpul, mereka hanya perlu menangkap pelakunya. Jiyong merasa ia tidak lagi mencintai Lisa saat itu, cintanya pergi, bersama dengan permohonan cerai yang Lisa ajukan. Namun rasa bersalah, karena Lisa melahirkan putrinya seorang diri, tanpanya, Jiyong memberikan kasusnya.
Anggota timnya marah ketika itu. Jiyong dibenci karena memberikan hasil kerja keras mereka pada mantan istrinya. Kita hanya perlu menangkap pelakunya, kenapa kau mentransfer kasusnya ke tim lain?—orang-orang keheranan. Lantas menyalahkan Jiyong atas ketidak profesionalan itu. Atas keputusannya untuk mengabulkan permintaan Lisa.
Tapi dendam Lisa sepertinya lebih besar dari yang bisa Jiyong bayangkan. Tidak hanya merebut kasus yang sedang Jiyong kerjakan, Lisa juga melaporkan mantan suaminya. Ia bergabung dalam tim penyidik internal setelah merebut kasus yang mantan suaminya kerjakan, lalu ia kumpulkan semua kesalahan Jiyong dan melaporkannya.
Memukuli pelaku, bersikap kasar di ruang interogasi, mencuri bukti, mengambil bukti secara ilegal, ia kumpulkan semua yang bisa didapatkannya. Lantas melaporkan Jiyong pada atasannya. Ia singkirkan Jiyong dari hadapannya, membuat pria itu dikirim ke Allamanda. Ia melakukan apapun untuk bisa mengusirku dari hadapannya—begitu yang Jiyong pikirkan tentang mantan istrinya. Saat itu, ia benci mantan istrinya. Bahkan sampai hari ini, Jiyong masih merasakan kekecewaan itu.
Namun Alice kemudian lahir. Bagai harapan yang mampu membawa kedamaian, Jiyong luar biasa bahagia saat mengetahuinya. Meski tidak benar-benar berhenti membenci Lisa, Jiyong merasa ia bisa memaafkannya, karena Alice, demi Alice. Tidak ada hal lain yang ia inginkan, selain melihat putrinya tumbuh. Selain memeluk putrinya. Tapi Lisa tidak semudah itu memberikan kebahagiaan pada Jiyong.
Seakan masih belum puas mengusir Jiyong ke Allamanda, Lisa larang Jiyong menemui Alice. Kirim saja uang untuk merawatnya, untuk apa menemuinya? Kau pun tidak bisa merawatnya. Aku dan ibuku yang akan merawatnya—begitu yang selalu Lisa katakan. Baru setelah Alice bisa bertanya dimana ayahnya, Lisa mengizinkan mereka bertemu. Hanya di akhir pekan—Sabtu dan Minggu, dua kali setiap pekan.
Jiyong sudah menyerah memahami perasaan mantan istrinya itu. Persetan dengan apa yang gadis itu lakukan, Jiyong hanya menginginkan putrinya. Tahu kalau ia tidak lagi bisa bersama Lisa, Jiyong hanya ingin Alice berada di sisinya. Namun keinginannya, justru terlihat sangat salah. Sama seperti Lisa yang merasa kesepian di rumah itu, Jiyong pun begitu. Selain Alice, siapa yang bisa ia harapkan untuk tetap tinggal di sisa hidupnya?
Mengingat kembali semua perasaannya, membuat Jiyong jadi merasa sangat marah. Maka sekali lagi ia telepon Lisa. Ia bangun untuk bicara pada gadis itu, tapi kali ini gadis itu tidak menjawab teleponnya. Lisa tolak panggilannya. "Augh! Berengsek!" pria itu marah karena panggilannya di tolak, lalu ia tidak bisa lagi menelepon Lisa. Gadis itu memblokir lagi nomor teleponnya.
Jiyong melempar handphonenya karena kesal, lalu kembali berbaring di sofa. Kembali menutup wajahnya dengan lengannya yang sehat. Berusaha keras untuk menahan emosinya, melupakan amarahnya. Lisa melakukan semua itu karena dia masih sangat muda dulu, sekarang dia hanya sedang tertekan, aku tidak boleh membenci ibu dari putriku—berulang kali Jiyong berusaha mendoktrin dirinya sendiri. Berusaha untuk menahan dirinya, lagi-lagi demi Alice putrinya.
Sampai pagi, Jiyong tetap di sana. Menahan ledakan emosi dalam dirinya, menahan dendam yang tidak ia tahu bagaimana harus membalasnya. Berkali-kali ia hela nafasnya, berusaha menangkan dirinya sebelum Alice bangun. Ia tidak ingin terlihat buruk di depan putrinya. Tidak ingin Alice membencinya seperti bagaimana Lisa melakukan itu.
Namun alih-alih Alice yang bangun, justru Lisa yang lebih dulu datang. Gadis itu pulang di pukul lima pagi. Berfikir kalau Jiyong sudah tidur saat ia kembali. Sementara Jiyong hanya menoleh saat melihat Lisa datang, gadis itu justru terlonjak, terkejut melihat Jiyong masih terjaga di ruang tengah.
Lisa berencana untuk mengambil pakaian gantinya, berganti pakaian lalu pergi ke kantor polisi. Kembali bekerja. Ia pikir, kalau ia datang sekarang, Jiyong tidak akan menyadarinya. Jiyong pasti sudah tidur dan tidak akan bangun karena mendengar kedatangannya. Ia bahkan berusaha untuk tetap tenang, mengendap-endap saat masuk. Hanya untuk menghindari mantan suaminya.
Tertangkap basah begitu, tentu Lisa tidak bisa mundur lagi. Maka, ia tebalkan wajahnya. Tetap ia langkahkan kakinya menuju ke kamar Alice. Baru tangannya yang menyentuh kenop pintu kamar itu, tapi Jiyong sudah lebih dulu bicara, "sebanyak apapun aku memikirkan, aku tetap tidak bisa memahaminya," kata Jiyong, menghentikan langkah Lisa. Bahkan ia tarik lagi tangannya, batal membuka pintu.
"Kau yang memutuskan segalanya," ucap Jiyong, akan mengajukan pertanyaannya. "Kau yang ingin kita bercerai, kau yang membuatku dikirim ke sini setelah membuat anggota timku membenciku. Bahkan saat kau memutuskan untuk melahirkan Alice dan ingin merawatnya sendirian, kau tidak bertanya bagaimana pendapatku. Kau yang memutuskan semuanya sendiri. Siapa yang menyuruhku hanya menemui Alice di akhir pekan? Kau juga yang melakukannya. Kau memblokir nomor teleponku, memblokir nomor teleponku di handphone putriku, sampai aku perlu nomor telepon lain agar bisa menghubunginya. Tapi saat keadaan memburuk, kau menyalahkanku. Sebenarnya, apa kesalahanku? Aku terlalu memanjakan Alice hanya karena mengizinkannya makan sepotong nugget? Siapa yang membuatku jadi begitu? Kalau aku bisa menemuinya setiap hari, tentu aku tidak akan terlalu memanjakannya. Kalau aku bisa bertemu dengannya setiap hari, tentu aku akan tahu apa saja yang bisa dia makan dan tidak boleh dia makan, bukan begitu?" tanya Jiyong, tanpa meninggikan suaranya, sebab ia tahu Alice akan bangun jika ia berteriak. Meski dalam dirinya, ia sangat ingin memaki Lisa sekarang. Tidak, ia ingin memaki Lisa sedari gadis itu mematikan panggilannya secara sepihak tadi.
Ia menoleh, menatap mantan istrinya dari samping. Sembari menghadap pintu, seperti seorang yang sedang dihukum, Lisa terdiam. Tidak ia katakan apapun, tangannya terkepal menahan diri. Tanpa bisa Jiyong lihat, mata gadis itu bergetar sekarang. Dadanya terasa nyeri, terasa sesak sama seperti yang Jiyong rasakan.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Jiyong sekali lagi. "Kenapa? Kau marah karena ucapanku? Kau boleh mengungkapkan perasaanmu sementara aku tidak? Kenapa? Karena aku yang membuatmu hamil? Tentu saja. Aku salah karena membuatmu hamil, membuatmu harus cuti selama satu tahun untuk melahirkan anakku. Tapi Alice sudah delapan tahun sekarang, hampir sembilan tahun, aku masih harus dihukum karena menghamilimu?" kata Jiyong, yang selama bertahun-tahun, tidak pernah menyerang Lisa dengan semua pertanyaan itu. Yang selama bertahun-tahun, membiarkan Lisa melakukan apapun yang ia mau.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...