***
Sembari menonton beberapa rekaman cctv lewat handphonenya, Jiyong menemani Alice bermain. Ia sempat ke toilet tadi, dan saat keluar Lisa sudah tidak ada di ruang tengah. Wanita yang sebelumnya bekerja dengan laptopnya di meja makan, sudah pergi saat ia berada di kamar mandi. Alice bilang kalau ibunya pergi tidur, jadi Jiyong biarkan Lisa terlelap sementara ia menemani putrinya di ruang tengah.
Sembari mengigit camilannya, Alice menonton acara tv yang sudah sepekan ia lewatkan, juga ia gerakan tangannya untuk menggambar. Membuat potret keluarganya dengan krayon, karena mereka belum punya foto keluarga.
Ayahnya berbaring di sofa, sesekali mengusap rambutnya, bermain dengan helai-helai halus itu. "Appa tidak mengelap choco pie-nya ke kepalaku kan? Appa sudah cuci tangan kan?" tanya Alice, setiap kali Jiyong menyentuh rambutnya.
Pria itu menggumam untuk mengiyakannya. Meski sebenarnya ia hanya mengelap tangannya ke pinggiran sofa, bagian yang biasanya akan Alice pakai untuk bersandar. "Kapan kau akan pergi tidur? Besok appa harus pergi bekerja," tanya Jiyong, sebab putrinya yang sempat tidur sore tadi, sampai sekarang belum kelihatan lelah.
"Appa tidur duluan saja," suruh Alice. "Aku ingin menonton ini sampai selesai," katanya.
"Ibumu akan marah nanti," balas Jiyong.
"Tapi besok aku tidak pergi ke sekolah," gadis itu bersikeras kalau ia ingin tetap menonton.
"Besok kau harus pergi ke sekolah," kata Jiyong menanggapinya.
"Huh? Bukankah masih libur?"
"Tidak, besok kau harus sekolah," ucapnya, masih terus mengusap-usap rambut Alice. Gadis kecil itu biasanya akan mulai mengantuk saat kepalanya terus di usap. "Lalu sepulang sekolah, ibumu akan mencarikanmu tempat bimbel di sekitar sini. Bimbel apa yang kau inginkan? Menggambar?" tanya Jiyong, dengan mata yang tetap fokus pada layar handphonenya.
"Apa aku tidak boleh tidak pergi bimbel? Aku ingin di rumah saja," sekarang Alice merangkak naik, memaksakan dirinya untuk tidur di atas tubuh ayahnya, berbagi tempat di sofa panjang itu.
"Eomma dan appa bekerja, dengan siapa kau akan tinggal di rumah?" mendengar ucapan putrinya, maka Jiyong bertanya. Tidak lagi ia usap rambut Alice, sebab sekarang ia harus memeluk tubuh kecil itu, memastikannya tidak terguling jatuh.
"Kenapa eomma dan appa harus bekerja? Apa kita sangat miskin? Uang kita tidak cukup kalau hanya satu orang yang bekerja?" Alice balas bertanya, namun Jiyong justru terkekeh saat mendengarnya. Ia memang tidak kaya raya, namun dirinya pun tidak pernah merasa miskin. Bahkan dengan gaji yang sebagian besar ia kirim pada mantan istrinya, ia masih bisa membelikan banyak hal untuk putrinya. "Nenek bilang, eomma sangat suka bekerja. Kalau begitu appa saja yang berhenti bekerja dan menemaniku di rumah," suruh Alice, sekali lagi membuat Jiyong terkekeh mendengarnya.
"Appa juga suka bekerja," kata Jiyong dan kali ini Alice yang berdecak, mengeluh karena ayah ibunya lebih suka bekerja dibanding bermain dengannya. "Kalau appa berhenti bekerja, lalu dengan siapa appa bermain saat kau sekolah? Appa akan kesepian di rumah sendirian."
"Appa tidak punya teman?"
"Tidak, semua teman appa pergi bekerja."
Alice menghela nafasnya. Pelan-pelan bergerak untuk duduk di atas perut ayahnya. "Baiklah," angguknya kemudian. "Appa bekerja saja, eomma juga bekerja saja. Aku pergi ke sekolah lalu bimbel. Tapi aku tidak mau pergi bimbel sampai malam seperti dulu," ia menggeleng. "Ada banyak kartun yang ingin aku tonton, ya? Eomma biasanya pulang jam sembilan malam, aku bisa tinggal di rumah sendirian sampai jam sembilan malam. Kalau lapar, aku akan makan camilan dari appa, atau menelepon Bibi Jisoo, ya? Ya?" bujuk gadis kecil itu, memaksa Jiyong untuk melihat wajahnya, menuruti keinginannya.
"Bagaimana kalau ada penjahat saat kau sendirian di rumah?"
"Tentu saja aku harus menelepon appa," santai gadis itu, seolah penjahat yang mendatanginya akan memberinya waktu untuk menelepon polisi.
"Bagaimana kalau kau kesepian saat tinggal di rumah sendirian?"
"Tidak akan," geleng Alice.
"Bagaimana kalau eomma tidak setuju?"
"Aku akan sedih? Appa tidak suka melihatku sedih kan? Iya kan?" yakin gadis kecil itu, sampai akhirnya mereka membuat kesepakatan. Kalau Alice pergi tidur sekarang, Jiyong akan berusaha membujuk Lisa agar ia tidak perlu bimbel sampai malam.
Gadis kecil itu setuju, lantas ia matikan TV-nya, meninggalkan sisa camilan juga krayonnya di ruang tengah dan masuk ke kamarnya. Tentu ia cium dulu pipi ayahnya sebelum tidur. Sebentar Jiyong menunggu di ruang tengah, menunggu sampai suara gerak dari dalam kamar putrinya berhenti. Baru setelah ia yakin putrinya terlelap, tanpa mengecek ke kamarnya, Jiyong pergi ke kamarnya sendiri. Siapa sangka, Lisa ternyata terlelap di sana, membuat Jiyong harus menghela nafasnya, menahan kesal.
"Ya! Bangun!" seru Jiyong, tidak seberapa keras namun cukup untuk menganggu Lisa. Dengan kakinya, Jiyong juga menekan-nekan punggung Lisa, membangunkannya. Setidaknya membuat gadis itu berbalik dan menepis kakinya.
Pelan-pelan Lisa membuka matanya, membuat Jiyong langsung tahu kalau Lisa hanya pura-pura tidur. Gerak matanya yang canggung saat mengintip, membuat Jiyong langsung tahu kalau ia hanya berakting.
"Aku tahu kau tidak tidur, cepat bangun!" suruh Jiyong, tegas namun suaranya tidak seberapa keras. Ia tidak boleh membangunkan Alice sekarang. "Kenapa kau tidur di sini?! Ini kamarku! Cepat keluar!" suruhnya, mengusir gadis yang justru menarik selimut Jiyong sampai menutupi seluruh tubuhnya, berkata kalau ia tidak mau pergi.
"Hentikan permainanmu, apa yang sebenarnya kau inginkan? Jangan ganggu aku, cepat pergi dari sini," suruh Jiyong, sekali lagi.
"Kemana aku bisa pergi? Tidak mau, aku mau tidur di sini!" balas Lisa, tetap menutup tubuhnya dengan selimut. "Alice akan curiga kalau aku terus tidur dengannya," kata Lisa.
"Kalau begitu tidur saja di sofa! Keluar dari kamarku!"
"Oppa saja yang tidur di sofa. Aku mau tidur di sini," katanya, tetap menolak.
Pria itu berdecak, menatap selimut yang menutup seluruh tubuh mantan istrinya. Menebak-nebak apa yang sedang si egois ini lakukan. Mencoba berfikir sepertinya, untuk menebak apa yang Lisa inginkan. Kau mencoba mengambil lemariku, dindingku, dan sekarang ranjangku? Tidak akan aku biarkan—pikir Jiyong, yang enggan mengikuti rencana mantan istrinya.
Pria itu melangkah, menutup pintu kamarnya, juga mematikan lampunya. "Ya! Nyalakan lampu- kenapa kau masih di sini?" tanya Lisa, sebab Jiyong masih ada di dalam kamar itu, melangkah ke arah ranjang lalu tidur di sebelahnya.
"Kenapa aku tidur di luar? Ini kamarku. Kau yang keluar," suruh Jiyong, berbaring tepat di sebelah Lisa, menarik selimutnya dan memunggungi gadis itu.
"Kau keluar!" usir Lisa, ia dorong punggung Jiyong dengan kakinya, namun pria itu justru menepuk kakinya, menyuruh Lisa diam. "Keluar! Keluar! Keluar!" seru gadis itu, panik sebab Jiyong tidak bersikap seperti yang ia rencanakan. Ia pikir Jiyong akan menghela nafasnya, lalu mengalah dan pergi keluar. Jiyong harusnya mengalah. Ia yang egois dan Jiyong yang selalu mengalah, harusnya rencananya berjalan seperti itu. Lisa tidak bisa menerima kekalahannya sekarang.
Namun kelelahan gadis itu jadi semakin telak saat Jiyong berbalik, memegangi kakinya dengan sebelah tangannya. Meremas kuat betisnya, menatap kesal padanya. "Kalau kau tidak mau keluar, diam di tempatmu," tegas Jiyong, dengan tatapan tajamnya. Seolah pria itu akan menerkam Lisa, jika gadis itu tidak menurutinya.
Mulutnya sekarang terkatup rapat, dan pelan-pelan ia tarik kakinya, melepaskan diri dari Jiyong kemudian menggerakan tangannya untuk mendorong bahu pria itu. "Jangan menatapku," pelan Lisa, lantas bergerak memunggungi Jiyong. Menekan dalam-dalam dadanya, menahan debaran yang entah darimana datangnya. Khawatir Jiyong akan mendengar suara degup yang luar biasa keras itu.
***
Part 40 tamat. Harussss tamat wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...