***
Pada sore hari, Jiyong mengantar putrinya pulang, sampai ke depan pintu. Tentu ia sudah memberi gadis kecil itu makan sebelum mengembalikannya pada sang ibu. Ia buka pintu rumahnya, mengingatkan Alice tentang rencana mereka, baru setelah itu meninggalkannya. Ia beri kesempatan pada ibu dan anak itu untuk berbaikan, sebab menurutnya, suasana akan jadi canggung kalau ada dirinya di sana. Lagi pula ia juga perlu kembali ke kantor polisi, mengecek kemajuan penyelidikan anak-anak buahnya.
Pukul sepuluh, baru Jiyong kembali ke rumah. Pria itu pulang karena Alice terus mencarinya, meneleponnya dan bertanya kapan pria itu akan pulang. Kalau Alice tidak mencarinya, akan ia pilih untuk tinggal di kantor polisi, menginap di ruang istirahat.
Tiba di rumah, gadis kecil itu ternyata belum tidur. Alice sedang menonton TV saat Jiyong kembali. Sudah gadis itu kenakan piyamanya, duduk di sofa sembari bersandar pada ibunya. Sementara Lisa, menatap layar handphonenya, membaca beberapa berkas yang ada dalam handphonenya.
Melihat ayahnya datang, Alice lantas berlari menghampirinya. Memeluknya kemudian berbisik, kalau dirinya sudah di maafkan dan ibunya pun sudah tahu tentang skuter yang mereka sembunyikan. Lisa tidak berkomentar, meski ia mendengar ocehan putrinya. Sedang Jiyong hanya menanggapi cerita itu dengan respon yang Alice harapkan.
Selesai mendengarkan cerita putrinya, Jiyong pergi mandi. Sedang Lisa berdiri dan mengajak Alice untuk pergi tidur. "Appa sudah pulang, sekarang kau bisa tidur, kan?" kata Lisa, menagih janji putrinya. Alice berjanji akan langsung tidur begitu Jiyong pulang.
"Aku tidak ingin tidur sendirian malam ini," kata Alice, setengah merengek. Mencoba untuk terlihat menyedihkan agar Lisa luluh padanya.
"Baiklah, eomma akan menemanimu tidur," balas Lisa, yang memang akan tidur bersama Alice selama mereka tinggal di sana. Gadis itu tidak berani untuk masuk ke dalam kamar utama. Tidak berani melewati batas privasi mantan suaminya, meski ia sudah menerobos ruang kerjanya. Masuk ke kamar tidur rasanya jelas lebih intim, jika dibandingkan dengan masuk ke ruang kerja. Dan Lisa tidak ingin merasakan perasaan itu.
"Appa juga?" tanya Alice, membuat ibunya mengerutkan dahi namun buru-buru menggelengkan kepalanya. Buru-buru memberi putrinya penjelasan sebelum gadis itu mulai bertanya lebih banyak.
"Appa sedang sangat sibuk akhir-akhir ini, ada penjahat keji yang harus cepat-cepat ia tangkap, jadi biarkan appa tidur sendiri, ya?" bujuk Lisa, yang dengan hati-hati mendorong Alice agar segera masuk ke dalam kamarnya.
Alice menurutinya. Selama Jiyong ada di kamar mandi, Alice menurutinya. Tapi, tepat setelah ia dengar pintu kamar mandi terbuka, dirinya melompat turun dari ranjang. "Alice!" seru Lisa, namun gadis kecil itu melarikan diri. Pergi dari kamar tidurnya dan berlari masuk ke kamar Jiyong.
Bahkan Jiyong belum masuk ke kamarnya. Pria itu masih ke dapur, akan mengambil minum setelah memasukan pakaian kotornya ke mesin cuci. "Kenapa lagi?" heran Jiyong, menoleh pada pintu kamar Alice, lalu melihat ke pintu kamar utama yang sekarang terbuka.
"Aku mau tidur dengan appa!" serunya, dari dalam kamar utama.
Lisa yang sekarang berdiri di pintu kamar putrinya hanya menghela nafasnya. Ia menatap mantan suaminya, melihat ke matanya seolah ingin berkata—lihat, itu dia monster kecil yang kau buat. Sekarang Jiyong menghela nafasnya, lantas ia berjalan menghampiri Alice di kamar. "Baiklah... Tidur lah lebih dulu di situ, appa masih lapar," katanya, namun Alice justru bangun, bertanya apa yang akan Jiyong makan dan ingin ikut bersamanya.
"Ada cream soup dan katsu di kulkas," kata Lisa, namun Jiyong hanya diam. Seolah sedang menimbang-nimbang apa yang akan ia makan sekarang. Atau pria itu justru tengah memikirkan alasan agar ia tidak perlu menyentuh masakan itu. "Tapi kalau oppa ingin mie instan, mie-nya ada di rak," susul Lisa, sebab rasa canggung tiba-tiba saja memenuhi atmosfer di sana. Rasanya sangat canggung ketika ia menawarkan makanan untuk mantan suaminya, dan jadi lebih canggung lagi karena Jiyong hanya diam.
"Mie! Aku mau mie! Aku mau mie!" Alice berkata. Tanpa sadar, gadis kecil itu telah membantu ayah dan ibunya bertahan dalam suasana canggung.
Lisa kembali masuk ke dalam kamar putrinya, sementara Jiyong membuat sebungkus mie untuk ia makan berdua dengan putrinya. Alice tidak akan menghabiskan sebungkus mie instan sendirian, terlebih di malam selarut sekarang. Ia hanya ingin mencicipi mie instan buatan ayahnha. Makan beberapa suap mie sebelum tidur bersama ayahnya.
"Apa yang kau lakukan saat appa pergi tadi?" tanya Jiyong, setelah ia selesai makan dan bersama putrinya berbaring di ranjang. Lisa menyuruh Alice untuk menggosok lagi giginya setelah makan mie, namun gadis itu hanya berpura-pura melakukannya. Hanya ia basahi mulutnya di kamar mandi, lalu bersembunyi di kamar utama, di bawah selimut ayahnya.
"Meminta maaf pada eomma, lalu makan camilan sambil menonton TV," katanya. "Kalau appa, apa yang appa lakukan tanpaku?" tanyanya, yang berbaring di sebelah ayahnya, sesekali melihat wajah ayahnya, dan sesekali menoleh ke pintu. Menunggu ibunya masuk lewat pintu itu.
"Appa juga menonton," jawab Jiyong. "Menonton rekaman cctv, banyak sekali yang harus appa tonton," katanya.
"Berapa episode yang appa tonton hari ini?" Alice bertanya lagi. "Eomma bilang jangan menonton terlalu lama, mata appa bisa rusak," susulnya dan Jiyong mengangguk, bersikap seakan menyetujuinya, meski tidak pernah berjanji kalau ia akan mengurangi pekerjaannya itu. Jiyong tidak menonton semua rekaman itu karena ia mau. Ia harus melakukannya, mau tidak mau. "Tapi appa... Kenapa eomma tidak ke sini? Eomma tidak mau tidur?" susulnya penasaran.
"Huh? Kenapa?"
"Ayah dan ibu teman-temanku tidur bersama. Appa dan eomma tidak? Kenapa?" balas Alice, sama bingungnya dengan Jiyong sekarang. Alice bingung karena ibunya tidak menyusul ke sana, dan Jiyong bingung karena menurutnya, Alice ingin membuat mereka bertiga tidur bersama.
"Eomma! Eomma!" Alice kemudian berteriak, memanggil ibunya. Lisa tidak menjawab, meski ia dengar panggilan itu.
Jiyong menutup mulut Alice dengan sebelah tangannya, menyuruhnya berhenti sembari berkata kalau Lisa sudah tidur. Meminta putrinya untuk tidak menggangu ibunya. Namun anaknya itu keras kepala, sama seperti ibu dan ayahnya. Dengan kekuatan penuh, Alice bangkit dari ranjang itu, berlari ke kamarnya kemudian mengguncang tubuh ibunya yang sedang berpura-pura tidur.
"Eomma! Eomma! Bangun!" serunya, memaksa Lisa bangun, menggelitiknya, hingga sang ibu menyerah dan membuka matanya. Lisa peluk tubuh kurus putrinya, memaksa Alice untuk diam dan berhenti menggelitiknya. "Eomma! Ke sini! Eomma!" ia menggeliat, keluar dari dekap ibunya lantas menarik-narik ibunya agar ikut bersamanya.
Alice terus berteriak, meminta Lisa untuk mengikutinya. Teriakannya keras sekali malam itu, membuat seorang yang tinggal di lantai atas mengetuk-ngetuk lantainya, memberi tanda kalau suara Alice sudah sangat menggangu sekarang. Lisa menyuruh Alice untuk diam, sebelum pria di lantai atas turun dan memarahi mereka. Namun gadis itu baru mau berhenti kalau Lisa mengikutinya.
Alice tarik ibunya, memaksa ibunya untuk tidur bersamanya, di kamar utama. "Aku tidak pernah tidur dengan eomma dan appa! Semua teman-temanku pernah tidur dengan eomma dan appa mereka. Kenapa aku tidak pernah?" tanya Alice, di depan ayah ibunya.
"Baiklah," kata Jiyong, kalah telak karena ucapan putrinya itu. "Kemari lah, tidur sekarang, jangan berisik lagi... Nanti paman di atas memarahimu," suruhnya kemudian. Jiyong geser tubuhnya, memberi ruang pada Alice dan Lisa agar bisa bergabung di ranjang.
Haruskah mereka tidur bersama?—rasanya, Lisa ingin tenggelam saja sekarang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...