***
Keluar dari ruang ICU para pasien dipindahkan ke bangsal rawat. Soohyuk juga Toil dipindah ke kamar yang sama dengan Yoon dan Mino. Jiyong pun akan dipindahkan ke sana, namun Lisa meminta pihak rumah sakit untuk memberinya kamar yang lebih bagus. "Akan aku bayar sendiri biaya rumah sakitnya, beri dia kamar untuk satu orang," pinta Lisa, sebab asuransi pekerjaan mereka tidak mengcover biaya untuk kamar yang lebih bagus.
Jiyong masih belum sadar ketika dipindahkan ke kamar rawatnya. Tulang kakinya patah, lengan dan bahunya pun sama. Ada memar di wajahnya, juga di beberapa bagian tubuhnya yang lain. Pria itu berbaring dengan tenang di ranjangnya, Alice duduk di sebelahnya, menungguinya. Gadis kecil itu sesekali menyentuh pipinya, menusuk pipi ayahnya dengan jari telunjuknya yang kecil.
Di ruangan itu, Lisa pun berbaring. Ia tutupi wajahnya dengan lengannya, berbaring di atas sofa sembari mengatur nafasnya. Dadanya masih terasa nyeri, tangannya pun masih gemetar. Obat yang biasa ia minum ketika gangguan paniknya kambuh tertinggal di rumah. Di dalam tas jinjingnya yang ada dalam kamar Alice.
"Eomma?" Alice bersuara dari tempatnya duduk, sudah hampir tiga puluh menit ia duduk di sana dan sekarang rasa bosan menyerangnya. Lisa mengizinkannya untuk bermain game di sebelah ayahnya, namun duduk di kursi tinggi terlalu lama tetap membuatnya lelah. Rasanya seperti sedang dihukum—anggap Alice.
"Jangan kemana-mana, tetap duduk di sana," balas Lisa, tanpa menoleh, tanpa melihat apa yang sedang Alice lakukan sekarang. Bukan tidak peduli pada putrinya yang kebosanan, bukan juga karena ia ingin menghukum anak kecil itu, Lisa hanya tidak punya tenaga untuk menanggapinya. Tangannya masih gemetar dan nafasnya masih sangat sesak sekarang. Lisa mungkin akan histeris, akan meledak jika Alice bermain dan berkeliaran di sana. Apalagi kalau sampai gadis kecil keluar dari ruang rawat dan pergi entah kemana.
"Appa," pelan Alice, masih sembari menusuk-nusuk pipi Jiyong dengan jarinya. "Appa cepat bangun, eomma menakutkan," bisik Alice, pelan sekali di telinga ayahnya.
Pelan-pelan kesadaran Jiyong kembali. Samar-samar Jiyong dengar suara Alice memanggilnya. Lalu setelahnya, rasa sakit menjalari tubuhnya. Rasa itu tidak sangat menyakitkan seperti dalam ingatannya, namun tetap membuatnya mengerutkan dahi.
Butuh hampir lima menit untuk Jiyong bisa membuka matanya, mengenali sekitarnya dan sadar kalau ada Alice di sebelahnya. Gadis itu menatapnya, berkedip berkali-kali untuk memastikan pengelihatannya—ayahnya benar-benar bangun atau hanya mengigau.
"Eomma! Appa bangun!" gadis kecil itu kemudian berteriak. Baru sekarang, Alice berhasil membuat ibunya menoleh, menghampirinya untuk melihat mantan suaminya yang bangun.
"Bagaimana keadaan Lee Jungjae?" Jiyong bertanya, tentu pada mantan istrinya yang ada di sana.
Tidak, tidak lagi bisa Lisa tahan emosinya sekarang. "Ya! Kwon Jiyong! Bajingan!" gadis itu menjerit, tentu mengejutkan Alice. Gadis kecil itu membeku, mendengar ibunya menjerit, luar biasa keras, luar biasa marah.
"Eomma-" suara Alice yang bergetar terdengar. Lisa meliriknya, mengigit bibirnya sendiri untuk menahan emosinya, sementara Jiyong menekan tombol untuk memanggil perawat. Jiyong meminta perawat itu untuk membawa Alice sebentar, membawa putrinya meninggalkan ruang rawatnya.
Seperginya Alice dari sana, Jiyong menatap marah pada mantan istrinya. "Kau sudah gila?! Apa yang ada kepalamu itu?!" kesal Jiyong, memarahi Lisa yang berteriak di depan putri mereka.
Sembari menahan sakit, Jiyong memarahi mantan istrinya itu. Akan ia bentak lagi wanita itu, namun seorang menyelamatkannya. Alice berlari masuk, kembali menghampiri ayah ibunya. Perawat mengejar anak yang melarikan diri itu, namun melihat Alice memeluk ibunya, si perawat perlahan kembali menutup pintu ruang rawatnya.
"Appa jangan memarahi eomma!" seru Alice, memeluk ibunya yang gemetar. "Eomma juga jangan marah, appa sedang sakit," susulnya, masih sembari memeluk paha ibunya.
Tanpa bersuara, Lisa meninggalkan Jiyong di ruanh rawat itu. Ia ajak Alice bersamanya dan mereka pergi ke kafetaria di rumah sakitnya. Lisa belikan Alice beberapa camilan, lalu duduk bersamanya di kafetaria.
"Eomma tidak apa-apa?" tanya gadis kecil itu, berusaha untuk bersikap baik, berusaha untuk menuruti perintah ibunya. Alice takut, ibunya akan berteriak seperti tadi kalau ia tidak menurutinya.
"Tidak apa-apa," pelan Lisa, yang sekarang meletakan kepalanya di atas meja kafetaria. "Makan camilan dulu di sini, setelah itu kita pulang. Eomma lelah," katanya, sembari memejamkan matanya.
"Sungguh? Eomma lelah karena marah? Pada appa?" tanya Alice sekali lagi dan Lisa menganggukan kepalanya.
"Hmm..." pelan Lisa, hanya menggumam untuk mengiyakannya. "Makan dan main game sebentar di sini, setelah itu kita pulang," pinta Lisa kemudian, yang lagi-lagi hanya bisa Alice iyakan.
Gadis itu bermain dengan handphonenya, sembari menunggui ibunya yang terlihat lebih sakit daripada ayahnya sekarang. Alice tidak tahu apa yang ada dalam pikiran ibunya sekarang, namun ia merasa bisa menungguinya. Selama ibunya tidak berteriak, tidak marah, Alice merasa ia bisa menemaninya.
Setidaknya lima belas menit mereka di sana, sampai Alice lihat ayahnya melangkah mendekat. Pria itu datang dengan tongkatnya, kakinya di gips, begitu juga dengan tangan kirinya. Langkahnya jadi lamban, tidak secepat biasanya, namun pria itu masih bisa bergerak dengan kekuatannya sendiri.
"Appa!" seru Alice, ia letakan handphonenya, juga sebatang cokelat yang tadi dimakannya. Bergegas bangkit, melangkah untuk menghampiri dan memeluk ayahnya. "Eomma sakit karena marah pada appa," lapornya, sedang Lisa menghela nafasnya. Gadis itu sekarang mengangkat kepalanya, menoleh pada Jiyong yang dibantu Alice untuk berjalan ke arahnya. Alice tidak benar-benar membantu, gadis kecil itu hanya memegangi ayahnya, berlaga membantu namun Jiyong tentu harus menghargainya, harus berterimakasih padanya setelah ia berhasil duduk di sebelah Lisa.
Tanpa Lisa duga, Jiyong tiba-tiba memeluknya. Ia peluk Lisa dengan tangan kanannya, sembari menumpukan dagunya ke bahu gadis itu, mendekatkan bibirnya di depan telinga Lisa agar ia bisa berbisik. "Maaf karena membuatmu marah, aku tidak punya maksud apa-apa, hanya saja, kecelakaan ini disengaja. Aku harus tahu siapa yang melakukannya, iya kan?" bisik pria itu, berlaga seolah dirinya baru saja membisikan kata-kata romantis pada mantan istrinya.
"Aku ikut! Aku ikut!" Alice merengek, ingin berada dalam pelukan itu juga. Maka Jiyong lepaskan pelukannya, kemudian ia peluk putrinya. "Appa sakit?" tanyanya, sembari menyentuh gips tebal yang membungkus lengan Jiyong.
"Sedikit sakit," katanya, membiarkan Alice duduk di tengah-tengah ia dan mantan istrinya, sesekali memeluk kemudian mengusap rambutnya. "Tidak apa-apa, sebentar lagi sembuh," susulnya, menenangkan putri kecilnya yang bahkan tidak terlalu khawatir. Alice belum mengerti kalau Jiyong bisa saja mati karena kecelakaan itu. Dalam bayangan gadis kecil itu, ayahnya hanya jatuh dan terluka saat bekerja. Sesederhana ia yang jatuh dari skuternya kemarin.
"Mana infusmu?" Lisa bertanya setelah beberapa menit ia memilih untuk diam. Kini ia sudah merasa lebih tenang, meski dadanya masih terasa sedikit nyeri.
"Di kamar, aku melepasnya-"
"Kenapa?"
"Bagaimana aku bisa berjalan ke sini kalau-"
"Kembali ke kamarmu! Augh! Kau benar-benar menyebalkan!" kesal Lisa, yang lebih dulu bangkit, mengangkat Alice untuk ia turunkan dari kursi, memberi ruang agar Jiyong bisa bergerak dan berdiri dari sana.
"Bisa nanti saja? Aku lelah- ya ya ya, kita kembali sekarang," balas Jiyong, setelah Lisa menatap kesal padanya. Tatapan gadis itu seolah tengah menantangnya—tolak perintahku dan aku akan berteriak seperti tadi di sini.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...