15

260 53 3
                                    

***

Jiyong baru kembali dari pekerjaannya di pukul sepuluh. Pria itu datang dengan mobilnya sendiri. Beberapa langkah setelah meninggalkan mobilnya, ia lihat putrinya ada di taman, di sebelah gadung apartemen itu. Di sana Alice duduk bersama seorang pria, tengah serius memperhatikan pria itu sampai tidak ia sadari kalau ayahnya datang.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" Jiyong bertanya, menegur dua orang yang sedang serius itu.

"Minggir," pria yang duduk bersama Alice di kursi taman menggerakkan tangannya, menyuruh Jiyong untuk pergi dari hadapannya.

Sembari mendengus, Jiyong melangkah ke samping. Ia berdiri di belakang kursi taman itu sembari mengusap-usap rambut putrinya. "Paman Seunghyun sedang menggambar kumbang di sana," lapor Alice, sembari menunjuk sebuah kumbang sebesar ibu jari yang ada di batang pohon, di sebrang mereka, berjarak sebuah jalan setapak menuju taman.

"Kenapa tidak mendekat? Jauh sekali jarak kalian," komentar Jiyong, yang perlu menyipit untuk bisa melihat kumbang yang warnanya hampir sama dengan dahan pohon itu.

"Paman Seunghyun takut kumbang. Aku sudah bilang, aku berani menegang kumbangnya, tapi Paman Seunghyun tidak mau aku bantu," kata Alice, dan Jiyong hanya mengangguk.

Terserah apa yang orang aneh ini ingin lakukan—pikir Jiyong.

"Kuas paling kecil," kata Paman Seunghyun, dan Alice mengoper kuas pada pria itu, dengan senang hati. Mereka berdua bersenang-senang dengan cara mereka sendiri.

"Dimana eommamu?" tanya Jiyong, namun kali ini Seunghyun menoleh padanya. Menatapnya dengan raut penasaran.

"Wanita cantik itu istrimu? Boleh aku melukisnya kapan-kapan? Boleh paman melukis ibumu?" tanya Seunghyun, baru berpaling dari lukisannya setelah Jiyong menyinggung soal Lisa.

"Tanya appa," acuh Alice, tidak benar-benar peduli.

"Tidak boleh," tolak Jiyong. "Lukis kumbang saja," suruhnya kemudian, sebelum kemudian ia tanya lagi putrinya, dimana ibunya berada sekarang.

"Eomma di rumah, katanya sedang sakit kepala," jawab Alice kemudian.

Jiyong mengangguk, ia tahu rumah mana yang Alice bicarakan, sebab mobil Lisa masih ada di tempat parkir. Selepas menyuruh putrinya untuk tidak mengganggu Paman Seunghyun melukis kumbang, Jiyong berjalan ke rumah. Akan ia temui mantan istrinya, dan karena Alice sedang sibuk bermain, sekarang ia punya kesempatan untuk mengomeli mantan istrinya itu. Jiyong masih kesal karena Lisa masuk ke ruang kerjanya, mencuri semua hasil penyelidikannya.

Tiba di rumah, Jiyong sudah siap untuk bertengkar dengan mantan istrinya itu. Ia melangkah masuk sembari berteriak, memanggil Lisa yang dipikirnya masih ada di ruang kerjanya. Namun begitu masuk dan melihat Lisa di sofa, langkah kakinya berhenti. Lisa ada di sofa, sedang mengigiti kukunya sendiri.

Masih dengan pakaiannya semalam—kemeja dengan celana hitamnya— gadis itu duduk, memeluk lututnya sendiri. Jarinya dipasangi kuku palsu, yang ia buat di salon. Meski tidak terlalu mencolok. Namun entah bagaimana ia mengigiti kukunya, ibu jari gadis itu berdarah sekarang. Darahnya tidak hanya ada di kukunya, tapi juga menempel ke bibirnya. Entah sudah berapa lama gadis itu duduk di sana dan mengigiti kukunya.

"Ya! Apa yang sedang kau lakukan?!" bentak Jiyong, lantas menghampiri mantan istrinya dan menarik tangan gadis itu agar memjauhi mulutnya. Ujung jari Lisa terluka, dan darahnya melekat di bibir. Entah kemana kuku palsu dan kuku asli ibu jarinya, Jiyong hanya melihat ujung jari mantan istrinya terluka, karena digigiti. Seakan Lisa ingin memakan dirinya sendiri, sedikit demi sedikit.

"Oppa-"

"Ya! Lalisa! Sadarlah! Apa yang sedang kau lakukan?!" seru Jiyong. Ia pegangi tangan Lisa yang sekarang gemetar, juga menatap wajah gadis itu yang kelihatan kalut.

"Oppa... Aku- aku bukan seorang ibu... Alice bukan anakku- tidak- aku tidak bisa jadi seorang ibu... Aku- aku- aku tidak bisa jadi ibunya. Aku tidak tahu apa-apa! Aku tidak tahu apapun!"

"Lalisa! Sadarlah!" Jiyong berteriak, kebingungan melihat gadis kalut di depannya.

Lisa memegang lengannya, meremas lengannya. Menatap ketakutan padanya. Tubuhnya bergetar hebat dan matanya merah. Bak seorang yang sedang kerasukan, gadis itu kemudian menangis.

"Aku gagal! Aku tidak bisa jadi ibunya lagi! Aku gagal! Oppa! Aku gagal! Aku tidak tahu apapun tentangnya! Aku- aku- Alice tidak senang tinggal bersamaku! Aku- aku bisa membunuhnya kalau dia tinggal bersamaku! Bagaimana ini? Aku bukan seorang ibu! Aku tidak bisa jadi seorang ibu! Oppa! Selamatkan Alice! Dia bisa mati karenaku!" Lisa menangis, akan menjerit ketakutan namun Jiyong sudah lebih dulu memeluknya.

Tubuh Lisa di dekap begitu kuat. Namun gadis itu tetap menangis. Tetap ia katakan hal-hal yang sama—aku bukan ibu yang baik, aku tidak tahu apapun tentang putriku, aku tidak berbakat jadi ibunya. Jiyong yang tidak pernah berfikir akan berada dalam situasi ini hanya memeluknya. Memaksa Lisa untuk menarik nafasnya, untuk menenangkan dirinya, untuk berhenti bicara dan menangis seperti sekarang.

Baru setelah sepuluh menit Jiyong menahan ledakannya, gadis itu bisa kembali duduk. Jiyong bisa melepaskan pelukannya dan Lisa perlahan-lahan duduk di sofanya. Gadis itu melihat pada jarinya yang terluka, lalu menyembunyikannya. Ia masukan tangannya ke dalam sakunya, dan ia hindari tatapan Jiyong. Tidak bicara, tidak juga ia beri penjelasan pada pria yang sekarang berkacak pinggang di depannya.

"Kau sudah sadar?" Jiyong bertanya, tetap pada posisinya, berdiri sembari berkacak pinggang, memperhatikan gadis yang tiba-tiba histeris di depannya.

Pelan, Lisa mengangguk. Baru setelah anggukan itu Jiyong melangkah pergi. Ia datangi lemari esnya, mengambil sebotol air mineral di sana dan mengulurkannya pada Lisa. Menyuruh Lisa untuk meminum air darinya.

"Aku mau ke kamar mandi," pelan Lisa, ingin melarikan diri dari situasi yang menurutnya canggung. Setelah kesadarannya kembali, gadis itu jadi luar biasa malu karena terlihat sangat menyedihkan di depan mantan suaminya.

"Jangan tutup pintunya," balas Jiyong, yang sekarang duduk di sofa, kelelahan. Alih-alih merasa canggung, Jiyong justru merasa khawatir. Jiyong masih kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi di rumahnya. Tidak bisa ia pahami, kenapa Lisa tiba bersikap begitu. Tidak pernah ia tahu, kalau Lisa bisa tiba-tiba menangis, histeris kemudian kembali sadar seolah tidak terjadi apa-apa.

Dari tempatnya duduk, Jiyong bisa mendengar suara kran air yang dinyalakan. Pintu kamar mandinya dibiarkan terbuka sebagian, namun Jiyong tetap tidak bisa melihat apa yang Lisa lakukan di dalam sana. Pria itu menunggu, sesekali menatap ke arah pintu kamar mandi, berharap pintunya cepat terbuka.

Di tengah penantiannya, handphonenya berdering. Alice yang meneleponnya, bertanya apa dia boleh pergi bersama Paman Seunghyun ke toko buku dan Jiyong mengizinkannya. Panggilan langsung berakhir setelah Jiyong mengizinkannya, dan bersamaan dengan itu juga, Lisa keluar dari kamar mandi. Wajahnya basah karena baru saja dibasuh. Lagi, gadis itu menghindari tatapannya, Lisa melangkah ke meja ruang tengah, lalu meraih air yang tadi Jiyong berikan.

"Duduk. Kita perlu bicara. Sejak kapan kau begini?" tanpa berusaha menatap lawan bicaranya, Jiyong bertanya.

"Aku perlu minum obat," pelan Lisa, dengan tangannya yang masih gemetar. Masih juga ia berusaha untuk menyembunyikannya. Sembari meremas botol, ia genggam tangannya sendiri, berusaha agar Jiyong tidak menyadari tangannya yang gemetar itu.

"Dimana obatmu?"

"Mobil."

"Tunggu di sini, Alice masih di bawah," pelan Jiyong, lantas bangkit dari duduknya. Ia raih kunci mobil Lisa di meja, lalu berjalan meninggalkan rumahnya. Akan pergi untuk mengambilkan obat yang mantan istrinya perlukan.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang