***
Sepulang mengambil rapor putrinya, Lisa pergi menemui ibunya. Ia sengaja mengambil cuti hari ini, sedang Jiyong tetap bekerja. Alice ikut bersamanya, sedang bermain di pekarangan rumah neneknya, bersama seekor anjing tetangga. Lewat halaman rumahnya, Lisa bisa melihat Alice bersama tetangga ibunya, dua anak kecil itu bermain dengan seekor anjing di pekarangan rumah depan.
"Aku ingin Alice pindah sekolah," kata Lisa, yang sebelumnya sudah mengatakan pemberitahuan itu pada ibunya.
"Ke Allamanda? Kau akan pindah ke Allamanda?" tanya sang ibu, yang sesekali meraih gelas tehnya, namun tidak menyesapnya. Wanita paruh baya itu hanya mengambil kemudian meletakkan lagi gelasnya, hanya ingin memeganginya. "Kau benar-benar dipindahkan ke Allamanda? Tidak ada kesempatan untuk bekerja lagi di sini?" tanyanya.
"Di Allamanda, aku rasa Alice bisa hidup lebih santai. Dia bermain, dia bahkan bisa memakai microwave dan mencuci piring di sana. Eomma tahu itu?"
"Sungguh? Aku pikir Alice hanya membual saat mengatakannya."
"Dia bisa," pelan Lisa. "Di Allamanda, dia membantuku mencuci piring, dia juga menghangatkan nasi untuk ayahnya dengan microwave," ceritanya. "Saat pertama kali melihatnya, aku juga terkejut. Di rumah, dia hampir tidak pernah masuk ke dapur. Tapi itu bukan salahnya, maksudku, selama di rumah, aku tidak pernah menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah. Taruh saja piringnya di meja makan, atau... Camilanmu ada di meja makan, aku hanya berkata begitu padanya."
"Kau menyediakan segalanya untuknya," tenang sang ibu dan Lisa menganggukan kepalanya.
"Aku pikir aku memang harus melakukannya, menyediakan semua hal untuknya," kata Lisa. "Tapi dia terlihat lebih senang saat aku melibatkannya," susulnya.
"Hanya pada awalnya," balas sang ibu. "Kau pun dulu begitu, kau senang saat aku mengajakmu mencuci pakaian. Tapi lama kelamaan, kau marah karena aku menyuruhmu mencuci—eomma! Aku sedang belajar! Kenapa kau terus menyuruhku?!—kau bilang begitu padahal aku hanya menyuruhmu mencuci pakaianmu sendiri, kau ingat itu?"
"Aku begitu?" tanya Lisa, dan sekali lagi ibunya menganggukan kepalanya. "Tapi pindah ke Allamanda tidak terlalu buruk kan? Ayahnya ada di sana, aku pun bekerja di sana. Kasus yang aku kerjakan sekarang, sulit sekali. Penyelidikannya pasti lama. Bisa satu tahun atau lebih. Aku dan Jiyong oppa mengerjakan kasus yang sama, meski jalurnya berbeda," ceritanya dan sang ibu menganggukan kepalanya. Lisa boleh pindah kalau ia memang mau.
"Di sana, kau akan tinggal dengan Jiyong?"
"Tidak," kali Lisa menggeleng, mengaku kalau ia tidak bisa tinggal bersama Jiyong.
Tinggal bersama Jiyong sangat sulit baginya. Mereka terus bertengkar dan Alice ada di sana. Berpura-pura baik di depan Alice, sementara hatinya kesal karena mantan suaminya, benar-benar menguras energinya. Namun, tinggal di kota yang sama, tapi tidak serumah tentu akan jadi masalah baru baginya. Terutama bagi Alice.
"Ayah dan ibunya bekerja di tempat yang sama, di kota yang sama, tapi tinggal terpisah, bagaimana kau akan menjelaskannya pada Alice? Alice tahu kalian bercerai?" tanya sang ibu, dan sekarang Lisa menghela nafasnya, mengatakan kalau itu masalah yang sebenarnya mengganggunya. "Bagaimana dengan pendapat Jiyong?" tanya sang ibu sekali lagi, dan itu pun menjadi masalah bagi Lisa karena Jiyong tidak mengatakan apapun.
Lisa tidak tahu, bagaimana rencana pria itu. Saat Jiyong bilang kalau Alice akan tinggal dan sekolah di Allamanda, pria itu tidak menanyakan pendapatnya. Seolah yakin kalau ia akan menyetujui rencananya. "Rumah Jiyong oppa sekarang terlalu kecil untuk kami bertiga, aku bisa menjadikan itu alasan agar tidak tinggal di sana. Tapi semakin besar nanti, Alice pasti menyadari kalau ada sesuatu yang salah dengan keluarganya. Kepalaku sakit sekali saat memikirkannya," keluh Lisa, baru menyesap teh yang ibunya buatkan untuknya.
"Kau tidak bisa rujuk saja? Dengan Jiyong? Kau mengencani pria lain? Tidak kan?"
"Meski tidak mengencani pria lain, mana mungkin aku bisa rujuk dengannya? Dia pasti sangat membenciku. Kalau tidak ada Alice, dia tidak ingin aku berada di sekitarnya. Di Allamanda, dia mengusirku setelah Alice tidur, menyuruhku pulang ke Bellis atau menginap di hotel. Dia tidak suka aku berada di sekitarnya," cerita Lisa, lantas mengeluh kalau itu salahnya. Ia pantas diperlakukan begitu, setelah apa yang bertahun-tahun lalu ia lakukan pada Jiyong.
Sang ibu menghela nafasnya. Meski awalnya kesal atas perlakuan Jiyong pada putrinya, lama-kelamaan, wanita itu bisa memahami mantan menantunya. Lisa yang saat itu masih sangat kekanakan, memang sudah membuat masalah yang teramat parah. "Semuanya salahku, karena mengizinkan kalian menikah diumur yang masih sangat muda, waktu itu," begitu yang akhirnya ia akui, pada Jiyong juga pada putrinya sendiri.
Di tengah-tengah obrolan, sang ibu kemudian bertanya, "kalau kau pindah ke Allamanda, dan membawa Alice bersamamu, aku bisa pergi ke panti werdha?" katanya, membuat sang putri lantas menoleh padanya.
Menurut Lisa, daripada ibunya pergi ke panti werdha, lebih baik ibunya itu ikut bersamanya. Lebih baik mereka berdua menyewa sebuah rumah di Allamanda dan tinggal di sana. Mereka juga bisa menjual apartemen Lisa di Bellis, lalu membeli sebuah rumah di Allamanda, kalau ibunya mau.
Namun ibunya menolak. "Aku ingin tinggal di sana bersama teman-temanku," begitu katanya. Ayah Lisa sudah lama meninggal, bahkan sebelum Lisa bercerai dengan suaminya. Sang ayah meninggal karena sakit dan setelah itu ibunya tinggal sendirian di sana. Sebab Lisa harus pindah dan tinggal bersama suaminya.
"Kau akan membawa Alice tinggal di Allamanda. Di sana ada Jiyong. Aku tidak perlu lagi tinggal di sini dan membantumu mengurus putrimu. Sekarang, aku sudah bisa berkumpul dengan teman-temanku, kan? Tempat itu tidak terlalu buruk. Mereka menyediakan makanan, aku tidak perlu memasak lagi. Ada perawat juga, ada ruang santai, aku juga bisa pergi keluar atau belanja kalau ingin. Tempat itu bukan penjara, bukan juga tempat pembuangan orang-orang tua," kata sang ibu, terdengar begitu persuasif.
"Tapi eomma, kau belum setua itu untuk tinggal di sana," komentar Lisa. "Kalau eomma kesulitan tinggal sendirian, tinggal saja bersamaku, aku bisa merawatmu. Aku bisa memasak untukmu, mencucikan pakaianmu, aku bisa melakukan semuanya untukmu. Tentu saja kali ini aku tidak akan marah kalau eomma menyuruhku," susulnya, namun semua sia-sia. Sang ibu ingin menghabiskan waktu luangnya bersama teman-temannya, ia tidak butuh seseorang untuk menjaganya, ia tidak butuh seseorang untuk menemaninya. Ia butuh hiburan dan sebagian teman bermainnya sudah tinggal di panti werdha sekarang. Sesekali sang ibu berkunjung ke sana, untuk menemui teman-temannya dan ia jadi ingin tinggal di sana.
"Saat sekolah dulu, aku tinggal di asrama perempuan. Di sana sangat menyenangkan. Aku ingin merasakannya lagi," pinta sang ibu. "Aku punya uang untuk membayar-"
"Aku juga punya uang eomma. Bukan uang masalahnya, tapi... Bagaimana kalau eomma ternyata tidak betah tinggal di sana? Bagaimana kalau disana ternyata tidak nyaman? Ada banyak orang tua yang sudah sakit-sakitan di sana," potong Lisa.
"Aku bisa kembali ke rumah kalau ternyata di sana tidak nyaman. Aku hanya ingin tinggal di sana, bukan menjual rumahku lalu menukarnya untuk tinggal di sana," balas sang ibu, membuat Lisa tidak punya pilihan lain selain menyetujuinya. Lisa tidak punya pilihan lain selain mengantar ibunya ke panti werdha.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...