9

325 63 0
                                    

***

"Aku akan mencari sekolah lain untuk Alice," kata Lisa, setelah ia juga Jiyong keluar dari ruang konseling tadi. Kini mereka melangkah, akan pergi ke lapangan sekolah tempat acara sekolah itu berlangsung.

Mendengar ucapan Lisa, Jiyong lantas menoleh, menatap heran pada gadis di sebelahnya. "Apa?" kata Lisa, menanggapi tatapan yang Jiyong berikan padanya. "Kau ingin putrimu tetap sekolah di sini? Gurunya bahkan tidak bisa membantunya saat diejek," susulnya.

"Kau sama sekali tidak berubah," komentar Jiyong kemudian. "Apa yang kau katakan dan apa yang kau lakukan, tidak pernah selaras," susulnya.

Tiba di tepi lapangan, Jiyong melihat beberapa ayah dengan setelan jas mereka. Datang di sela-sela pekerjaan kantoran mereka. Melihatnya, pria itu menggerutu, mengatakan kalau harusnya mereka memakai mobilnya tadi. Ada beberapa jaket di mobilnya, jadi ia tidak akan muncul di sekolah hanya dengan kaus dan celana jeans seperti sekarang.

"Kau harusnya pakai baju yang rapi saat bekerja," komentar Lisa, setelah melihat Jiyong merapikan sedikit penampilannya.

"Kau sedang mengajakku bertengkar sekarang? Di sekolah putrimu? Apa sulit sekali bagimu untuk diam sebentar saja?" balas Jiyong, yang sekarang menarik ke belakang rambutnya, menyingkirkan beberapa helai yang mengganggu pengelihatannya.

Lisa berdecak, mengeluh karena merasa Jiyong tidak perlu ikut ke sana. Sekarang mereka terjebak di sekolah itu, mau tidak mau keduanya harus tetap berada di sana sampai acara sekolahnya selesai. Melewati tepian lapangan sekolah, dua orang itu kini berjalan mencari putri mereka. Di tengah langkah keduanya, samar-samar mereka mendengar seorang ibu sedang bicara pada putranya.

"Kau jangan berteman dengan Alice," kata wanita yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka.

"Kenapa?" tanya putranya. "Semua anak bermain dengannya, dengan siapa aku akan bermain kalau bukan dengannya?" protes anak itu, namun ibunya tetap bersikeras melarang anaknya bermain dengan Alice. Ia minta anaknya untuk bermain dengan Chan, mengatakan kalau keluarga Chan jauh lebih baik daripada keluarga Alice. Wanita itu juga bilang, kalau Alice suka memukul Chan, ia menakut-nakuti putranya—kau juga akan dipukul kalau bermain dengannya.

"Ya. Lisa," kata Jiyong, usai mendengar obrolan ibu dan anak di belakangnya. "Siapa orangtuanya Chan itu?" tanyanya kemudian. Tentu ia tersinggung mendengar ucapan wanita tadi. Lisa pun sama.

"Ayahnya guru di tempat bimbel, ibunya ibu rumah tangga," balas Lisa. "Aku akan pergi mengambil barang-barang Alice, kau bawa Alice ke mobil, kita pulang saja," katanya kemudian. Tanpa menunggu jawaban Jiyong, ia langsung melangkah kembali ke ruang kelas putrinya.

Setibanya Lisa di mobil, Jiyong juga putrinya sudah ada di sana. Gadis kecil itu berdiri di depan Jiyong, sedang mantan suaminya berjongkok untuk menatap Alice lebih dekat. "Eomma! Aku mau tinggal dan sekolah di rumah appa!" serunya kemudian, menoleh pada Lisa yang baru saja datang dengan tasnya. Lisa sedikit lama tadi, karena ia perlu memberitahu guru putrinya kalau akan membawa Alice pulang.

Lisa yang terkejut memilih untuk menghindari obrolan itu. Ia katakan pada putrinya untuk memikirkannya sebentar lagi, mereka bisa memutuskan pindah sekolah setelah Alice menerima rapor-nya di hari Jumat nanti. Lantas, ia buka pintu mobilnya, membawa putrinya masuk ke dalam dan menoleh pada Jiyong.

"Oppa... Aku bisa mengantarmu kembali ke kantor setelah mengantar Alice ke rumah ibuku," kata Lisa, sebelum ia menutup pintu mobilnya. Gadis itu akan menutup pintu mobil di sebelah Alice, namun sang putri yang mendengarnya justru menahan pintunya.

"Tidak," bersamaan Jiyong dan Alice membuka mulutnya. Jiyong akan bilang kalau ia bisa kembali sendiri, naik taksi. Namun Alice menginginkan hal lainnya. Ia ingin ayahnya tetap di sana. Tidak pernah ia habiskan waktunya bersama ayah dan ibunya, kini gadis kecil itu menginginkannya.

"Appa harus bekerja, tuan putri," kata Lisa, mencoba untuk membujuk Alice agar ia merelakan keinginannya.

"Eomma bilang appa sedang sakit? Kenapa appa bekerja saat sakit?" balas Alice, kadang Lisa heran, tiap kali guru gadis kecil itu bilang kalau Alice tidak sepintar teman-temannya. Anak bodoh mana yang bisa menjawab semua ucapannya? Lisa tidak percaya anaknya itu bodoh. "Aku janji tidak akan nakal, tidak akan minta digendong, ya? Eomma? Ajak appa pulang... Appa, ya?" bujuk gadis kecil itu. Sembari mengulurkan tangannya, ingin menyentuh ibu atau ayahnya, membujuk siapa pun yang berdiri paling dekat darinya.

Tidak seorang pun tahan sekarang. Rasa bersalah mendominasi, hingga akhirnya keduanya setuju. Jiyong duduk di kursi belakang, bersama putrinya. Sedang Lisa yang mengemudi. "Jadi kemana kita sekarang?" tanya Lisa, yang menyalakan mobilnya, akan melaju pergi meninggalkan sekolah.

"Rumah appa! Aku ingin menunjukkan semua mainanku pada eomma!" serunya. Sebentar Lisa terdiam, haruskah ia membawa Alice sampai ke Allamanda? Gadis itu sedikit ragu, tidak ingin ia datang dan melihat rumah mantan suaminya. Khawatir kalau hatinya akan nyeri jika pergi ke sana. Khawatir kalau ia akan menyesali keputusannya jika pergi ke sana. "Kenapa? Tadi eomma bilang akan mengantar appa ke kantor? Rumah appa ada di dekat kantornya," bujuk Alice, lagi-lagi membuat Lisa tidak bisa menolaknya.

Di tengah perjalanan Alice terlelap selepas mengoceh panjang lebar tentang temannya yang bernama Chan tadi. Ia bersandar pada tubuh ayahnya. Sesekali Jiyong mengusap rambutnya. Sesekali juga pria itu mengelus pipi putrinya. Memperhatikan tiap detail gadis kecil yang terlelap itu. Lisa meliriknya lewat kaca tengah, ia tahu kalau mantan suaminya itu teramat menyayangi putrinya. Namun tiap kali harus melihatnya secara langsung, dadanya terasa nyeri.

Tanpa sadar Lisa menghela nafasnya. Gadis itu pun terkejut mendengar helaan nafasnya sendiri—kenapa aku menghela nafas?—herannya dalam hati. Karena suara helaan nafas itu Jiyong melirik, dan untuk beberapa detik tatapan mereka bertemu lewat kaca tengah.

"Maaf," Lisa berkata dengan suaranya yang pelan. Bukan karena ia khawatir putrinya terganggu, tapi meminta maaf memang tidak pernah mudah. "Harusnya aku mengecek berkasnya lebih dulu. Penyidik internal di Allamanda ternyata sangat kacau. Ketua timnya hampir tidak pernah datang ke kantor, dan anggota timnya seorang pemula. Salahku karena langsung mempercayai isi berkasnya dan memanggil Detektif Lee, maaf," susulnya kemudian.

"Kau butuh waktu hampir dua minggu untuk menyadarinya?" balas Jiyong. "Kemana perginya kemampuanmu?" susulnya kemudian.

"Sedari dulu aku tidak punya kemampuan untuk mengakui kesalahanku, kau tidak tahu?" pelan Lisa, mencibir komentar mantan suaminya.

"Ah... Kau sudah menyadarinya tapi baru sekarang berani mengakui kesalahanmu?" kata Jiyong. "Lee Hani sudah mengundurkan diri, tapi Kepala Kepolisian belum memproses pengunduran dirinya, karena tidak ada penggantinya," susul Jiyong, memberi informasi yang mungkin akan membantu Lisa.

Namun informasi itu justru membuat Lisa bisa menarik sebuah kesimpulan ekstrim. "Oppa sengaja merencanakan semua ini agar aku datang ke Allamanda?!" katanya, hampir membentak namun buru-buru menahan suaranya karena Alice mengerang. Terganggu dengan suaranya.

***

Ex-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang