***
"Aku akan tidur di kamar tamu," Lisa bangkit begitu Jiyong selesai dengan ciumannya. Ia lepaskan pelukan Alice dari tubuhnya, meraih tangan Jiyong agar segera memeluk Alice, menggantikan posisinya lantas pergi dari sana. Wanita itu melarikan diri dari kamar utama. Ia tutup pintunya perlahan, kemudian menahannya agar tetap tertutup.
Sembari menyandarkan punggungnya ke pintu, gadis itu memegangi gagang pintunya. Khawatir Jiyong akan mengejarnya, akan menyusulnya dan membuatnya jadi semakin hilang akal. Tapi sekarang gadis itu berdecak malu, sama sekali tidak ada pergerakan dari dalam. Jangankan mengejarnya, bahkan tidak Lisa dengar suara ranjang yang berdecit karena Jiyong bangun dari sana. Jiyong tidak mengejarnya, bahkan bangun pun tidak.
"Tsk... Apa yang kau lakukan, Lalisa," sebalnya, lantas melangkah menuju kamar tidur putrinya.
Lisa berencana untuk tidur di sana, tapi ciuman Jiyong membuatnya terjaga. Bagaimana lembutnya ciuman itu, bagaimana cara pria itu menatapnya, Lisa terus mengulangnya, dalam kepalanya. Lama ia berbaring di ranjang Alice, menekan dadanya yang seakan mau meledak karena gugup.
Aku menyukainya—bahkan sedari awal Lisa menyadarinya. Hanya saja, tidak ingin ia akui perasaan itu. Sebab dalam pandangannya, Jiyong tidak terlihat memiliki perasaan yang sama dengannya. Pria itu hanya peduli pada putrinya, pria itu masih membencinya. Dalam hidup Jiyong, Lisa merasa kalau dirinya adalah penjahatnya. Tapi pria itu menciumnya. Tapi pria itu menciumnya, lama sekali.
Lisa tutup mulutnya, sebelum ia keluarkan teriakannya. Ia tahan dirinya untuk tidak bersikap berlebihan, meski jantungnya berdetak luar biasa cepat sekarang. Sampai kemudian ia terlelap dan bangun karena suara pintu yang dibuka. Alice membuka pintu kamarnya, cemberut karena ditinggal sendirian.
"Eomma kenapa ke sini?" tanyanya, lantas berjalan menghampiri ibunya yang baru saja membuka matanya. Ia naik ke ranjang, lalu menindih ibunya, memeluk Lisa yang baru saja membuka matanya karena suara pintu tadi.
"Tidak apa-apa," pelan Lisa, balas memeluk putrinya yang baru saja bangun.
"Eomma pergi, appa juga pergi, aku ditinggal sendirian, jahat sekali," kata Alice, yang memeluk erat ibunya.
"Appa tidak ada?" tanya Lisa dan gadis itu mengangguk, mengatakan kalau saat dirinya bangun, ia hanya sendirian di kamar utama itu. Sekali lagi Lisa bertanya, kemana mantan suaminya itu pergi, namun Alice menggeleng, mengatakan kalau ia masih tidur saat Jiyong bangun dan pergi.
"Sepatunya tidak ada," kata Alice, yang harus melewati pintu utama sebelum masuk kamarnya.
Sampai putrinya mengeluh lapar, baru Lisa angkat tubuhnya, bergerak untuk bangun dan akan membuatkannya sarapan. Ini hari Minggu, biasanya Jiyong yang menyiapkan sarapan untuk Alice. Tapi hari ini pria itu pergi tanpa berpamitan. Tidak juga meninggalkan pesan kemana ia akan pergi.
Meski masih sangat mengantuk, Lisa harus bangun. Harus ia beri makan putrinya yang kelaparan setelah tidur semalaman. Ia sajikan makanan di meja makan, menemani putrinya untuk makan, lalu berkata kalau ia akan kembali tidur.
"Eomma lelah sekali," katanya, berpamitan sebelum kembali masuk ke kamar putrinya dan tidur di sana.
"Kenapa eomma tidur di kamarku? Tidak di kamar appa saja?" heran Alice, yang energinya sudah penuh sekarang. Gadis itu berdiri di tepi ranjang, memandangi ibunya yang baru saja berbaring dan memeluk bonekanya.
"Di sini lebih nyaman," jawab Lisa, sembari menunjuk pendingin ruangan yang sedari tadi menyala, berkata kalau AC di kamar Alice lebih dingin daripada di kamar utama.
Alice berdecak, namun ia tinggalkan ibunya di sana. Ia tutup pintu kamarnya, dan duduk di sofa, menonton TV sebelum seseorang menghubunginya dan mengajaknya bermain. Tapi, baru tiga puluh menit Lisa terlelap, handphonenya berdering. Ia mengabaikan dering itu sebelumnya, tetap tidur meski tahu seseorang meneleponnya. Namun dering itu mengganggu Alice.
"Halo? Eomma sedang istirahat sekarang," kata Alice, menjawab telepon ibunya dengan suara pelan yang berbisik. Seolah takut ibunya bangun kalau ia bicara lebih keras. "Siapa ini? Bisa telepon lagi nanti?" tanyanya kemudian, sebab seseorang yang menelepon justru membisu sekarang.
"Sayang, bisa panggil ibumu sebentar? Aku menelepon karena masalah penting yang harus dikatakan padanya," dengan hati-hati wanita itu berkata.
"Tapi eomma sedang istirahat," balas Alice, sembari sesekali mengintip ibunya. "Aku bisa mencatatnya kalau paman mau, nanti aku beritahu eomma kalau eomma bangun," susulnya, namun Lisa yang mendengar ocehan itu lantas berbalik dan mengulurkan tangannya, meminta Alice mengembalikan handphonenya.
Lisa membiarkan Alice menjawab teleponnya tadi. Berfikir kalau panggilan itu hanyalah panggilan promosi. Beberapa bank sering meneleponnya, menawarkan asuransi atau kartu kredit. Lisa pikir panggilan kali pun sama, namun ketika ia jawab telepon itu, matanya langsung membulat sempurna. Kantuknya seketika lenyap. Tanpa mempedulikan Alice yang kembali menonton TV, Lisa berlari ke kamar mandi. Ia basuh wajahnya di sana, berteriak menyuruh Alice mengganti pakaiannya lantas mengacak-acak kopernya, juga mencari pakaiannya.
Alice kebingungan, berkata kalau ia masih mau menonton kartun paginya. Namun Lisa membentaknya, mengatakan kalau Alice harus segera mengganti pakaiannya kemudian ikut pergi bersamanya. "Ayahmu terluka! Kau masih mau menonton TV?!" omel Lisa, membuat Alice seketika ketakutan.
Di rumah sakit, Lee Hani berdiri di depan ruang operasi. Semalam sakit jantung yang diderita suaminya kambuh, malam itu juga ia pergi ke rumah sakit, menunggui suaminya di UGD dan kebetulan melihat ambulans datang. Bukan hal mengejutkan saat melihat ambulans datang, tapi situasinya berbeda ketika ia melihat orang-orang yang dikenalnya dibawa oleh ambulans itu.
"Terjadi kecelakaan di perbatasan kota, tiga orang terluka parah dan satu orang kritis," begitu yang Hani dengar dari petugas ambulansnya. Maka, sembari menunggui suaminya yang tengah beristirahat setelah diobati, Hani keluarkan kartu pegawainya. Ia bantu mengurus administrasi rekan-rekannya, sedang mereka dilarikan ke ruang operasi.
Sepanjang pagi Hani sibuk, menghubungi atasannya, mencaritahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Tim detektif lain dipanggil untuk menyelidiki kasus itu setelah Hani melaporkannya. Baru setelahnya, ia ingat kalau Lalisa pernah menikah dengan Kwon Jiyong. Baru setelahnya, ia hubungi wanita itu.
Hari sudah lama pagi ketika Lisa tiba di rumah sakit. Ia gandeng tangan putrinya, lalu bertemu dengan Hani di depan ruang operasi. Hani tidak sendirian di sana, ada sepasang orang tua, seorang gadis yang kelihatan jauh lebih muda darinya, Mino juga Yoon dan atasan mereka—Kepala Kepolisian Allamanda.
Lisa terengah ketika datang, sedang Alice menangis di sebelahnya, mengekor sembari tangan kecilnya ditarik untuk mengikuti kecepatan ibunya. "Apa yang terjadi?" tanya Lisa begitu datang.
"Kau sudah datang?" Hani menoleh, menyapanya kemudian sedikit terkejut melihat Alice ada di sana. Lisa kelihatan panik sekarang, saking paniknya sampai ia bawa putrinya yang kebingungan, juga ketakutan. "Jiyong masih diperiksa, dia akan baik-baik saja," kata Hani, lantas berlutut untuk mengusap air mata Alice, menenangkan gadis kecil itu dengan berkata kalau ayahnya akan baik-baik saja.
"Apa appa akan mati?" tanya Alice, sedang Lisa yang tiba-tiba lemas, mendudukan tubuhnya di atas bangku, di sebelahnya.
"Tidak," geleng Hani. "Dia akan baik-baik saja, kau tidak perlu takut," susulnya, menggelengkan kepala sembari mengusap-usap rambut Alice yang sedikit berantakan.
Alice lalu menghampiri ibunya, duduk di sebelah ibunya dan memeluk wanita itu. "Bibi itu bilang appa tidak akan mati, eomma jangan takut," katanya, memeluk Lisa yang hanya diam, menahan serangan paniknya sendiri. Alice memeluknya, namun tidak bisa ia balas pelukan itu. Tidak juga bisa ia tenangkan gadis kecilnya, sebab tangannya mulai gemetar sekarang. Detak jantungnya bergerak sangat cepat, membuat ia hampir kesulitan untuk bernapas.
Harusnya Lisa bisa berdiri tegak sekarang. Harusnya ia bisa menenangkan putrinya sekarang. Harusnya ia punya kekuatan tidak terduga yang hanya aktif disaat-saat genting, seketika berubah jadi super hero yang bisa menyelamatkan dunia. Lisa berharap bisa melakukannya, namun harapannya ternyata tidak lebih kuat dari gangguan paniknya. Skenario terburuk mengisi kepalanya, memenuhi dadanya hingga sulit ia hirup udara untuk napasnya. Meski sudah berkali-kali ia dengar kalau Jiyong baik-baik saja, tapi hanya ada skenario terburuk dalam kepalanya.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/348059954-288-k665223.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex-
FanfictionAwalnya semua sempurna. Ia kagumi wanita itu, dan wanita itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Ia jatuh hati pada pria itu, dan pria itu pun sama. Awalnya semua sempurna. Kencan pertama mereka. Awalnya semua sempurna. Bisa ia pahami isi kepala pr...