Vila Zayn tak terlalu besar. Karenanya bangunan itu dibuat cukup tinggi--kendati tak bertingkat, jendela kaca mendominasi dinding bagian belakang dan interiornya berkonsep open space supaya terkesan luas. Hanya kamar tidur, kamar mandi dan satu ruangan kecil di antara ruang duduk dan dapur yang mempunyai bilik sendiri. Furniturnya sudah cukup lengkap, termasuk barang-barang elektronik dan peralatan dapur. Tinggal pakai dan menikmati.
"Di sini aman, Zayn?" tanya Adel setelah Zayn menunjukkan isi sepenjuru rumah.
"Aman banget. Tapi untuk jaga-jaga, aku pasang CCTV." Zayn menunjuk ke sudut langit-langit ruang duduk lalu ruang makan, di mana dua kamera berbentuk dome itu menggantung. "Di teras depan dan belakang juga ada."
"Terus, monitornya?"
"Ada di ruangan yang di sebelah dapur itu," tunjuk Zayn pada bilik dengan pintu tertutup di sebelah dapur. "Itu sebenernya lemari pantry. Tapi karena masih banyak tempat, aku pake buat naruh monitornya."
Pria itu lalu menyuruh Adel beristirahat di kamar, sementara ia akan berbaring sejenak di sofa ruang duduk. Dalihnya, sebelum tengah hari nanti ia akan kembali ke ibu kota. Ia tak mau beristirahat terlalu nyaman di kasur hingga lupa waktu.
Satu-satunya kamar tidur yang ada di rumah itu berada di sisi belakang. Dinding belakangnya berupa pintu kaca yang bisa digeser dan ada balkon sempit berpagar besi di luar. Dari situ, Adel bisa melihat halaman belakang yang juga tak dibatasi, menyatu dengan halaman belakang tetangga kiri-kanan. Bagian belakangnya yang tak dipagari menjadikannya seperti sebuah lapangan kecil dan dibatasi banjaran pohon-pohon pinus di kejauhan. Suatu pemandangan yang menenangkan, apalagi ditambah dengan adanya segerombolan sapi yang sedang merumput.
Gadis itu mendudukkan diri di tepi kasur king size yang sudah dilapisi seprai dan bed cover berwarna putih. Memang empuk. Bantalnya pun terasa nyaman. Zayn benar, bila telanjur tidur di sini, pasti akan malas bangun. Matanya sendiri saja langsung terpejam begitu tubuhnya rebah di sana.
*
Rasanya ia baru tidur sebentar. Namun jam dinding di hadapannya menunjuk angka sudah lebih dari pukul sepuluh saat ia menegakkan punggung di tempat tidur. Sudah hampir tiga jam berlalu sejak ia merebahkan diri di ranjang ini.
Adel beringsut turun dari pembaringan dan keluar dari kamar. Sebentar lagi sahabatnya akan kembali ke ibu kota. Ia tak mau membiarkannya pergi tanpa kalimat perpisahan.
Lelaki itu ia temukan di ruang duduk sambil memainkan ponsel. Penampilannya tak tampak seperti baru bangun tidur. Kelihatannya ia sudah bangun dari tadi. Di depannya terhidang kopi yang tersisa seperempat dalam cangkir bening. Memang sudah kebiasaan Zayn untuk minum kopi sebelum melakukan perjalanan, bukan obat anti mabuk seperti orang lain.
"Zayn," panggil Adel sambil mendekat.
Sahabatnya itu menoleh sejenak dan menyahut, "Hei."
"Kirain udah berangkat." Gadis itu memosisikan diri di sofa tunggal yang berseberangan dengan Zayn.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔A Shelter by the Lake
Romantizm[Romance/Mystery/Thriller] (Judul sebelumnya: The Lake House) "Jangan berurusan dengan Jared." Begitu pesan setiap orang yang Adel temui ketika baru pindah ke kota kecil itu untuk melarikan diri dari mimpi buruk. Ia baru mengerti maksudnya ketika be...