9. Logic & Intuition

149 21 3
                                    

"Saya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saya. Seorang. Pembunuh."

Pengakuan Jared itu sanggup membekukan Adel. Ia berdiri mematung di depan wastafel. Netranya mengarah jendela kecil di hadapannya, tapi tatapannya kosong. Tanpa sadar jemarinya mencengkeram tepi wastafel hingga buku-bukunya memutih. Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang.

Di meja, Jared tersenyum miring melihat perubahan sikap asistennya yang tiba-tiba. Rasanya menyenangkan bisa menakut-nakuti seseorang, sebelum ia ditakut-takuti. Namun senyum itu segera lenyap dari wajah begitu Adel berbalik. Raut gadis itu tak menunjukkan ketakutan sama sekali.

"Bercandamu gak lucu, Red." Ia berkata dengan nada tenang. Berbanding terbalik dengan jantungnya yang berdebar keras. Gemetar di sekujur tubuhnya pun ia sembunyikan dengan susah payah.

Jared mendengkus. "Kamu kira saya bercanda?"

"Kalau kamu emang pembunuh, kamu gak akan ada di sini, punya rumah bagus dan bisa makan enak. Kamu bakal ada di penjara."

"Kamu pikir ngapain saya pindah ke kota ini kalau bukan untuk sembunyi?"

"Kalau gitu, kamu sembunyi di kota yang salah. Semua penduduk di kota ini kenal kamu. Setiap saya ketemu orang baru, mereka selalu bilang, 'Jangan berurusan dengan Jared'."

Dengkusan Jared terdengar lagi. "Dan kamu tau kenapa mereka bilang begitu? Karena ...." Ia menggeser telunjuknya di depan leher. "Kalau berurusan dengan saya, kamu gak akan selamat." Ia menyeringai.

"Cil ...."

Ups! Hampir aja keceplosan.

"Aku tau, kamu gak seperti yang mereka bilang." Adel buru-buru meralat ucapannya.

"Ngarang." Jared melengos.

"Tindakan kamu kemarin ke kami membuktikan kalau kamu emang gak seperti yang mereka bilang. Kamu masih punya empati."

Pria itu tak membalas. Ia suapkan lagi makanannya. Namun ia tak memungkiri, hatinya menghangat. Gadis ini adalah orang pertama--dan satu-satunya--yang berkata bahwa ia masih punya empati, sejak ia pindah ke sini.

"Kamu bilang gitu karena kamu kasihan sama saya?" nyinyirnya pelan sambil menunduk, berusaha menghabiskan sarapannya.

Adel yang sudah membuka keran, harus menutupnya lagi dan kembali menghadapi sang majikan. Napasnya terembus kasar. "Apa kamu selalu nyebelin seperti ini, Red?"

Jared tak menyahut. Fokusnya terpusat pada makanannya.

"Sekarang saya gak heran orang-orang itu mikir begitu tentang kamu, karena masalahnya bukan di mereka. Tapi di kamu.

"Kamu sendiri yang bikin nilai kamu jelek di mata mereka. Kamu gak pernah bersyukur. Kamu gak menganggap apa yang ada di sekeliling kamu ini anugerah."

Sendok Jared berhenti di udara sebelum berhasil masuk dalam mulut. Ia tersentil.

✔A Shelter by the LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang