35. Disclosure & Discovery

137 23 1
                                    

Punggung Adel sedikit menegak kala satu mug teh kamomil terulur di bawah kepalanya yang terus menunduk sejak ia tiba di rumah itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Punggung Adel sedikit menegak kala satu mug teh kamomil terulur di bawah kepalanya yang terus menunduk sejak ia tiba di rumah itu. Sambil mengucap "Makasih," ia ambil alih mug itu dari tangan Jared. Ia kembali membungkuk dengan siku bertumpu pada paha setelahnya sembari menangkup dinding cangkir itu dengan kedua tangan. Rasa hangat dari teh itu seketika menjalari tubuh, membuatnya berangsur tenang.

"Maaf, kalau gak seenak buatan kamu." Jared menempatkan diri di samping gadis itu, duduk agak miring dengan lengan bersangga pada sandaran sofa di belakang punggung Adel. Dengan begitu ia berharap Adel merasa dilindungi.

"Aku bingung harus mulai dari mana," ujar Adel, masih tanpa pergerakan tubuh.

"Mungkin kamu bisa mulai dengan alasan kamu mengubah nama kamu," usul Jared.

Adel menggeleng. "Sebaiknya aku cerita dari awal mula aku kenal Dmitri." Ia menyesap tehnya, sekaligus memberi dirinya waktu untuk menyusun kisahnya.

"Kalau ceritaku ini sinetron, pasti udah jadi tontonan yang cheesy," Adel tertawa getir, "karena kamu bakal dengar tentang balas budi dan perjodohan."

Gadis itu kembali menyesap sedikit minuman hangatnya. "Aku dan Dmitri emang dijodohkan oleh opanya dan Ayahku. Beberapa tahun yang lalu opa Dmitri pernah kecelakaan dan banyak kehilangan darah. Sialnya, stok darah yang sesuai di rumah sakit lagi kosong. Ayah yang waktu itu sedang menemani Kakek check-up, kebetulan punya darah yang sesuai, jadi Ayah mendonorkan darahnya.

"Kami gak pernah ketemu lagi dengan mereka sejak itu. Tapi sebenernya kami cuma gak tau, mereka ternyata mencari-cari kami untuk balas budi.

"Ketika mereka berhasil menemukan kami--Ayah dan aku--setahun yang lalu, Ayah udah sakit. Kanker usus. Mereka menawarkan macam-macam; pengobatan lah, menyewa perawat lah, mengirim Ayah berobat ke rumah sakit terbaik di luar negeri lah. Ayah menolak. Ayah mau mendonorkan darahnya karena rasa kemanusiaan, bukan karena pamrih. Lagian Ayah udah ngerasa umurnya gak panjang.

"Tau-tau aja opa Dmitri kepikiran untuk menjodohkan aku sama dia. Alasannya supaya aku ada yang menjaga setelah Ayah gak ada nanti.

"Tadinya aku gak langsung setuju. Tapi setelah beberapa kali berusaha saling kenal, aku bisa menilai, Dmitri laki-laki baik. Dia sopan dan perhatian sama aku dan Ayah. Dia juga sering bantu merawat Ayah."

"Kamu cinta dia?" Tiba-tiba Jared menyela seraya menyisipkan sejumput rambut Adel yang menutupi pelipis ke belakang telinga. Ada harap, ia bisa melihat sinar mata gadis itu saat mendengar jawabannya nanti.

"I tried to," aku Adel tanpa ragu. "Tapi bukan itu poinnya. Aku mau dijodohin supaya Ayah berhenti mengkhawatirkan aku. Lagian aku juga jomlo. Aku gak punya alasan untuk nolak.

"Dan ada satu alasan lagi kenapa aku mau terima perjodohan itu. Keluarga Dmitri baik-baik. Aku udah dianggap keluarga oleh mereka."

Satu sesapan teh kembali mengalir dalam kerongkongan Adel sebelum ceritanya berlanjut. "Tadinya mereka pengin mempercepat pernikahan supaya Ayah masih bisa menyaksikan, cuma Ayah gak setuju. Ayah gak mau sembarang menyerahkan aku ke laki-laki yang baru kami kenal. Tapi Ayah setuju pertunangannya yang dipercepat. Seenggaknya, kalau beliau gak sempat lihat kami nikah, beliau udah yakin ada yang menjagaku. Jadi ya ... akhirnya kami tunangan. Pernikahan kami seharusnya dilangsungkan lima bulan lagi."

✔A Shelter by the LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang