***
"Ughh ..." Pete mengeluh saat cahaya terang menyilaukan matanya.Membuat kepalanya berdengung sakit. Ia meraba kepalanya yang untungnya masih utuh, sebab ia masih ingat tentang dirinya yang jatuh di lantai. Dahinya terasa sakit dan ia tak akan terkejut jika ada memar di sana nanti.
"Jika kau melihat cahaya, di sana kau harus menuju, Phongsakorn Saengtham. Itu adalah titik akhirmu."
BRUK!
Mendengar itu, Pete meraih bantal di sampingnya hanya untuk melempar ke arah depan. Entah kena atau tidak, tetapi ia mendengar tawa Pol.
"Silau, Pol. Kau matikan lampunya, atau kau yang aku matikan," keluh Pete yang membuat Pol mematikan lampu tidur di atas nakas.
Bukan tanpa alasan Pol melakukan itu, dia hanya heran kenapa Pete tidak bangun-bangun. Jadi dia sengaja menghidupkannya, siapa tahu Pete perlu penerang dalam tidurnya. Setelah itu, pria tinggi menjulang itu bangkit untuk memungut bantal yang dilemlar Pete sebelumnya. Beruntung Pol gesit menghindar dengan gerakan kecepatan cahayanya.
Pete berusaha bangkit dan bersandar di kasur. Ia menyadari dia sudah ada di kamarnya, maksudnya kamar tamu apartemen Arm.
"Kebetulan aku ikut Arm menjemputmu, katanya kau pucat seperti zombie. Jadinya aku memungutmu di ruang kesehatan kantor," jelas Pol yang jelas-jelas meminta Pete berterima kasih padanya.
Dia sudah menggendong Pete dari kantor hingga ke apartemen.
"Thanks ..."
Pol menggangguk sebelum memberikan segelas air pada Pete. "Setahuku kau jadi sekertaris direktur, kenapa malah melata di lantai? Mengepel juga pakai alat Pete, jangan pakai badan."
Ini jika Pol tidak bercanda, maka Pete akan menggeplak kepalanya. Bisa-bisanya dia mengira Pete yang ingin sendiri pingsan di sana. Kalau Pete bisa juga dia ingin pingsan dengan tampan dan bergaya.
"Pete masih sakit kau tanya-tanya."
SRET!
Mendadak dari belakang mulut Pol dibungkam dengan potongan buah. Membuat Pol dan Pete menoleh bersamaan pada Arm. Pria berkacamata itu meletakkan sepiring buah di nakas.
Dengan itu Pete meminta pada Arm. "Bisakah aku meminta obat sakit kepala atau asam lambung?" Ia masih merasa pusing, dan terkadang rasa mual itu muncul.
Membuat Arm menggelengkan kepalanya sebelum menatap Pol yang masih mengunyah potongan panjang buah melon.
"Whapaa?" tanya Pol dengan mulut penuh. Ia jelas menyadari tatapan Arm yang seperti ingin mengusirnya.
"Pol pergi belikan aku buah lemon. Aku akan membuatkan Pete lemon tea," perintah Arm yang membuat Pol mengerutkan kening.
Heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Sweet Home | VEGASPETE
RomancePete sangat ingat jika dirinya memasukkan lamaran di perusahaan Theerapanyakul untuk posisi Sekertaris. Ia sangat ingat jika mendapat email jika dirinya dipanggil untuk interview. Tentu saja Pete melakukannya agar ia bisa memulai hidup barunya di Ba...