PROLOG

1K 53 11
                                    

Tak ada yang bisa ia hirup selain udara kotor disana. Debu-debu pasir itu sudah akrab oleh rongga pernapasannya sejak dua tahun yang lalu. Suara tangis, penyesalan, ketidakadilan, telah mengalir dari kuping kanan dan kirinya. Lantai dingin yang menjadi tempatnya melepas lelahpun juga sudah ia rasakan dari balik jeruji penjara.

Hari-hari panjang itu membuatnya terasa mati. Hidup sebagai manusia yang tak dimanusiakan karena sebuah penghianatan. Suara hatinya masih sama tat kala pertama ia datang kesini. “Saya tidak salah, Pak.”

Namun tak ada yang ia harapkan dari para petinggi itu. Para pria berseragam itu terlalu semena-mena menyeretya bak anjing pencuri. Menyiksanya dari balik besi dengan ringisan tak berdaya dari mulutnya. Hingga membuatnya berakhir sebagai seorang tahanan.

Setiap malam ia hanya menghadap langit, bulannya terang tapi ruangan miliknya itu gelap. Suara sunyi itu berganti dengan suara dengkuran bapak-bapak yang tersandung masalah pelecehan. Lalu ia hanya bisa pasrah dan bersandar didinding itu lalu merosot memeluk lututnya. Ia tidak akan menyangka kalau akhir hidup dari anak orang kaya raya ini ternyata berakhir menjadi seorang tahanan.

“TAHANAN 986!!!”

“TAHANAN 986!!!”

Laki-laki itu mengernyit. Menyeimbangkan cahaya serta suara jeruji besi yang begitu berisik akibat polisi yang berusaha membangunkannya dengan menggoyang-goyangka jeruji itu. Ketika matanya terbuka perlahan, kata yang pertama kali keluar dari mulutnya ialah sebuah umpatan. Seolah tak ada syukur-syukurnya ia masih bisa membuka mata melihat sinar matahari dipagi hari.

Laki-laki itu lantas berjalan mendekati polisi itu dari balik jeruji, sesekali ia mengucak matanya karena masih terasa lengket, “Kenapa Pak?”

Polisi itu tak menjawab. Ia hanya mengeluarkan sebuah kunci gemerincing dan memilih salah satunya untuk membuka gembok dari jeruji itu. Laki-laki 22 tahun itu mengeryit dari balik besi, tak paham dengan apa yang dilakukan polisi itu. Hingga pintu jeruji itu terbuka.

“Selamat. Kamu bebas hari ini.”

Barulah matanya benar-benar terbuka, begitu juga dengan kesadaran yang datang sepenuhnya. Adipati Gangga Elmahera terdiam hanya untuk memastikan apa yang dikatakan polisi itu benar atau tidak. Hingga sebuah tangan datang untuk meminta berjabatan tangan lebih dulu, “Adipati Gangga, kamu bebas hari ini.”

Dua tahun berlalu juga… Gangga akhirnya keluar dari tempat ini. Rasanya aneh ketika kakinya itu melangkah keluar dari sel penjara. Apalagi dengan para polisi yang melambaikan tangan padanya hanya untuk mengucapkan salam perpisahan. Katanya, “Semoga kamu hidup lebih baik lagi.”

Gangga tak merespon, bukan karena Gangga merenungkan kalimat itu melainkan itu hanyalah sebuah omong kosong yang sama sekali tidak mempengaruhi Gangga. Lagipun apa yang akan diperbaiki? Hidupnya sudah rusak dari awal dan malah difitnah tanpa sebab lalu dipenjara dua tahun tanpa melakukan kesalahan apapun.

Apanya yang akan lebih baik? Semuanya tetap sama, dan Gangga hidup hanya untuk disia-sia saja.

Sore itu kakinya melangkah beringingan dengan rintik hujan disamping rel kereta. Dari langit yang mendung itu, Gangga bisa rasakan kalau ini menjelang malam. Rasanya dingin, Gangga tidak punya pakaian tebal, namun bukan itu yang Gangga inginkan melainkan sebuah tempat yang mau menerimanya. Disaat seperti ini, siapa yang mau menerimanya?

Laki-laki itu masih berdiri disamping rel dengan pandangan kosong –tapi dengan otak yang berisik. Setelah banyak yang terjadi padanya ia barusadar kalau, ia telah kehilangan segalanya. Benar-benar segalanya, Orang tua, teman, pendidikan, cinta, juga waktu berharga. Bahkan saat ia mempunyai nyawa seperti sekarang, ia merasa sudah tidak memilikinya. Ia sudah merasa mati dan kosong ketika tubuhnya masih tegap berdiri diatas tanah.

THE TIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang