Tirta dan Khanza tidak pernah lupa dengan peraturan yang ada disini. Kalau belum Mas Agam datang subuh-subuh dengan muka bantal serta selang ditangannya, atap rumah itu tidak akan kosong diamuknya. Pasti akan ada suara ringisan saat bokong mereka disabet selang oleh Agam karena terlalu berisik karaokean tidak ingat waktu.
Namun malam ini Khanza dan Tirta dibuat heran dengan atap rumah yang biasa jadi tempat karaokean dadakan itu sepi mampring. Ini masih pukul sembilan tapi tak ada satu orangpun disana.
Dengan setumpuk latihan soal ditangannya Khanza menatap dipan kosong yang biasa menjadi panggung oleh Hema dan teman-temannya itu, “Orang-orang pada mati ya?”
“Menurut lo mereka kemana?” kini Tirta juga menyahut dengan buku tulis dan bolpoin ditangannya, “Abang lo gak lagi dugem sama pasukannya kan?”
“Jam berapa ini? Kalo dugem ya diatas jam 12 malem lah anjir! Mau kabur jam segini apa gak dilempar ke kandang Diego orang-orang. Lagian ini yang gak ada bukan cuma Hema sama entek-entekkannya. Mas Aji, Mas Lintang, Abang lo, Mas Umar, Mas Kanda bahkan Mas Galen sama Mas Agam aja juga gak keliatan hilalnya.” Keluh Khanza lalu menoleh ke Tirta, “Abang lo gak bilang apa-apa?”
Laki-laki itu menggeleng, “Enggak. Orang habis jemput gue tadi dia langsung ke kamar kok.”
Khanza hanya menggelengkan kepalanya. Padahal niat Tirta dan dirinya kesini hanya untuk mencari Lintang saja. Untuk membantu mengerjakan PR bahasa Inggris serta latihan soal yang harus dikumpulkan besok.
Sampai ketika Tirta melihat Lintang yang keluar kamar dengan tergesa-gesa. Laki-laki itu gerasak-gerusuk mengenakan sandal swallow hijaunya. Jelas hal itu langsung membuat Tirta memekik memanggilnya, “Mas-mas! Mas Lintang! Bantuin ngerjain PR!”
Laki-laki yang rambutnya masih basah karena baru selesai keramas itu langsung saja mengerem mendadak dan menoleh kebelakang. Melihat wajah dua bocah itu, membuat Lintang langsung tahu kalau mereka curiga kenapa jam segini atap masih kosong saja.
Ia hanya tersenyum kaku sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan berjalan mendekati dua bocah itu. Ia lantas mengambil buku yang Tirta bawa dan melihat beberapa soal bahasa Inggris disana, “Yang mana Ta? Oh ini, gampang. Sini gue kerjain.”
Ia lalu memandang Khanza yang juga tengah membawa setumpuk kertas ditangannya, sama seperti Tirta ia juga langsung mengambil kertas itu dari tangan Khanza, “Khanza juga? Ini latihan soal UAS? Ohh… gimana ujian kemarin? Jelek ya? Gak papa yang penting udah berusaha. Sini gue kerjain. Dah besok subuh gue anterin kamar kalian! Daaahhh!”
Melihat laki-laki yang terlihat terburu-buru itu membuat Khanza da Tirta mengerutkan alisnya. Apalagi Lintang tidak biasanya bersikap heboh seperti itu, Lintang juga tidak akan membiarkan mereka mendapatkan jawaban dengan mudah ketika belajar bahasa Inggris. Dan apa tadi? Lintang dengan suka rela mengerjakannya? Ini aneh.
Sontak Khanza memiringkan kepalanya curiga, “Loh? Kita gak diajak gitu? Kan niatnya mau belajar sama-sama.”
Namun laki-laki itu memberikan banyak gelengan sambil memberikan sepuluh jarinya, “GAK USAH!! Kalian ke bawah aja, tolong bikinin seblak sepanci buat anak-anak. Ni PR gue yang ngerjain. Oke? Santay! BYEEE!!”
“Mas Lintang mau kemana?”
Laki-laki yang terburu-buru itu hanya menjawab sekenanya saat ia bergegas menuju kamar Kanda, “Mau main game sama Kanda!”
…
“Ututu lutunan anak Mas Aji. Entar kalo gede jadi anak yang pinter ya? Jangan kaya bapak lo. Udah bener kerja jadi model di London malah milih jadi cogil di Indonesia gara-gara emak lo.” Umar menimang-nimang bayi perempuan yang kini ditangannya. Sesekali ia mengusap pipi Bayi itu memberikan doa-doa baik padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TIM
ФанфикGangga itu tidak pernah percaya dengan namanya takdir baik. Kalaupun ia mendapatkan hal itu, akan ia anggap itu kebetulan, bukan keberuntungan. Namun apa jadinya jika memang ia ditakdirkan memiliki takdir indah namun hanya Gangganya saja yang belum...