Langkahnya itu menjauh dari tempat dimana Dandi jatuh, napasnya terengah-engah padahal ia tidak habis berlari-larian, tangannya juga meorgoh ponsel dari saku celananya untuk menghubungi Agam. Sampai ketika ia berada ditempat sepi laki-laki disebrang sana juga telah menjawab panggilannya.
"Halo! Ada apa?"
Demi apapun, Tirta memang bukan hemophobia, tapi laki-laki itu mendadak sesak napas setelah melihat kondisi Dandi yang mengenaskan. Bayangkan saja, ada murid yang mengatakan kalau bocah itu jatuh dari atap, dan sekolahnya ini terdiri dari tiga lantai. Membayangkannya saja sudah membuat Tirta mual mendadak.
Sambil mengatur napasnya Tirta berusaha menjawab Agam disebrang sana, "Mas -mas Agam, D-dandi, Dandi di dorong Ican sampe t-tewas."
Agam yang sedang berada dimeja kerja langsung meletakkan bolpoinnya, sorot matanya berubah menjadi kosong begitu saja. Agam menelan teguknya sejenak lalu menegakkan punggungnya, "Enggak, Ta. Ican gak salah."
"Ta-tapi Ican ada diatas."
"Dandi bunuh diri."
"Hah?"
"Dia sengaja bawa Ican kesana, biar Ican dituduh bunuh dia. Dia gak pengen Ican mati, katanya itu terlalu manusiawi untuk Ican mati gitu aja. Dandi pengin Ican hidup berantakan dengan pandangan buruk orang-orang. Sekalipun nanti Ican bakal dibela dan dianggap gak bersalah sama guru-guru disana, Ican pasti punya ketakutan sendiri yang terus menghantui dia seumur hidup. Toh masalah hidup Dandi juga bukan tentang Ican, tapi semua anggota keluarganya. Dia gak punya dukungan dari siapapun, dia pasti capek."
....
Sementara itu disebuah ruangan gelap, dimana ada banyak alat untuk berolah raga, suara tamparan keras dilanjut dengan ringisan kian menggema disana. Ican lagi-lagi merasakan pipinya yang panas serta ujung bibirnya yang terasa anyir. Bocah itu juga tak lupa melindungi kepalanya karena luka tadi malam itu juga masih sakit jika harus ditambah lagi sekarang.
"Gu-gue gue gak bunuh dia. Dengerin gue dulu!"
"Terus ngapain lo diatas!"
"Akkhhh..."
Faizan meringis lagi. Gagang sapu itu telalu cepat menyambar lengannya hingga membuat dirinya tak mampu melakukan apapun. Namun sorot matanya masih bisa memandang Tama sekali saja, begitu dalam hingga ia berpikir bagaimana bisa ia terlahir sebagai adik dari setan ini? Lahir dari rahim yang sama, besar dengan orangtua yang sama juga. Hingga orang tuanya meninggalpun, Ican berharap kalau ia bisa bergantung dengan kakaknya, namun sayangnya Ican salah besar.
Melihat tatapan Ican yang begitu tajam padanya membuat Tama langsung saja berlutut untuk memegang dagu anak itu dengan kasar, "Ngapain lo liat gue kaya gitu!? Gak terima? Inget ya Can, semenjak orangtua kita gak ada, lo itu gak ada artinya sama sekali buat gue. Alangkah baiknya lo pergi jauh dari gue ataupun mati! Gue gak butuh siapapun selagi gue dapet emas itu!"
Ican sadar kalimat itu cukup sakit untuk dikatakan dari mulut kakak ke adiknya, namun tenang, Ican tidak akan sakit hati. Ican juga tidak akan menangis, toh Ican juga sudah lupa bagaimana caranya. Ia hanya ingin menjelaskan kalau bukan dirinya yang membunuh Dandi, "Gue gak peduli Tama! Lo mau gue matipun bakal gue turutin! Tapi asal lo tau gue yang mau dibunuh! Dia berusaha dorong gue sampe jatuh. Dia nantang gue buat adu fisik tapi selama perkelahian dia gak ngasih respon apapun seolah-olah direla-rela aja gue gebukin. Gue bahkan gak kepikiran buat dorong dia dari sana! Gue juga sempet minta maaf atas perlakuan gue yang udah ngebully dia setelah perkelahian itu! Gue udah sujud buat minta maaf sama dia, dia juga udah ngangguk. Tapi tiba-tiba dia naik pembatas terus-terus dia lompat sendiri!"

KAMU SEDANG MEMBACA
THE TIM
FanfictionGangga itu tidak pernah percaya dengan namanya takdir baik. Kalaupun ia mendapatkan hal itu, akan ia anggap itu kebetulan, bukan keberuntungan. Namun apa jadinya jika memang ia ditakdirkan memiliki takdir indah namun hanya Gangganya saja yang belum...