4% Lost my mind

260 25 5
                                    

“Adik kamu kena benturan yang lumayan keras dikepala bagian belakangnya. Dia juga kehilangan banyak darah, tapi untungnya rumah sakit ada stok darah buat didonorkan pada pasien. Mungkin efeknya bakal gegar otak ringan. Kalau nanti dia sadar dari bius jangan ditanya apa-apa kalau semisal dia gak ingat siapa kamu, ya?”

“Baik Dok.”

Sekarang sudah pukul dua pagi, dan Gangga masih menunggu di depan ruang operasi. Adiknya itu berhasil diselamatkan berkat pria disampingnya. Permohonannya pada Tuhan itu dikabulkan setelah sekian lama ia lupa bagaimana namanya berdoa.

Malam ini ia telah menyadari banyak hal. Tuhan tidak begitu tega hingga memberinya cobaan bertubi-tubi. Langit tak begitu menghinanya hingga ia tak berani mendongak, manusia tak begitu jahat untuk ia mintai tolong, Adipati Gangga hanya tidak percaya kalau di dunia ini ada yang namanya kebaikan.

Kini Galen dan Gangga berdiri didepan pintu kaca yang menampilkan Tirta sedang dirawat disana. Pandangan mereka sama-sama datar, bedanya, memang begitulah muka Galen, tidak dengan Gangga yang kini memang tak ada daya apapapun untuk berekspresi.

“Sejak kapan kalian hidup sendiri?”  tanya laki-laki itu.

“Dari Tirta umur sepuluh tahun. Sekarang Tirta udah 17 tahun.”

“Orang tua?”

Gangga menggeleng kecil, “Udah nggak ada semua.”

“Hidup sendiri kalian selama tujuh tahun?”

Lalu Gangga itu mengangguk, dan menunduk.

Hingga laki-laki tampan itu memutar badannya untuk menghadap Gangga sambil megulurkan tangannya, “Saya Galen Satria, kamu bisa panggil saya Mas Galen. Walaupun nggak muda kaya kamu, saya bukan bapak-bapak. Saya masih bisa dipanggil Mas kok.” melihat laki-laki itu mengangguk, juga terlihat mulai nyaman dengan kehadirannya, Galen lalu memasukan tangannya kedalam saku celananya, “Kamu kerja dimana?”

“Saya…saya nggak kerja. Saya nggak pernah punya pekerjaan tetap selama ini.”

“Rumah?”

“Ada dibawah tol.”

Dan Galen hanya tertawa pelan, “GGG.”

Membuat Gangga menoleh dengan wajah heran, “Hah?”

“Ganteng-ganteng gembel.”

“Kalau kamu tinggal ditempat kaya gitu mana ada yang mau ngelirik kamu buat kerja. Kamu tinggal ditempat agak jauh sana, bergaul. Punya temen kan?” lanjutnya.

Lagi-lagi Gangga menggeleng, “Enggak. Saya gak punya temen. Saya gak punya siapa-siapa selain Tirta.”

Dan Galenpun hanya membuang napas panjang. Matanya tiba-tiba dalam menatap laki-laki didepannya itu. Mengingat sudah banyak ekspresi seperti Gangga yang ia lihat selama hidupnya ini. Hingga Galen meregangkan pundaknya sambil menatap Gangga, “Emmm gimana kalau kamu ikut saya? Kamu tinggal sama saya. Saya biayai semua hidup kamu dan adik kamu.”

Penawaran itu langsung membuat Gangga menaikan wajahnya untuk menatap Galen, “Hah? Maksudnya saya diasuh sama Masnya? Masnya punya panti asuhan?”

Galenpun menggeleng sambil terkikik kecil, “Bukan. Saya gak tau tempat itu tempat apa. Tempatnya mirip rumah susun yang gak terlalu besar. Kamarnya juga gak sampe dua puluh. Intinya 4 tahun lalu saya beli tempat itu untuk saya ratakan dengan tanah, mau saya ubah jadi agensi awalnya. Tapi nggak jadi saya lakukan karena ternyata rumah susun yang kelihatannya gak berpenghuni itu ada yang nempatin.”

“Hantu?”

“Bukan juga. Manusia biasa. Kaya kamu dan Tirta. Manusia-manusia yang udah kehilangan semuanya, yang selalu ngerasa dirinya gak berarti apa-apa. Ternyata mereka tinggal disana karena mereka udah enggak punya tempat yang mau nerima mereka. Pada akhirnya saya gak jadi ratain tempat itu, saya biarin mereka hidup disana. Saya renovasi rumah buluk nan kotor, iyyuh itu biar jadi lebih layak untuk ditinggali. Isinya aneh-aneh, ada yang melihara harimau…”

THE TIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang